Semua Peristiwa Kesemestaan Adalah Tirakatku
Setiap peristiwa hidupku adalah latihanku untuk menetralkan kepuasanku dan keakuanku. Setiap peristiwa kehidupan, baik yang menyenangkan atau yang dianggap memilukan, adalah sapaan Tuhan kepada semua makhluk tentang keberadaan-Nya. Semua peristiwa dalam perjalanan hidupku adalah tirakatku.
Aku jatuh pada saat mengejar sesuatu yang menggiurkan. Naluriku
mendorongku untuk terus berlari mengejarnya. Aku pun memaksakan semua ragaku
ikut berlari, ternyata kakiku terpincang-pincang mengikuti kepuasanku yang angkuh.
Sungguh peristiwa itu sangat menguras tenagaku. Saat terjatuh,
harusnya aku duduk sejenak (hening), minimal sekedar meregangkan otot-ototku,
lalu berfikir apakah hal itu masih layak untuk dikejar?
Aku amati, aku dalami dan aku sikapi persitiwa kehidupan dengan
selaras tanpa dorongan naluri keakuanku dan kepuasanku. Dari situ langkah awal
munculnya kecerdasan semestaku. Jika peristiwa perjalanan hidupku selalu
dibubuhi naluri kepuasanku dan keakuanku, maka akan sangat menguras tenagaku
sehingga fakta kosmik akan terhalang dariku.
Sering aku mendengar sebuah pribahasa: “Konflik kehidupan jangan
dilihat fakta kejadiannya, tetapi lihatlah hikmah di dalamnya”.
Sebut saja Embak Bahi, hikmah dibalik konflik
pasca pemilihan kepala desa membuat dirinya menjadi pengayom sebagian kaum ibu
yang merasa tidak nyaman dengan Ustadzah yang berbeda pilihan politik dengan
mereka.
Mereka pun meminta Embak Bahi untuk menjadi
guru ngaji pengajian mingguan secara rutin. Embak Bahi tidak begitu saja
menerima mereka, pergolakan itu mendorongnya untuk berkonsultasi kepada
guru-gurunya.
Berkat doa dan dorongan dari para guru, Embak Bahi pun bersedia
menjadi guru mereka di pengajian mingguan. Hingga saat ini, pengajiannya pun
berjalan seirama dengan pengajian yang ada di sekitarnya. Itulah
hikmah dibalik konflik.
Aku akan berusaha menikmati peristiwa apapun yang menjadi bagianku,
meskipun hal itu sangat sulit. Itulah tirakatku. Ibaratnya ketika beras gagal
menjadi nasi, maka aku akan membuatnya
menjadi bubur yang enak. Orang tidak terpuji akan terus meratapi kegagalan
beras yang hendak dijadikannya nasi.
Dr. KH. Mohamad Mahrusillah, MA
Rawalini, 11 Maret 2022
Komentar
Posting Komentar