Hilangnya Lisanul Bathin Menyebabkan Sesat Pikir

 









Literatur perang Aceh, berpindahnya kekuatan istana kerajaan beralih pada kekuatan ulama. Agama dipahami sebagai kekuatan bathin yang ditanamkan melalui lisan, sehingga terbangun semangat juang.

Kekuatan perang ini membuat Aceh tidak pernah ditakluki kecuali diduduki saja untuk tujuan ekonomi. Kita mengenal ada tiga peran dan tujuan penjajah datang ke Nusantara termasuk Aceh yaitu; gold, glory, dan gospel. Daya tarik sumber daya alam yang ada di bumi Nusantara Belanda memperluas jajahannya.

Dalam sejarah penguasaan terhadap sebuah bangsa jika sudah dikuasai selama berabad lamanya, maka dengan sendirinya bangsa tersebut menjadi bagian dari wilayah kekuasaan tuannya. Aceh tidak pernah diduduki dalam bentuk wilayah jajahan, melainkan sebagai wilayah yang diduduki.  

Sejarah ini tercatat dengan baik, betapa rumitnya perang yang dihadapi Belanda di Aceh. Namun terdapat hal yang unik dalam perang tersebut, pejuang Aceh bukan mengusir Belanda melainkan berperang. Dan merubah strategi Belanda, jika suatu daerah tidak mampu dikuasainya maka ia akan bekerja sama. 

Buktinya, setelah Belanda berhenti melakukan frontalisasi dengan pejuang-pejuang Aceh, keberadaan Belanda tetap diterima dalam bentuk kerja sama dagang. Di sini dapat dipahami betapa kuat pengaruh lisanul bathin yang ditanamkan dalam diri masyarakat Aceh. Datang sebagai lawan dilayani, dan duduk sebagan teman pun diayomi.

Di sini sifat segregrasi berlaku, kedua belah pihak saling menghindar untuk mencegah terjadinya konflik. Menghindar di sini bukan saling menjauh dan berpindah posisi melainkan merubah frontalisasi. Dari frontalisasi perang menuju frontalisasi sosial, sehingga terjalinlah kerja sama dagang dengan sistem ekonomi saling menguntungkan, dan keberlangsungan pemerintahan di Aceh kembali diserahkan pada pemangku kuasa yakni kelompok Ulèëbalang.

Pengetahuan masyarakat Aceh tidak dibentuk melalui "lisanul fikri", tetapi ditanamkan melalui lisanul bathin. Sebuah penanaman ajaran yang ditanamkan dalam relung hati. Maka, hadirlah Hikayat Perang Sabi yang membangkitkan perang tanpa ampun, atau dalam istilah lain "perang gila" yang tidak hanya berani maju ke medan perang bahkan tidak pernah takut mati.

Realitas ini dapat dilihat buku-buku sejarah perang Aceh yang ditulis oleh bangsa luar, betapa perang ini telah memaksa Belanda untuk merubah haluannya, dari semangat memperluas wilayah jajahan menjadi wilayah yang diduduki untuk keberlangsungan dagang. Saat itu, hasil-hasil bumi diangkut dengan bayaran yang setimpal. Kevakuman kekuasaan kerajaan Aceh dialih fungsikan kembali pada pihak-pihak yang yang memiliki garis keturunan dengan raja-raja Aceh.

Melalui konsep lisanul bathin, masyarakat Aceh telah membangun kesadaran beragama dengan sangat baik dalam menghadapi perang. Namun hal ini sangatlah berbeda dengan kondisi beragama yang dibangun dalam konteks kekinian, agama tidak lagi dipahami sebagai kekuatan bathin, melainkan dipahami sebagai lisanul fikri, akhirnya salah fikir.

Kesalahan berfikir terhadap agama membawa malapetaka bagi Aceh sendiri. Keberadaan ulama tidak lagi dijadikan sebagai sentral produksi pemikiran baik terkait dengan agama, politik, dan budaya. Beralihnya kiblat ulama chik pada ulama modernis membawa arus politik baru di awal kemerdekaan Indonesia. Aceh dengan latahnya menyerahkan bangsa yang kuat pada negara baru, dengan alasan memperkuat pengaruh Islam ke Nusantara.

Kehilangan pijakan, alasan ini sangat tidak masuk akal, sebab Islam telah tersebar ke seluruh penjuru Nusantara dari Aceh. Ulama-ulama yang hadir dalam masa kerajaan Aceh telah dikirim ke beberapa wilayah di Nusantara jauh sebelum pikiran-pikiran “dangkal pijakan” yang muncul awal-awal kemerdekaan Indonesia. Tercata dalam sejarah bahwa peran Aceh sangat menentukan hadirnya Islam di seluruh penjuru Nusantara.

Stigma "mabok agama" yang dijuluki Belanda untuk orang Aceh ternyata sangat dipengaruhi oleh transformasi "lisanul bathin" yang ditanamkan ulama chiek, sehingga Aceh dapat menunjukkan identitas dirinya, yang tidak hanya mampu berperang, tetapi berani untuk mati dalam mempertahankan marwahnya.

Seiring berjalannya waktu, semangat lisanul bathin ini hilang dalam diri masyarakat Aceh. Semangat yang dibangun hari ini adalah lisanul fikri, di mana dengan pikirannya mereka tidak lagi menjadikan agama sebagai kesadaran dalam berbuat, melainkan menjadikan agama untuk menunjukkan identitasnya dalam lingkup yang rendah; seperti kekuasaan, politik, ekonomi, dan lainnya. Sehingga, keberadaan agama mengganggu stabilitas sosial masyarakatnya.

Konflik yang dibangun tidak lagi di tataran ide sebagai kemajuan dialektika ilmu pengetahuan, tetapi membangun konflik sosial antar sesamanya. Dan akhirnya terjebak dalam pusaran konflik, ketika musuh dari luar tidak ada, maka ia menciptakan musuh dari dalam. Maka jangan heran mereka berkonflik dalam lingkup yang lebih kecil, bahkan berkonflik dengan tetangganya sendiri. Jauh lebih buruk lagi lahirnya generasi yang berkonflik dengan dirinya sendiri.

Kenyataan hari ini, pikiran-pikiran yang muncul lebih pada menjadikan lisannya untuk memperkuat fikir, sehingga yang muncul bukan lagi membela wilayahnya, melainkan yang dibela adalah agama. Di sini mulai bergeser identitas masyarakat Aceh, agama yang seharusnya membangun kekuatan bathin malah dijadikan untuk membangun pikir. Akhirnya, yang muncul adalah bela agama, bukan bela tanah, harta, bangsa dan negara. Kembalilah pada titah lisanul bathin.

Berpikir untuk pedong agama adalah pikiran yang keliru. Keliru, sebab agama sejak dulu sudah tegak secara vertikal dan menjalar horizontal di Aceh. Agama menjadi sumber moral politik sudah terpatri sebagaimana hadeh maja Aceh “adat ngoen hukom lage dzat ngon sifet”.

Lisanul bathin membangkitkan semangat untuk mendirikan wilayah yang berdaulat. Yakni negara yang pijakan atas bedikari sendiri. Sebab, dengan adanya negara berdaulat kekayaan dan harta terjaga dengan baik.

Agama dalam orientasi lisanul fikir selalu dimanfaatkan untuk mengancam upaya mempertahankan wilayah dengan dalih “memberontak pada negara yang sah adalah sebuah pengkhianatan (bughat/rebellion). Namun pada sisi yang lain mencaplok dan mengambil hak-hak orang lain dengan menggunakan kekuatan negara dibolehkan. Sebagaimana halnya penguasaan lahan yang dikuasai oleh satu pihak atas dasar perlindungan hak guna usaha. 

Lisanul bathin yang dirubah menjadi lisanul fikir, akhirnya jadi sesat pikir. “Ranup yang talake, gambe yang dibi, hak udep yang ta angke, buso batok dipenari”. Itulah konsekuensi dari salah pikir dalam berbangsa.

Jakarta, 19 Oktober 2022.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA