NALAR SEBAGAI ILMU DAN PROSES
Han Feizi, seorang pemikir politik Tiongkok kuno yang hidup sekitar 280-233 SM telah menyatakan bahwa "setiap generasi menghendaki pemecahan masalah yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Dari sini dapat kita menyimpulkan bahwa tradisi filsafat mesti dipahami ganda yakni sebagai proses dan sebagai ilmu.
Wilayah proses ia berperan sebagai perjuangan nalar untuk menemukan sesuatu yang terus baru dari yang baru. Jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan kejelasan makna yang seterang-terangnya, serta pemahaman yang se dalam-dalamnya. Filsafat lebih dimaknai sebagai perjuangan akal ketimbang refleksi atau perenungan apalagi lamunan yang tidak jelas.
Adapun filsafat sebagai ilmu bertujuan untuk menangkap dari pertanyaan mendasar yang berada di luar kemampuan metodis ilmu pengetahuan yang sistematis, kritis, dan mendasar. Pendek kata dipahami secara rasional dan bertanggung jawab.
Dalam hal ini; politik harus dipahami sebagai proses perjuangan, di mana nalar-nalar yang digunakan tidak hanya berada diangan-angan, yang mana angan-angan tersebut tidak pernah terwujud dalam realitas sosial. Terhadap peranan politik itu sendiri hang dilihat bukan idenya, melainkan turunan-turunannya.
Pada tahap ini kita butuh pemimpin yang nemiliki kemampuan personal yang kuat secara ilmu dan proses. Secara ilmu dia memahami apa yang menjadi problem umat hari ini. Sementara secara proses ia berusaha memperjuangkan solusi-solusi yang sedang dihadapi secara nyata.
Antum a'lamu bi umri dunyakum, (dalam perkara dunia kamu lebih tahu realitasnya) begitulah Nabi Muhammad menyampaikan pada umatnya. Sementara Alex Perry menyatakan "if you misread a problem, you can't fix it". Jika Anda salah membaca masalah, Anda tidak dapat memperbaikinya.
Apakah ini adalah jawaban dari realitas yang sedang kita hadapi hari ini, sebab kita tidak memfungsikan nalar dengan baik. Dan ini sangat nyata, kenapa Aceh terpuruk. Atau mungkin saja kita kurang tepat dalam menempatkan diri, sehingga pilihan itu telah keliru mengantarkan sosok yang mampu menggunakan nalarnya dengan baik, atau juga salah dalam membaca sebuah masalah, atau memang tidak bisa membaca sama sekali, sehingga realitas yang dihadapi sulit untuk menperbaikinya.
Membaca dengan memahami makna yang tepat, baik membaca yang tertulis ataupun membaca pada hal-hal yang belum tertulis dengan baik; yakni membaca perkembangan universal, atau dalam bahasa agama menyingkapi al-afaq untuk menangkap pada inti masalah.
Masalah yang sangat nyata kita hadapi hari ini adalah kemiskinan, kebodohan, hilangnya karakter diri sebagai bangsa yang beradab (terutama sekali bagi pemangku kekuasaan itu sendiri, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas bacaan-bacaan tersebut), serta munculnya trustworty dalam pengelolaan anggaran negara terhadap pemimpin menambah proses nalar tidak berjalan dengan baik.
Jakarta, 9 September 2022.
Komentar
Posting Komentar