TUPOKSI POLITIK YANG TAK PERNAH USAI

Kelemahan terbesar yang terdapat pada diri manusia adalah ia tidak mampu keluar dari dirinya sendiri. 

Satu sisi manusia mampu menggapai sesuatu, pada sisi yang lain tidak mampu melepaskan apa yang pernah diraihnya. Upaya untuk memiliki sepenuhnya sangatlah kuat pada diri manusia, harta, kekuasaan, pengaruh, dan ketenaran akan terus diwarisi baik pada keturunannya maupun koleganya.

Segala ranah dan segala bidang rasa ingin memiliki selalu duduk dalam keinginan manusia, termasuk di dalamnya terkait dengan kekuasaan politik. 

Rasa ingin memiliki yang berlebihan dalam bahasa agama disebut dengan rakus. Rakus dalam pengaruh politik dengan memanfaatkan kekuasaan untuk tujuan mempengaruhi pikiran-pikiran orang-orang.

Rakus dalam politik ingin menguasai banyak hal, hingga lupa pada tugas utamanya. Kerakusan ini terpatri dalam seluk bari nafsu, sehingga pikirannya selalu tertuju pada momen-momen seremoni yang dapat dengan mudah menguasai orang lain untuk kepentingan politik yang jauh lebih besar. Akhirnya, kewajiban yang seharusnya dilakukan atas jabatan yang sedang diemban menjadi terbengkalai.

Banyak urusan dan banyak hal akan dicampurinya, bahkan pada persoalan yang ia sendiri tidak tahupun oleh karena dapat dengan mudah menguasai orang banyak, maka momen itu akan dimanfatkannya walaupun mengingkari asas the right men on the right place. Dengan kekuasaan di tangan semua sangat mudah diatur.

Asas penempatan menjadi terbalik dipahami, hingga prinsipnya menjadi the right men on the right palace, meletakkan seseorang pada istana para raja, hingga segala urusan harus diserahkan kepadanya.

Kerakusan politik tidaklah mendatangkan kemashlahatan atas kemajuan yang dicita-citakan oleh umat manusia yang harus tunduk pada hukum-hukum sosial.

Dha' kulli syai in fil Makan (meletakkan sesuatu pada tempatnya) merupakan asas kehidupan masyarakat madani. Filosofi kerja ini mengantarkan pesan pada kita bahwa bukan hanya setiap pekerjaan harus diserahkan pada ahlinya, melainkan terciptanya asas gotong royong jika manusia harus bergerak secara bersama-sama berdasarkan tupoksi masing-masing.

Di sini, setiap kita harus memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan rasa yang kuat untuk menyadari dengan baik  bahwa tugas pokok dan fungsi yang telah dibebankan harus dijalankan dengan baik

Mencampuri banyak hal dalam urusan publik akan mengakibatkan rusaknya fungsi gotong royong yang telah menjadi prinsip dalam hidup bernegara.

Tupoksi politis berbeda dengan tupoksi kebijakan publik. Terkadang politisi lupa dengan dirinya sendiri, peran politis seharusnya berlaku hanya saat proses demokrasi berlangsung.

Ketika kekuasaan diperoleh, tupoksi kebijakan publik harus yang utama dilakukan. Bagi politisi, mempolitisir setiap tindakan adalah proses demokrasi yang tidak tuntas. Setelah dilantik masih saja berpolitik dengan rakyatnya sendiri bahkan tidak segan-segan memanfaatkan anggaran public untuk mencitrakan dirinya.

Politisi setelah mendapatkan kedudukan public sering lupa dengan posisinya. Pejabat dan politisi itu berbeda. Politisi sering larut dalam politik, dan ini mempengaruhi pola kerja politisi dalam menerjemahkan kekuasaan politik untuk membangun kedaulatan atas rakyat.

Melihat politik menggunakan kacamata politis hal yang lumrah, akan tetapi menjadi tatkala menerjemahkan prilaku pejabat publik dalam situasi politik. Dalam prakteknya, prilaku politisi seolah-olah tidak bertepi, bayang-bayang politik selalu melekat dalam diri politisi walaupun ia telah dilantik menjadi pejabat publik.

