ABU MUSFIARI: NA UREUNG JIH SINO
Ungkapan “na ureung jih sino” adalah kelakar beliau ketika dulu kami berkunjung ke rumah tahun 2007 dikala kami masih duduk dibangku kuliah. Di jamu dengan makan bersama, bak hubungan anak dan ayah, sesekali dengan kelakarnya kerasa seperti sahabat saja. Hambel dengan semua kalangan semakin terlihat intelektualitas beliau, sosok nan cerdas ini adalah anak dari ulama ternama dari Aceh Barat Daya.
Pesan ini beliau sampaikan pada saat sekuadra IKAMABDYA bersilaturrahim tahun 2020 yang lalu:
“Jangan beda-bedakan satu dengan yang lainnya, mereka asal Abdya yang berdomisi di Banda Aceh, atau orang yang hanya sekedar berkunjung dalam beberapa hari saja adalah sodara kita, ujar beliau”.
Sesampai di kediaman Abu Musfiari,
para tamu disambut dengan sangat antusias. Kenapa tidak, Abu sebagai salah satu
tokoh pendidikan yang giat menginisiasikan pendidikan gratis bagi anak-anak
nelayan ini tidak menyangka, jika kami akan datang bersilaturrahim.
Mendengar desas-desus kabar
sebelumnya jika kondisi Abu Musfiari sangatlah memprihatinkan, kabar sekilas
yang diterima beliau dalam keadaan sakit stroke berat, namun setelah delegasi
dari IKAMABDYA melihat langsung, ternyata dugaan sebelumnya keliru, Abu dalam
keadaan sehat, bugar, tentunya dalam proses penyembuhan.
Pembawaan yang tenang serta energik dan
masih saja gembira pembawaannya. Satu hal yang melekat pada diri beliau
ketika kami, anak dan adek-adek dari Abu Musfiari betemu semangat
melucunya masih saja hidup. Dari semangat humor-humor sufi yang beliau utarakan pantas saja hingga sampai saat ini beliau kelihatan masih
gagah dan tampan, walaupun diusia yang sudah tidak muda lagi.
“Assalamu ‘alaikum” ucap kami
ketika sudah berada di pintu masuk, dan pandangan kamipun langsung tertuju pada
sosok pria kharismatik, dengan berewok tebal yang sebagiannya sudah
memutih bak lebah bergantungan. Sosok itu
adalah Abu Musfiari Haridi, mantan petarung pemilukada pemilihan bupati
defenitif pertama semenjak kabupaten Aceh Barag Daya dimekarkan dari kabupaten
induknya Aceh Selatan.
Harapan masyarakat Abdya pada
mulanya ada dipundak beliau. Sosok intelektual ini
punya segudang wawasan, bergelar M. BA di bidang ekonomi.
Namun perjalanan pilitik anak dari ulama terkemuka Aceh ini, Abu Hamid
terganjal dengan proses demokrasi politik yang berlaku di negeri ini gagal menuju singgasana.
Memperkenalkan diri kepada beliau,
yang intinya adalah, kami adalah putra kelahiran negeri Breh Sigupai, datang dan bertemu menjalin silaturrahim dengan guru, orang tua,
dan tokoh Aceh Barat Daya.
Dipersilakan duduk tepat di samping
kanan Abu Musfiari, posis duduk dikondisikan oleh penata ruang
silaturrahim ado Iswandi.
Berkesempatan duduk dekat dengan
anak ulama ternama ini menjadi sebuah kebanggaan bagi saya sendiri. Bayangkan
saja, saya bersama datang belakangan dipersilakan duduk tepat di samping
kanan Abu Musfiari.
Menangkap sinyal, membaca alamat tanda alam, dengan posisi duduk yang
berdekatan itu artinya saya lebih berpeluang untuk lebih banyak bertanya kepada
beliau dan atau agar pembicaraan lebih berfokus kepada saya, terutama
sekali menyangkut dengan Fiqh Munakahat. Di sini kecurigaan muncul....ah
ini pasti akal-akalan abang Fadhli Ali dan Abang Azhar Notaris.
Melihat kondisi Abu Musfiari sangat energik dan
sehat, pertanyaannya utama terlontarkan “puhaba Abu”????
alhamdulillah sehat jawab beliau.
Sudah menjadi tradisi bagi kita
setiap kali bertemu dengan siapapun, mengawali ucapan dengan kalimat salam dan
seterusnya mempertanyakan kabar. “puhaba” adalah kosa kata yang selalu hidup dalam masyarakat Aceh, bahkaan
kata “puhaba” sering diucapkan oleh orang-orang dari luar Aceh yang
sebelumnya telah pernah kontak komunikasi dengan orang Aceh.
Menandakan ia telah pernah ke Aceh, atau punya tetangga orang Aceh di
tempatnya, atau minimal punya teman orang aceh, kata “puhaba” dan ungkapan
“kaleh pajoh bu” adalah kosa kata yang mudah diingat oleh sodara-sodara
kita yang berasal dari etnis yang berbeda.
Begitu populernya kata “puhaba” dan ungkapan “kaleh pajoh bu”,
dan tak jarang lidah mereka dari luar Aceh sering terpeleset mengucapkan “kaleh
pajoh bu” terucap “kaleh pajoh bui” (sudah makan babi), dalam bahasa
Aceh Babi disebut dengan “bui”, sementara nasi disebut dengan “bu” tanpa
tambahan huruf “i”.
Bersliturrahim pada dasarnya
memperkuat hubungan komunikasi, komunikasi yang kuat akan mendatangkan serta memperbanyak
informasi. Ketika informasi itu tersampaikan dalam bentuk ilmu, itulah yang
disebut dengan nasehat.
Harta yang paling bertahan dikuasai
seseorang adalah ilmu dan nasehat. Tidak datang rejeki itu jika tidak ada ilmu
dalam upaya memperolehnya, harta sudah dimiliki oleh seseorang tidak akan
bermanfaat bagi dirinya jika ilmu dalam menjaga dan memeliharnya tidak ada.
Perjalanan mengunjungi pada tokoh terbaik
Aceh Barat Daya tidak hanya mendapatkan manfaat silaturrahim semata, namun juga
mendapatkan ilmu dan informasi tentang beberapa hal dari Abu Musfiari.
Pertama, berkeluargalah bagi yang belum melangsungkannya, sebab dengan
pernikahan akan menyempurnakan agama kita. Abu Musfiari menguraikan,
Nabi Muhammad saw menjelaskan agama ini separuhnya ada dalam pernikahan, jika saja
seseorang telah melangsungkannya, maka sempurna setengahnya lagi dari agama
ini.
Mendengar penjelasan Abangda Fadhli
Ali, dari gelagat mimik wajahnya, ingin mengutarakan
sesuatu, sebab ada di antara kami yang hadir saat itu belum sempurna gamanya,
sebab belum melangsungkan akad munakahat.
Mengalihkan pembicaraan Fiqh Munakahat, sayapun mengajukan
sebuah pertanyaan, Abu... setelah gagal di pilkada pada tahun 2007 kenapa Abu
tidak melanjutkan misi politik yang dulunya sempat terganjal oleh proses demokrasi
di negeri ini, sehingga Abu gagal menuju kursi 1 C. Kenapa Abu tidak peduli
lagi dengan daerah asal, lanjut saya.
Abu Musfiari mencoba merespon pertanyaan tersebut, namun sebelumnya beliau
mempersilakan kami untuk meminum kopi dan mencicipi kue yang sudah disediakan
oleh Umi Musfiari.
Seorang ibu yang tidak canggung bagi kami untuk berkomunikasi dengannya, kehadiran
kami terasa seperti seorang anak yang datang bersilaturrahim ke rumah ibunya,
dan bak seorang adik datang bersilaturrahim ke rumah kakaknya, begitulah sangat
bersahaja dan bersahabat Abu Musfiari dan Ummi menyambut dan melayani kami
ketika berkunjung datang.
Mencoba untuk merespon dan
menjelaskan, Abu Musfiari sepertinya sangat serius menjawab pertanyaan ini,
sebab menyangkut dengan harapan masyarakat Aceh Barat Daya semenjak menjadi
kabupaten baru.
Saya tidak pernah berhenti berfikir
untuk Aceh Barat Daya ujar Abu Musfiari, tentu selanjutnya berfikir di luar
proses politik kepemimpinan. Salah satu usaha beliau, di antara upaya-upaya
yang lain adalah menyalurkan biaya pendidikan untuk anak-anak nelayan.
Mengenai kenapa tidak maju lagi
mengikuti proses demokrasi politik di Abdya, menurut
beliau, kepemimpinan
bagi itu bersifat fardhu kifayah, kewajibannyapun cukup sekali saja,
ketika sekali sudah ditunaikan, sebab ini sifatnya fardhu
kifayah, maka tidak boleh lagi diulang yang kedua kalinya.
Terkait dengan kepemimpinan hukumya fardhu kifayah,
terjawab sudah jika beliau dalam memahami persoalan kepemimpinan bukanlah
penganut aliran Syi’ah, yang mengkatagorikan kepemimpinan adalah bagian dari
“IMAN”, jika salah memilih pemimpin, maka batallah imannya. Dengan penjelasan tersebut jelas terlihat dari pemikirannya bahwa
Abu Musfiari adalah penganut aliran teologi “SUNNI” tulen terutama di bidang politik.
Kepemimpinan yang bersifat fardhu kifayah ini dianalogikan
dengan shalat jenazah. Dalam hukum shalat jenazah, shalat
yang dilakukan oleh umat Islam hanya dilakukan sekali saja, dan
tidak mungkin jenazah itu dishalatkan berulang kali, kecuali jenazah tersebut
hidup kembali, dan kemudian mati lagi, baru jenazahnya dishlatkan berkali-kali,
ujarnya dengan mimik ungkapan penuh canda......dan kamipun yang sebelumnya
sangat khidmat mendengar penjelasan beliau, seketika itu kembali gemuruh tawa
menghiasi ruang tamu.
Kedua, Abu Musfiari berpesan kepada masyarakat Aceh Barat Daya kususnya yang berdomisi di Banda Aceh, Aceh Besar, dan di manapun berada serta apapun profesinya, berfikirlah untuk kemajuan daerah.
Jangan lihat apa jabatan yang saat ini dipikul, tapi lihatlah
potensi dan kemampuan masing-masing kita. Apapun latar belakang kita,
berfikirlah untuk kemajuan daerah sesuai dengan kemampuan
diri sebuah keharusan.
Masyarakat Aceh Barat Daya yang tersebar di berbagai daerah, dan kususnya
yang berdomisi di Banda Aceh jangan pernah berhenti untuk berfikir dan
melakukan yang terbaik untuk kemajuan daerah.
Menghadapi setiap momen politik perlu masyarakat Abdya di perantauan
mengambil bagian di dalamnya untuk menawarkan sebuah konsep baru dan
berkemajuan yang disampaikan dalam visi misi secara umum, untuk menjadi program
unggulan setiap calon-calon yang mengikuti proses pilkada.
Setiap calon yang bertarung, siapapun
yang maju harus diberikan apresiasi, dan siapapun
pemenangnya harus diawasi secara bersama-sama.
Kontrol terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung harus dilakukan,
mengingat kapasitas kepemimpinan diri manusia sangat terbatas, maka perlu setiap
kita menjalankan fungsi kontrol,
tentunya kontrol yang dilakukan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan
masing-masing.
Ketiga, beliau berpesan kepada masyarakat Aceh
Barat Daya, dengan adanyan wadah IKAMABDYA menjadi media komunikasi bagi kita
untuk menjalin dan memperkuat silaturrahim antar sesama masyarakat Abdya di
perantauan. Dengan silaturrahim, selain menjalankan perintah Nabi Muhammad saw dalam
rangka menjalin silaturrahim juga memperkuat kekuatan dalam membangun komunitas
sosial, budaya, politik, dan
ekonomi. Tutup Abu Musfiari.
Menghabiskan waktu selama dua jam lebih kurang inisiator
silaturrahim abang Safri Ismi memberi sebuah pesan jika rombongan
silaturrahim harus pamit izin. Musfiari diam sejenak, diam sebagai
pertanda tidak setuju kami terburu-buru
pamit. Dari raut wajah beliau terlihat mimik sedih, seolah-olah sangat berat
baginya untuk mengizinkan kami pulang, setelah
berdiskusi banyak hal.
Perjalanan waktu tidak bisa
dibendung, gerak masa terus berjalan, di setiap
pertemuan hanya tersisa sebuah kenangan. Benar kata orang bijak, manusia hanya
menciptakan sejarah dalam setiap momen. Hari minggu, 26 Juli 2020 pengurus
IKAMABDYA telah menoreh sejarah dalam rangka bersilaturrahmi dengan tokoh
terbaik Aceh Barat Daya. Pertemuan seperti itu harusnya dilanjutkan kembali untuk hari ini dan
masa yang akan datang.
Pertemuan singkat dalam rangka silaturrahim dengan tokoh terbaik
Abdya, pesan yang harus diingat dari Abu Musfiari IKAMABDYA mesti memperkuat
pola silaturrahmi di antara kita, sebab dengan silaturrahimlah kekuatan kita
akan terbangun dengan mudah dan kuat.
Drs. Musfiari Haridhi, MBA, Ak. Kelahiran 1957, lulusan Akuntansi, Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh Tahun: 1984, S2/Spesialis Administrasi
Bisnis, Cleveland State University, Cleveland (Oh) Tahun 1994 adalah tokoh inspiratif. Ketika tibanya ‘idul
fitri masyarakat Aceh Barat Daya sering mendapatkan pencerahan melalui mimbar
khatib ‘idul fitri, namanya tidaklah asing bagi masyarakat Abdya, sosoknya
terlihat sangat berwibawa, raut wajahnya sekilas mirip dengan Prof. Safwan
Idris.
Innalillahi Wainna Ilaihi Raji’un. Selamat jalan panutan kami, semoga Tuhan mengampuni
segala dosa dan ditempat dalam syurga-Nya, serta amal ibadah yang telah
dilakukan diterima di sisi Allah swt. Walaupun sosoknya telah pergi, namun
keberadaannya masih saja ada bersama amal kebaikan dan ilmu yang pernah
disampaikan pada banyak orang. Walaupun telah tiada sesuai dengan apa yang pernah beliau sampaikan melalui kelakarnya sosok itu masih terasa ada di tengah-tengah kita, “NA URENG JIH SINO”.
Jakarta, 26 Maret 2022.
Komentar
Posting Komentar