Secuil Polemik Formalisasi Syariat

Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah membentuk budaya beragama yang begitu kuat, bahkan pada beberapa ibadah dapat mengalahkan pesan syariat itu sendiri. 

Salah satunya adalah ibadah puasa. Bagaimana tidak, puasa yang dikuatkan pelaksanaannya dengan kultur yang kuat juga dapat mencederai nilai-nilai humanisme.

Puasa tidak diwajibkan bagi orang yang sedang dalam bepergian. Artinya, para musafir boleh untuk tidak berpuasa. Ketika musafir tidak berpuasa ia susah mendapatkan rumah makan, dikarenakan budaya pelaksanaan syariat Islam melarang menjual makanan di ruang terbuka pada siang hari.

Bahkan pada tahap yang lebih serius penjual makanan di siang hari dapat dianggap sebagai pelanggar syariat Islam. Tidak mudah memang untuk menyeimbangi pelaksanaan syariat Islam dengan budaya bersyariat. Formalisasi syariat terkadang memicu polemik.

Begitu sulitnya bagi musafir untuk mendapatkan makanan di siang hari karena alasan syariat. Padahal, bagi musafir yang tidak berpuasa juga sedang melaksanakan syariat Islam, yakni syariat untuk tidak berpuasa dikarenakan sedang menempuh perjalanan.

Bagi masyarakat yang telah hidup budaya bersyariat dalam komunitas, sering menekan satu sisi dalam pelaksanaan puasa, dengan penekanan untuk menghargai orang yang sedang berpuasa, sebab mereka sedang melaksanakan syariat. Jika alasan ini dikemukakan, bagi musafir juga berhak untuk dihormati tidak berpuasa sebab sedang melaksanakan syariat juwa.

Dua polemik ini sulit dipertemukan. Padahal keduanya sama-sama sedang melaksanakan syariat Islam. Penghormatan bagi yang berpuasa harus diberikan, di sini terkadang perlu kebijaksanaan. 

Orang yang berpuasa kok minta dihormati pada sesama manusia. Tuhan saja terkadang mentertawakan puasa kita, ini malah minta dihormati pada sesama makhluk.

Emangnya manusia yang memberi pahala pada orang yang berpuasa. Puasa itu milik-Ku kata Allah, maka Aku (Allah) jua yang membalas ganjarannya. Tentunya puasa bagi orang-orang yang memperbaiki kualitas puasanya.

Silakan berpuasa kapan saja sesuai ilmu dan keputusan konsensusnya, tetapi jangan baperan menganggap puasanya sudah sangat baik sehingga orang lain harus menghargai puasanya dengan tidak makan dan minum di depannya.

Pada dasarnya puasa itu memang untuk diri sendiri, tapi efek dari sebulan berpuasa akan tersuguhkan kebaikan penuh pada orang lain. Karena, puasa merupakan ibadah raga yang mendidik jiwa.

Ketika jiwa terdidik dengan segala potensi seperti sabar, tidak rakus, mementingkan maslahat bersama, tidak thamak, dapat merasai lapar, dan lain sebagainya. Aktifitas ini dapat memberi kebaikan dalam memahami orang lain. Jika ini tidak terbentuk setelah berpuasa, ada yang salah dengan puasa kita.

Berpuasalah tanpa perlu engkau harus dihormati oleh orang lain, sebab otoritas puasa itu ada pada diri sendiri dan balasannya langsung dari Tuhan bukan dari orang-orang.

Bahasa yang lebih fabel, puasa itu ibarat bekerja pada Tuhan, dan Tuhan sendiri yang menghitung upahnya (balasan). Jadi tidak perlu engkau sibuk-sibuk memohon hormat dari orang lain, hanya untuk memuliakan dirimu yang sedang berpuasa. Sesama pelaku syariat seharusnya tidak saling mendahului.

Belanjalah menu buka puasa pada pedagang yang sepi pembelinya. Mana tahu ia mencoba memanfaatkan momen ramadhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pada dasarnya dia bukan penjual yang lihai dalam menjajakan makanan.

Jakarta, 2 April 2022.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

Logika Politik: Beri Kabar Gembira Bukan Kabar Sedih apalagi Duka