TIRAKAT LAKU HIDUP DALAM RITUAL HAJI
Dr.
KH. Mohamad Mahrusillah, MA Artikel
ini ditulis untuk menyongsong keberangkatan Umrah saudaraku, sahabatku, dan
guru semestaku, Uda Suherman Saleh
Aku merenungi hakikat disyariatkan ibadah haji sebagai pola pendidikan laku hidup, agar umat manusia mampu melaksanakan tata kelola dan aturan jagad raya yang telah ditetapkan Tuhan.
Semua praktik dalam ritual haji yang aku
lakukan; dari niat ihram, cara berpakaian, wukuf, melontar jamarat,
tawaf, sa’i dan tahallul adalah proses pendidikan langsung
dari Tuhan agar aku mampu mempraktekkan secuil dari karakter nubuwah, risalah
dan khalifah sebagaimana dilakukan para Nabi terdahulu.
Aku memulai ritual ini dengan menyelaraskan niatku, agar pola gerak dan
diamku memiliki nilai istimewa. Jika aku
tidak melakukan niat tulus karena Tuhan, maka ritual itu sama halnya seperti
olah raga badaniyah belaka, karena niat merupakan faktor pembeda antara
penghambaan dan kebiasaan, sebagaimana banyak dijelaskan dalam kajian ilmu
fikih.
Kemudian aku berkumpul di Arafah bersama tamu Tuhan lainnya dari
berbagai status sosial, ras, warna kulit, dan lintas negara dengan kesamaan
gaya berpakaian. Sungguh perkumpulan itu memberi kontemplasi perenungan sunyi
dalam benakku bahwa apapun latar belakang setiap individu memiliki posisi yang
sama di sisi Tuhan, si kaya sama dengan si miskin, dan rakyat jelata serupa
dengan penguasa.
Faktor yang menjadi pembeda di antara aku dan mereka adalah tingkat
ketakwaan, karena Sang Maha Pencipta tidak melihat status sosial dari semua ciptaan-Nya. Dari perenungan ritual ini membuatku sadar
bahwa aku hanyalah objek Tuhan, begitu pun semua makhluk beposisi
sama denganku.
Aku dan semua makhluk adalah keluarga dalam jalinan
persahabatan antar objek. Aku harus memposisikan mereka semua sebagai subjek
yang setara dalam jalinan kemitraanku, meskipun secara kasat mata mereka
berposisi sebagai objek ku, karena makhluk semesta selain aku adalah mitra
keberlangsungan hidup di dunia.
Pasca wukuf, aku mengumpulkan
sejumlah batu kerikil kecil di hamparan tanah Muzdalifah, lalu aku berangkat menuju Mina untuk melemparkannya di tiga titik
jamarat.
Aku membaca beberapa buku sejarah
terkait ritual lempar jamarat bahwa ritual ini bermula dari kisah Nabi
Ibrahim dan putranya Ismail, bahwa Tuhan menguji sang ayah agar menyembelih
putranya.
Kemudian setan menyusupi rongga dada sang ayah untuk mempengaruhinya agar ia mengabaikan
perintah penyembelihan sang anak. Namun sang Khalilullah tak tergoda
sedikitpun, ia tidak memperdulikan segala bisikan buruk di dalam batinnya.
Di saat setan menampakkan wujud aslinya, dan berdiri di
hadapan Ibrahim untuk mempengaruhinya secara langsung, Nabi Ibrahim pun
langsung mengusir jelmaan itu dengan mengambil beberapa batu kecil dan
melemparkannya.
Sungguh aku mendapat banyak pelajaran dari sejarah ritual ini. Bahwa aku
harus bermujahadah agar aku tidak terkuasai oleh naluri syaithani ku dan aku tetap netral bersama informasi ke-Tuhan-an.
Aku harus selalu hening untuk mengusir godaan setan yang menjelma di
kegenitan sentra pikiranku, dan medan naluriku sehingga aku menyadari tentang siapa sejatinya
aku, dan mengenali Allah sebagai Tuhanku.
Selanjutnya aku berputar sebanyak 7 (tujuh) kali mengelilingi titik
simbol ke-Maha Esa-an Tuhan, yaitu Ka’bah. Sungguh aku mendapat banyak
pelajaran dari ritual tawaf ifadhah ini.
Aku pernah membaca satu atrikel bahwa semua benda dari atom terkecil,
galaksi terbesar, bumi, tata surya, sampai peredaran darah, berputar
mengelilingi intinya ke arah berlawanan arah jarum jam.
Ternyata proses perputaran ini menghasilkan sebuah energi yang
bermanfaat untuk keberlangsungan ekosistem kehidupan di jagad semesta. Dari
renungan di atas, aku mengambil sebuah ta’amulat bahwa aku dan semua makhluk memiliki putaran orbit tugas kesemestaan
dengan skil dan kemampuan masing-masing. Karenanya, aku harus berputar mengelilingi orbit tugas keduniaanku sehingga menghasilkan
energi positif yang merahmati makhluk semesta di sekitarku.
Berikutnya aku berjalan cepat manapaki bukit Marwah
menuju bukit Shafa sebanyak tujuh kali perjalanan. Ritual
ini dikenal dengan sebutan Sa’i. Akar
sejarah dari ritual ini adalah kisah istri Nabi Ibrahim as bernama Siti Hajar,
yang gigih mengitari bukit Shafa hingga Marwa di tengah hamparan tanah jazirah
Arab yang tandus untuk mencari sumber air.
Sambil memantau bayinya bernama Isma’il dari kejauhan, tiba-tiba ia
melihat tanah yang terkena pukulan kaki sang bayi memancarkan mata air. Lalu
sang wanita tangguh ini membendung mata itu sambil mengatakan zam-zam, yang
artinya “kumpul-kumpul.” Dari usahanya mecari sumber mata air, sang wanita
tangguh terus memohon kepada Allah agar diberi pertolongan.
Peristiwa sa'i ini menjadi perenungan tersendiri bagiku bahwa aku
tidak boleh berputus asa dalam situasi apapun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Aku harus mampu menghadapi berbagai gejolak kehidupan dengan tabah dan optimis.
Dzat Sang Maha berkehendak mengajarkanku untuk selalu berikhtiar dalam
setiap keadaan apapun, dan selalu memohon pertolongan-Nya, karena hanya Dia-lah
Sang Pencipta sebab akibat dan Maha Pemberi rezeki kepada hamba-Nya.
Tuhanku berfirman: “Siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang
dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan
serta yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah
ada Tuhan yang lain?. Sungguh amat sedikit kamu mengingat-Nya. (Q.S
An-Naml, 62).
Rangkaian terakhir dalam laku hajiku adalah memotong beberapa helai
rambut sebagai tanda dibolehkannya kembali, serta beberapa tindakan yang
dilarang saat melakukan ritual haji.
Rukun ini dikenal dengan istilah Tahallul.
Dimulai sejak niat ihram, semua tamu Tuhan dilarang mengenakan
pakaian berjahit, menutup kepala bagi laki-laki, menutup wajah bagi perempuan,
mengurai rambut, mencukur rambut, memotong kuku, mengenakan wewangian, membunuh
binatang buruan, melangsungkan akad nikah, bermesraan dengan syahwat, dan
berhubungan badan. Setelah tahallul, aku diperbolehkan kembali melakukan
apa yang menjadi pantangan dalam ritual ini.
Aku berusaha menyibak rahasia di balik pantangan ini, sehingga aku
menyadari bahwa hakikat pantangan merupakan proses pendidikan laku hidup dalam
mentirakatkan jiwa dan ragaku agar aku mampu menetralkan diri dari karakter
bawaanku untuk memenuhi panggilan Sang Maha Penguasa Jagad Raya.
Kenetralan jiwa dan perangkatnya akan menjadikan diriku sebagai manusia berbudi pekerti, yaitu manusia yang memandang apapun dari
sisi terpuji, berfikir dengan insting daya sadarnya, dan bersikap dengan naluri
keselarasannya.
Inilah yang aku pahami tentang predikat surga dalam laku hidupku di
dunia dari hakikat pemaknaan ritual ibadah haji yang disabdakan Nabi Muhammad
saw : “Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga.”
Rawalini,
Tangerang, Banten, 8 Mei 2022.
Komentar
Posting Komentar