Apakah dalam ruang lingkup eksekutif maupun legislatif, dan ini ditambah lagi dengan upaya mempolitisir lembaga yudikatif sebagai penopang kekuatan, hingga sempurnalah mempertahankan posisi lembaga publik terus-menerus menjadi lembaga politik.

Mensinergikan tiga lembaga negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam satu kesepakatan politik menjadikan fungsi kontrol terhadap kebijakan publik akan melemah, sementara kekuatan politik mengemuka. Di sinilah akar munculnya begal kekuasaan yang disepakati oleh para elit.

Proses politik melahirkan pejabat publik berdasarkan kinerja lembaga politik. Keberadaannya bertujuan untuk mengatur kebijakan-kebijakan publik, bukan malah mengatur kembali proses politik dari dalam lembaga publik untuk meraih kekuasaan politik yang jauh lebih luas.

Fenomena politik yang sering muncul adalah adanya sebuah parsial politik yang dikemukan dalam bentuk tindakan politik para elit pasca dilantik dan menduduki posisi kekuasaan publik.

Prilaku politik yang tidak terbatasi berdasarkan aturan yang jelas, di mana keberadaan pejabat publik mesti dibatasi kegiatannya, sebab beban disaat menjadi politisi berbeda dengan beban disaat menjabat sebagai pemimpin publik. 

Janji-janji politik tidaklah terbebani pada politisi, tapi tanggung jawab itu terbebani disaat telah dilantik menjadi pejabat publik.

Ada dua janji yang harus dijalankan oleh pilitisi. Pertama, janjinya politisi pada wilayah pemilihannya, janji pada konstituente, atau janji pada rakyat yang memilihnya. Kedua, janjinya partai politik kepada konstituennya.

Janjinya partai politik ruang lingkupnya sangatlah luas, dan ini menjadi amanah partai yang harus dijalankan oleh para kader partai politik. Janji secara parsial dan janji kolektif. Kedua janji tersebut merupakan amanat konstitusi yang harus dijalankan oleh politisi yang telah mendapat amanah menduduki lembaga publik.

Inkonsistensi politisi jelas terlihat ketika minat politiknya sangat tinggi. Tanggung jawab politik tidak sebanding dengan tanggung jawab publik. 

Kacamata politik hanya melihat peluang-peluang politik semata, tanpa upaya penuntasan apa yang seharusnya dilakukan ketika kekuasaan itu didapat.

Kerakusan politisi akan kekuasaan menenggelamkan upaya perubahan melalui kebijakan-kebijakan yang dibangun. Peran ganda yang dimainkan hanya untuk pencitraan semata. 

Kondisi yang lebih buruk adalah ketika pejabat publik menggunakan lembaga negara yang sudah dikuasainya untuk mencitrakan dirinya dengan tujuan mempengaruhi konstituen yang jauh lebih luas.

Level kekuasaan politik hanya dimanfaatkan untuk menjadi batu loncatan dengan tujuan ingin meraih kekuasaan yang jauh lebih tinggi. Jika berterusan berpikir seperti ini sampai kapanpun negara ini tidak akan pernah melangkah menuju kemajuan.

Seharusnya keberadaan pejabat publik hasil dari proses politik menuntaskan masalah, bukan membuat masalah baru. Menuntaskan masalah di sini memanfaatkan sepenuhnya kekuasaan politik yang sudah diduduki untuk menyelesaikan problem-problem publik, bukan malah memanfaatkan lembaga publik untuk membangun pencitraan diri agar dengan mudah mendapatkan wilayah kekuasan politik yang jauh lebih tinggi pada pemilu berikut dan pemilukada berikut.

Pencitraan ini dilakukan dengan berbagai macam cara, politisi menjebak konstituennya dengan urusan-urusan yang tidak penting bagi masyarakat, melainkan hanya untuk membangun kepentingannya.

Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh politisi adalah merasa layak memimpin lembaga yang lain, baik organisasi, partai politik, olahraga, pengajian, turnamen, dan berbagaimacam organisasi sosial, serta berbagai macam kegiata-kegiatan apapun.

Tindakan menyibukkan dengan urusan yang lain merupakan kesalahan besar. Sebab akan mengganggu kinerja pejabat publik dengan segala tanggung jawab yang melekat pada dirinya harus dipertanggung jawabkan. Tidaklah mungkin dapat mengurus segala hal, sebab kemampuan manusia sangat terbatas.

Kemampuan memahami kebijakan publik tidak boleh dibagi dengan urusan yang lain. Bagi pejabat publik kehadirannya bukan untuk menyelesaikan segala hal, apalagi terkait dengan persoalan yang tidak penting baginya. Amanah konstitusi yang dibebankan padanya terkait dengan retribusi kekuasaan bukan menumpuk-numpik pencitraan.

Sudah dapat dipastikan pejabat publik yang mengurus urusan di luar tanggung jawab dirinya dapat dilihat pada dua persoalan buruk. 

Pertama, keberadaannya bukan untuk memajukan, melainkan hanya untuk show eksistensi dirinya saja. 

Kedua, keberadaannya telah meniadakan peran orang lain. Keahlian yang dimiliki oleh manusia  sangatlah beragam. Masing-masing telah diberikan keahlian dan kemampuan pada bidangnya masing-masing.

Posisi pejabat publik pada ranah-ranah tertentu bukan menjalankan tupoksi kebijakan, melainkan ia sedang menjalani tupoksi politik. Dengan memimpin banyak organisasi mobilitas politiknya semakin kuat, sementara mobilitas publik terbengkalai, melemah, dan bahkan tidak terurus.

Keberadaannya sebagai wakil-wakil konstituen tidak lagi sepenuhnya dapat dijalankan. Maka di sini, dapat dipahami bahwa keberadaan mereka tidak mengantarkan pikiran keterwakilan, melainkan sekedar menampakkan diri sebagai bayang-bayang penyangga atas kebijakan yang ada.

Pada saat proses politik berjalan setiap politisi menggunakan anggaran pribadi dalam memobilisasi proses demokrasi. Politik butuh modal saat menjalankannya

Sangatlah berbeda ketika kekuasaan didapat dan proses politik masih tetap berjalan, yang menjadi pembeda adalah anggaran yang digunakan, memanfaatkan anggaran kebijakan publik menjalankan misi politik pribadi dan kelompok.

Upaya untuk menguasai banyak hal merupakan bentuk ketidakmampuan manusia keluar dari dirinya. Kerakusan politik para elit pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai tumbal atas kerakusan politiknya.

Menginginkan semua harus diraih serta diwarisi untuk melanjutkan kekuasaan di segala bidang dalam rangka menyokong kekuasaan atas dirinya, sehingga mengabaikan kesepakatan-kesepakatan kolektif yang telah dibuat secara bersama-sama.

Kesenjangan akan tercipta antara yang memiliki kekuasaan politik dengan pihak-pihak profesional. Tidak semuanya harus diserahkan kepada tupoksi politik. Peran tupoksi kebijakan publik harus diberi ruang untuk menata ranah-ranah umat yang mana semakin hari semakin rumit untuk diselesaikan.

Mengingat begitu banyak persoalan  masyarakat yang harus diselesaikan melalui tupoksi kebijakan publik, maka sebaiknya para elit politik yang telah menguasai wilayah kekuasaan masing-masing fokus bekerja dan berpikir bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menjawab kebutuhan publik kekinian.

Biarlah hiburan-hiburan kecil dan tidak penting itu diurus oleh orang lain. Batasilah tupoksi politik pada ajang demokrasi saja. Ketika kekuasaan diperoleh fokuslah bekerja bagaimana menjalankan tupoksi kebijakan publik tanpa harus membuang-buang waktu untuk memikirkan yang lain pada urusan yang tidak menyentuh persoalan masyarakat.

Magelang, 6 Februari 2022.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA