Umrah: Ibadah Membangun Humanisme Universal

Umrah juga disebut dengan haji kecil, setiap dari umat ini menginginkan untuk menunaikannya, bahkan bagi yang sudah pernah melaksanakannya, walaupun kewajibannya sekali namun rindu untuk kembali melaksanakannya selalu muncul, begitu kuat kekuatan spiritual dari ibadah ini untuk menunaikannya berkali-kali. Anjuran melaksanakan ibadah ini terdapat dalam Alquran.

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Artinya, “sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. Q. S. Al-Baqarah/002: 158.

Berakhirnya ibadah puasa bukan berarti ibadah dihentikan, sering sekali terkadang ini keliru dipahami. Pemahaman ini selalu berhenti pada penekanan bahwa ramadhan adalah bulan ibadah, ini tidak sepenuhnya benar, sebab ramadhan itu terkait dengan nama, sementara puasa terkait dengan waktu. Artinya, ramadhan sebagai nama boleh saja berlalu namun puasa sebagai waktu masih harus dilakukan oleh hamba selama ia masih taklif (terbebani hukum atas dirinya).

Beribadah tidak selamanya terkait dengan spiritual semata ia juga terkait dengan ibadah sosial. Ada juga ibadah terkait dengan keduanya, seperti ibadah haji dan umrah. Salah satu kewajiban suami pada istri dan anaknya adalah memberikan nutrisi jiwa di samping menanamkan prinsip-prinsip beragama. Nutrisi jiwa di sini adalah wisata rohaniah. Suatu kewajiban bagi suami untuk mengajak istrinya menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang tersebar di berbagai tempat.

Banyak tempat yang dapat kita datangi terkait dengan alam wisata ini, tanah Nusantara ibarat syurga yang jatuh ke bumi. Kata syurga di bumi secuil keindahan, di mana gambaran-gambaran syurga yang selalu digambarkan dengan sungai-sungai yang mengalir. Tentunya gambaran tentang syurga sesuai dengan apa yang dapat dilihat dan dapat dirasakan oleh penafsir dalam memahami  nikmat atas balasan Tuhan kepada hamba yang mendapatkan balasan dari amalan-amalannya di syurga.

Alam wisata Nusantara bukanlah alam wisata spiritual dengan segala aturan dan sunnahnya, melainkan wisata di Nusantara hanya menitikberatkan pada upaya tafakkuran. Setiap apa yang tercipta di dunia ini menjadi ayat-ayat yang harus dibaca umat manusia. inilah implementasi kata iqrak yang diterima oleh Nabi Muhammad saw di gua Hirak. Iqrak dengan menyebut nama Tuhan mu.

Peristiwa iqrak tersebut adalah perintah membaca tanpa teks, artinya perintah tersebut bersifat terbuka, bukan hanya membaca ayat-ayat yang tertulis saja di dalam Alquran melainkan juga membaca ayat-ayat yang tercipta di alam ini.

Apa yang telah diciptakan Tuhan di bumi ini tidaklah sia-sia “rabbana ma khalaqta hadha bathila”.  Wahana Nusantara yang telah hadir di negeri adalah ayat-ayat yang tercipta, mendatanginya tidak diperintahkan membawa syarat-syarat ibadah spiritual seperti ibadah haji dan umrah melainkan cukup dengan tafakkuran bahwa keberadaan Tuhan dapat dilihat dari keindahan ciptaan-Nya.

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. Q. S. Ali Imran/003: 191.

Kewajiban suami dalam memberi nutrisi jiwa pada keluarganya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Walaupun ini adalah kewajiban bagi suami namun pelaksanaannya tidaklah wajib, dan para istri tidak dibenarkan menuntut secara berlebihan agar dibawa ke tempat-tempat wisata yang jauh menghabiskan anggaran yang banyak dan waktu yang tidak singkat. Di sini istri mesti menumbuhkan sikap toleransi yang banyak untuk menyeimbangi kewajiban atas suami.

Tradisi wisata di Nusantara tidak hanya berlangsung di tempat-tempat wisata alam terbuka untuk wacana tafakkuran juga berlangsung di tempat-tempat yang diyakini dapat menghubungkan pikir masa lalu untuk menarik asa masa kini. Konsep tawassul kemulian atas hamba-hamba yang shaleh dapat mengantarkan suatu hikmah pada generasi berikutnya.

Wisata religi ke tempat-tempat bersejarah dan sudah disepakati sebagai khazanah ke-Islaman. Jejak-jejak pembawa Islam di Nusantara banyak yang telah dijadikan cagar budaya sebagai tonggak sejarah bahwa Islam telah menampakkan cahayanya setelah Islam didakwahkan pasca Nabi Muhammad wafat.

Jejak-jejak ulama pembawa kerahmatan Islam di Nusantara terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jejak ini menjadi situs ke-Islaman di berbagai wilayah Nusantara. Makam-makam ulama menjadi saksi bahwa agama ini telah dianut oleh masyarakatnya berabad-abad lamanya.

Makam para wali telah menarik minat wisata masyarakat dari berbagai penjuru, dan pengunjungnyapun datang dari berbagai tempat dan manca negara. Kedatangan mereka yang hadir menziarahi tidak dipahami sebagai ibadah melainkan sebagai wujud hubung ilmu masa lalu dengan pengetahuan masa kini. Ilmu ini tidak hanya terkait dengan pengetahuan-pengetahuan keagamaan melainkan juga terkait dengan ilmu-ilmu yang bersifa sosial dan kebudayaan.    

Nutrisi jiwa, bagi yang belum mampu melaksanakan dalam bentuk wisata spiritual dan sosial budaya dapat mengambil bagian satu di antaranya. Membangkitkan semangat wisata religi lokal juga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor wisata. Tidak hanya itu, wisata religi ini juga bisa dijadikan sebagai media pendidikan sejarah bagi anak-anak di negeri ini. Sejarah kebudayaan Islam menjadi tanda bahwa Nusantara telah mengambil andil dalam menjaga kemurnian tauhid agama Islam.

Begitu juga dengan ibadah umrah, nutrisi jiwa merangkap dua pengamalan sekaligus, wisata spiritual (perjalanan rohani) dan juga wisata sosial kebudayaan (perjalanan peradaban) umat manusia yang dibangun atas dasar Ukhuwah Islamiyah.

Umrah yang juga dipahami sebagai haji kecil tidak hanya menanam kekuatan tauhid dalam Islam, juga menanam kekuatan ibadah sosial terhadap umat ini. Humanisme universal terbangun melalui ibadah haji dan umrah, kedatangan para  jamaah dari berbagai penjuru dunia tidak hanya untuk menunaikan ibadah spiritual semata, namun juga dapat menanamkan kekuatan sosial di dunia Islam.

Haji merupakan ibadah tertua dalam Islam, sejak Nabi Ibrahim jejak ibadah telah di bangun di sana. Beriring berjalannya waktu, umat ini semakin jauh dari situs utamanya, seiring bertambah banyak penganut agama Islam mereka tidak hadir dari jazirah Arab saja melainkan juga telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Waktu boleh saja berubah, wilayah boleh saja terbentang di benua-benua yang jauh, namun kewajiban untuk melaksanakan ibadah ini bagi yang mampu tetap saja berlaku sama.

Di sinilah dapat dipahami bahwa Islam sangat akomodatif dalam mewajibkan ibadah bagi pemeluknya. Kewajiban dalam ibadah tidaklah kaku perintahnya, Tuhan Dzat Yang Maha Tahu, walaupun ibadah haji dan umrah menjadi kewajiban bagi Hambanya namun tetap penekanannya disesuaikan dengan kemampuan hamba.

Tidak semua orang diwajibkan untuk melaksanakan ibadah ini, tetapi bagi yang sudah memiliki kemampuan  sangatlah dianjurkan. Kemampuan di sini juga tidak kaku dipahami, bukan hanya mampu dengan kekayaannya melainkan juga mampu dari unsur-unsur yang lain, seperti ilmu, waktu, kesehatan dan yang lainnya.  

Haji dan umrah merupakan nutrisi jiwa yang memiliki dua unsur ibadah, ibadah spiritual dan ibadah sosial. Untuk melaksanakannya juga harus memiliki kemampuan finansial dan kemampuan fisik, ilmu, waktu, dan yang lainnya. Dari sinilah kekuatan Islam universal dibangun. 

Artinya, pelaksanaan ibadah ini semangatnya hampir sama dengan ramadhan yang terkait dengan nama dan waktunya. Terkait dengan nama dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya, sementara terkait dengan waktu ibadah ini diteruskan untuk membangun peradaban manusia.

Pelaksanaan ibadah haji dan umrah yang tidak membangun peradaban dapat menguraikan dosa sosial bagi umat ini. Adanya ancaman yang mematikan dari tujuh dosa sosial sebagaimana diungkapkan oleh Mohandas K. Ghandi, yakni “pilitik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan”.

Ibadah haji dan umrah dilaksanakan dengan penuh pengorbanan. Pengorbanan ini mesti menghasilkan kebaikan bagi umat manusia di seluruh penjuru dunia, kususnya umat Islam yang siap siaga menunggu para pejuang humanisme universal kembali ke negara asalnya.

Cibubur Jawa Barat, 8 Mei 2022.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA