ZAKAT: TIRAKAT AKTIFASI KECERDASAN SOSIAL

Oleh: Dr. KH. Mohamad Mahrusillah, MARais Syuriah MWC NU Kec. Teluknaga dan Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hasaniyah Bani Zarkasyi Rawalini Teluknaga Tangerang.

Artikel ini ditulis sebagai ungkapan Idkhal as-Surur di hari raya Idul Fitri untuk Dr. KH. M. Imdadun Rahmat, M.Si (Deputi II Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Baznas RI). Semoga Baznas menjadi pemicu gerakan kecerdasan dan kepekaan sosial di NKRI.

Para khalifah bumi memiliki tingkatan yang berbeda antara satu dengan sebagian yang lain dari kecerdasan, pekerjaan, kesehatan, rezeki, dan karakter. Q. S. Al-An’am/014:165. Inilah sunnatullah yang melahirkan perbedaan sumber-sumber kehidupan yang bersifat materi. Dari fitrah inilah muncul istilah orang miskin dan orang kaya.

Namun yang aku pahami istilah tersebut bahwa kekayaan yang tidak selaras dan damai bersama penduduk bumi merupakan hakikat dari kemiskinan, karena kekayaan yang dimilikinya tidak padu dengan ketetapan semesta. Dan orang miskin yang selaras dan damai dengan semesta adalah orang kaya secara hakikat, meskipun ia miskin secara syari’at. Terlebih orang miskin yang tidak memiliki keselarasan dan kedamaian jiwa dengan semesta adalah kemiskinan secara hakikat dan syariat. Aku berharap dan berdoa kepada Tuhan semoga aku dijadikan orang kaya secara hakikat dan syariat.

Ungkapan di atas menjadi sebuah renungan bagiku bahwa kekayaan sesungguhnya adalah aku yang menggunakan daya pikir kedamaian dan energi keselarasan dalam menjalankan laku tugas dan fungsiku bersama makhluk semesta, sehingga aku bisa menerima, mensyukuri dan menikmati apa yang menjadi bagianku. 

Tuhanku berfirman: Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Q. S. Ibrahim/014: 7.

Dipahami dari ayat di atas bahwa aku harus menghadirkan pengakuan atas kemurahan Tuhan, dan rasa syukur atas harta yang dianugrahkan kepadaku dengan cara berbagi untuk penduduk bumi yang membutuhkan. 

Sungguh pemaknaan itu memberi dorongan kuat untukku agar aku gigih dalam bekerja, berbagi antar sesama, sehingga kecerdasan sosial terbangun dalam pola interaksiku. 

Aku mengambil pelajaran dari ayat suci surat at-Taubah 103 bahwa harta yang dihasilkan dari usahaku masih terhitung kotor dan keruh sehingga perlu untuk dibersihkan dengan cara mengeluarkan sebagiannya sesuai takaran yang ditetapkan. 

Pola berbagi kepada makhluk semesta yang berhak terejawantahkan dari pemaknaan syari’at zakat, yaitu sebuah aturan tata kelola harta agar manusia menyadari tentang konsep kerahmatan semesta yang menjadi misi Sang Penguasa Jagad Raya.

Namun mengeluarkan sebagian hartaku akan terasa sulit, jika diriku masih tersandra dengan keakuan, dan kepuasanku, sehingga keangkuhan, ketamakan, dan godaan materi duniawi selalu menyelimuti diriku. 

Sifat itu bersumber dari kekeliruan dan kesalahanku dalam mengelola materi duniaku, yaitu aku yang menjadikan materi sebagai objek kecintaan yang terkuasai, bukan menjadikan materi duniaku sebagai subjek yang merahmati makhluk disekitarku. Dari kecintaan dan penguasaan terhadap objek akan memunculkan sifat bakhil dalam prilakuku. 

Sungguhlah hebat Nabiku yang mengajarkan agar aku memohon perlindungan padaTuhan dari sifat burukku dalam sebuah doa yang disabdakan: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, pikun, bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur dan fitnah hidup dan mati.” (HR. Muslim). 

Dari sini aku sadari bahwa aku harus mengaktifasi keselarasan medan naluri dan kedamaian sentra pikiranku agar terbangun kecerdasan dan kepekaan sosial di dalam batinku, sehingga aku mampu berbagi kebahagiaan secara materi antar makhluk semesta. Sebab kepemilikan harta yang dianugrahkan kepadaku tak lepas dari banyak campur tangan makhluk semesta. 

Aku menyakini bahwa tujuan agung dari syari’at zakat akan mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat antar petugas semesta. Karenanya, Sang Penguasa semesta memposisikan zakat pada kedudukan tinggi nan mulia, dan penyebutan zakat selalu mengiringi inti ibadah murni, yaitu shalat. 

Hikmah dari perwujudan zakat akan melahirkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial yang berpijak kepada penyediaan kebutuhan dasar kehidupan. Kebutuhan dasar kehidupan itu berupa makanan, sandang, tempat tinggal, terbayarnya hutang-hutang, memulangkan orang-orang yang tidak bisa pulang ke negara mereka, membebaskan hamba sahaya, menguatkan hati para muallaf, dan bentuk-bentuk solidaritas lainnya yang ditetapkan. 

Aku mendengar pembahasan dan membaca tulisan guruku, Abah KH. MA Sahal Mahfudh, tentang zakat produktif dengan pendekatan fiqh manhaji, bahwa zakat memiliki pengaruh positif dalam mendorong gerak roda perekonomian, karena hal itu akan memberikan kekuatan dan kemajuan ekonomi masyarakat, dan mencegah terjadinya penumpukan harta di antara orang-orang borjuis. 

Tuhanku berfirman: Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras hukuman-Nya". Q. S. Al-Hasyr/59: 7.

Pemaknaan hakikat zakat ini aku resapi dari sabda Nabiku: "Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling menyayangi, mengasihi dan melindungi adalah seperti jasad yang satu, bila ada satu anggota jasad yang sakit maka anggota lainnya akan ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam." HR Muslim. 

Nabiku mendorong keselarasan dalam hubungan saling bahu-membahu, menyayangi, mengasihi, melindungi dan berbagi materi untuk membangun kemajuan ekonomi masyarakat. Dengan sinyalemen itulah aku menyakini bahwa konsep kecerdasan dan kepekaan sosial yang teraktifasi dalam syari’at zakat akan membangun kemajuan peradaban satu negeri, yaitu “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur".

Rawalini, 8 Mei 2022.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA