Panglima Tibang: Sejak Kecil Jago Menari dan Melawak
Beujroh aneuk nanggroe
Media hiburan terus berkembang dan bahkan begitu pesatnya. Era sebelum 80-an hiburan hanya ditampilkan melalui pertunjukan seni teater. Berangkat pada era berikutnya 90-an ke atas hiburan tesuguhkan melalui dunia kaca pertelevisian. Semakin banyak televisi menampilkan hiburan, maka semakin naik pula reting tayangannya.
Reting tayangan ini tentunya berpengaruh pada jumlah penonton, sehingga berpengaruh pula pada upaya komersil. Banyak pendapatan usaha pertelevision melalui produk-produk terbaru yang diinformasikan melalui layar kaca.
Dunia informasi terus berkembang, era four poin zero ditandai dengan "kemampuan informatif". Dari sinilah muncul upaya pencitraan terhadap diri, produk, dan juga terkait dengan penjajakan akan sesuatu hal yang bersifat politis. Setiap orang merasa berhak menjajakan dirinya di media sosial seperti halnya barang-barang hasil produksi dipasarkan.
Di sini, tentunya politik bukanlah dunia hiburan melainkan seni bagaimana merebut kekuasaan yang bertujuan untuk menyampaikan kesejahteraan. Kekuasaan di abad modern; dengan konsep Trias Political dipahami sebagai panggung seni, dari panggung itulah kebijakan-kebijakan publik antar lembaga diproduksi. Karena politik adalah seni, maka setiap kebijakan yang yang diproduksi mengantarkan keindahan bagi umat.
Namun, di era yang sudah lama berlaku, seni politik dimanfaatkan oleh pelaku seni hiburan. Di sini, munculnya ketimpangan dalam mengelola kebijakan publik, sebab seni mengantarkan kesejahteraan akhirnya diperankan oleh pelaku seni hiburan. Maka, jangan heran pelaku seni suka menjadi pengacau dalam urusan ketatanegaraan.
Pelaku seni dapat dengan mudah diterima publik, sebab pelaku seni sering mengeluarkan "petuah hikmah" yang didapatkan dari para pemikir atau inspirasi jiwa seninya dalam pertunjukan. Petuah hikmah ini telah merubah imej dirinya disaat mereka terjun ke dunia politik. Dari tampilan wajahnya terlihat sebuah kebijakan, dan tampilan tersebut mempengaruhi jiwa elektoral politik. Padahal, semu a yang dilakukan oleh pelaku seni adalah sebuah lakon sahaja.
Jiwa seni hiburan yang melekat pada diri seseorang akan terbawa pada berbagai segmen kehidupan. Baik penari, penyanyi, dan pelawak apa pun yang dilihat, dipahami, dan dilakukan harus mengarah pada pertunjukan hiburan. Dan ini sudah pernah berlaku, bagaimana seorang yang dalam dirinya tumbuh jiwa sebagai penari dan pelawak mendapat ruang di ranah kebijakan publik.
Lahirnya generasi Panglima Tibang dalam konteks politik Aceh semakin yakin akan keburukan yang muncul dari pelaku seni yang mendapati ruang ekspresi di ranah kebijakan publik. Penampilan yang meyakinkan dapat dengan mudah menarik simpati publik, yang mana pada dasarnya mereka sendiri terkadang tidak mengerti apa yang mereka lakoni, apalagi menerapkannya dalam laku hidup.
Ramasamy adalah nama asli Panglima Tibang, sebelumnya ia merupakan seorang Hindu pendatang di bumi Aceh dikala itu. Keahliannya sejak kecil menari dan melawak. Teuku Lamgugop tertarik dengan performa anak kecil ini, lalu diambilnya menjadi anak angkat dan diislamkan.
Panglima Tibang terkenal sebagai tokoh yang buruk dalam sejarah peperangan Aceh di era kolonial. Dikenal sebagai pengkhianat oleh bangsa Aceh, yang aktifitas politiknya banyak memihak pada Belanda. Dalam konteks Aceh masa lalu, pemuka kuasa mudah tertarik dengan pribadi yang pintar menari dan melawak, apalagi masyarakat biasa. Maka, jangan heran jika kita yang awam saat ini mudah tertipu dengan cara-cara mereka mencitrakan diri.
Sebab itulah, penari dan pelawak seharusnya tidak diberi panggung oleh rakyat Aceh hari ini untuk menduduki pemimpin publik; baik di legislatif, eksekutif, apalagi di bidang yudikatif. Keahlian menari dan melawak akan dipraktekkan dalam keputusan-keputusan kebijakan publik. Penari, pelawak, dan penyanyi; dalam konteks hiburan sama saja.
Hati-hati dengan penari, penyanyi, dan pelawak jika ada dengan gencar-gencarnya mencitrakan diri untuk menjadi pemimpin di Aceh untuk masa yang akan datang. Pikiran, ide, dan keputusannya tidak akan lebih dari tiga persoalan tersebut; bernyanyi, manari, dan melawak.
Oleh karena keahliannya menari, menyanyi, dan melawak maka setelah kedudukan diperoleh bukan bagaimana berfikir dengan baik untuk menciptakan terobosan-terobosan baru yang unik lagi khas dalam upaya membangkitkan gairah kesejahteraan untuk rakyat.
Namun, kahliannya yang dibentuk dari jiwa seni hiburan tidaklah dapat diandalkan dalam dunis mengelola seni kekuasaan. Melainkan, dikala ia mendapatkan satu kedudukan, dikala itu juga ia akan berfikir dan akan mencitrakan dirinya untuk terus mempertahankan kekuasaannya serta melirik kekuasaan yang lain.
Secara terus menerus, program nyatanya lebih dominan pada bagaimana ia meningkat performa entertainment dirinya untuk mendapat support paublik dalam rangka mempertahankan kedudukannya, bahkan untuk mengelabui pikiran-pikiran publik agar kekuasaan yang jauh lebih besar juga diberikan padanya. Pada kenyataan di lapangan "raya bate sambai ngon bate bu".
Pada kenyataannya juga kita mendapati dalam dunia politik, yang bukan berasal dari latar belakang penari dan penyanyi juga menjadi pelawak yang menelurkan program-program sifatnya hanya hiburan saja. Berita- berita hiburan ini terus menghiasi layar-layar pemeberitaan di berbagai media.
Dan jangan heran, panggung mereka hanya berkisar pada bagaimana menari-nari atas penderitaan rakyat. Sambil menyanyi dan menari serta melawak-lawak, akhirnya publik selalu dibuat tertawa atas program-program yang dijalankan oleh pemangku kuasa. Keberadaan mereka seperti badut yang tidak memiliki panggung hiburan, tapi cukup berkuasa di panggung politik kebijakan.
Jakarta, 19 Agustus 2022.
Komentar
Posting Komentar