MERASA MANDIRI ADALAH BENTUK KESOMBONGAN
Berusaha mandiri
dari segala hal, bahkan itu adalah impian semua orang. Dari kecil kita sudah
diajarkan untuk mandiri, baik dalam mengerjakan aktifitas sehari-hari maupun
dalam mengendalikan lingkungan di mana kita mengitarinya. Kehidpuan individu
harus mandiri, agar kemandirian personal dikemudian hari membentuk kemandirian
keluarga, masyarakat, dan negara.
Laki-laki yang
mandiri lebih utama dibandingkan dengan perempuan yang mandiri. Kemandirian itu
memiliki sifat baik dan juga menampakkan sifat buruk. Sifat baik seseorang yang
memiliki kemandirian ia bisa melakukan apa saja yang menjadi kewajiban atas dirinya.
Sementara sifat buruknya adalah ia merasa keberadaan orang lain tidak penting
baginya, sebab semua yang diinginkan dapat dilakukan oleh dirinya sendiri.
Seseorang yang
hidupnya mandiri lumrahnya ia memiliki jadwal hidup yang teratur. Setiap yang
menjadi aktifitas kesehariannya tercatat dengan sangat baik. Sekilas terlihat
ini adalah menjalankan manajemen hidup. Baginya melakukan sesuatu dengan
teratur dan terjadwal adalah kunci kesuksesan. Sekian banyak persoalan yang
dihadapi manusia tidak dapat diselesaikan jika tidak dilakukan dengan baik,
terjadwal, dan tepat waktu.
Sekilas terlihat ini
sangatlah bagus, namun dalam praktek sosial kedisiplinan sebagai penunjang
utama kemandirian sering kaku dalam memahami hidup. Sekian banyak persoalan
yang dihadapi manusia tidak semua dapat dilakukan dengan penjadwalan yang baik,
teratur, dan tepat waktu. Artinya, jadwal kehidupan hanya berlaku dalam dunia
kerja, itupun juga tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Seseorang yang
berkata saya sudah mandiri. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar, bahkan
tidak kecil kemungkinan ucapan tersebut mengandung unsur kesombongan, sebab ia
merasa kehadiran orang lain tidak menjadi penting. Sikap kemandirian yang
tertanam dalam diri seseorang melahirkan cara hidup individualistik.
Sepanjang sejarah
kehidupan manusia tidak dilalui dengan kemandirian. Bahkan penduduk syurga
sekalipun tidak mandiri, ia juga terikat dengan alam sekitarnya. Nabi Adam,
pada mulanya di dalam syurga telah dihadapkan dengan persoalan-persoalan, yang
mana persoalan tersebut menjadi sejarah bagi manusia hari ini, betapa
kemandirian itu tidaklah utuh dimiliki oleh manusia.
Manusia butuh tempat
untuk berpijak. Terlalu jauh memang mengatakan bahwa manusia butuh alam semesta
untuk melangsungkan kehidupannya, sementara untuk aktif menjadi manusia saja
kita butuh perangkat yang sangat banyak. Raga baru disebut hidup ketika ruh disatukan dengan jasad. Kemandirian tingkat awal pada diri manusia harus berangkat
dari penggabungan banyak perangkat.
Suatu komunitas dan
bangsa baru dianggap mandiri ketika ia dapat memenuhi segala yang menyangkut
dengan kebutuhan dasar mereka. Kesimpulan ini keliru, tiada kemandirian dalam
komunitas dan bernegara; mereka bergerak atas kepentingan bersama “simbiosis
mutualisme”. Semakin banyak jumlah manusia, dan semakin berkelompok-kelompok
kehidupan ini semakin pula manusia tidak akan pernah mandiri, ia butuh
pihak-pihak lain.
Kemandirian itu
hanya berlaku untuk diri sendiri, itupun aktifitas yang sifatnya pribadi.
Artinya, pekerjaan yang tidak mungkin dikerjakan oleh orang lain, seperti
mandi, buang air kecil dan besar, tidur, istirahat, emosional, memasukkan
nutrisi badan, vitamin, dan lain sebagainya. Kemandirian yang sifatnya pribadi
pun, alat untuk melakukannya kita butuh pihak-pihak lain sebagai penyedia.
Merasa mandiri
membuat manusia sombong dengan kehidupannya. Menjadi individualis ketika kita
merasa tidak butuh pada orang lain. Dan merasa mandiri menutup peluang pihak
lain untuk menaruh perhatian kepada sesama. Sehingga dalam kondisi seperti itu
seseorang akan merasa kehadiran orang lain sebagai masalah dalam hidupnya.
Kemandirian tidak
berlaku dalam kehidupan sosial, apalagi dalam kancah politik. Politik kekuasaan
yang diperoleh seseorang bukan karena ia melakukan banyak hal untuk dirinya
sendiri. Bahkan seseorang yang hanya memperhatikan dirinya semata adalah pihak
yang berkemungkinan tidak memiliki tempat dalam lingkaran kekuasaan.
Kemandirian yang
paling merugi di dunia ini adalah ketika seorang perempuan yang mandiri atas
dirinya, sehingga ia merasa tidak butuh lagi pihak-pihak lain untuk menaruh
perhatian padanya. Di sinilah masalah akan muncul dalam kehidupan rumah tangga,
ketika seorang istri merasa mandiri atas dirinya sendiri, sehingga ia merasa
tidak perlu perhatian dari pasangan hidupnya.
Kemandirian memang
tidak memihak pada siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan. Semua pihak
sangat dituntut untuk mandiri dalam konteks kehidupan pribadi yang tidak
mungkin dikerjakan oleh orang lain, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Namun, dibalik itu manusia juga dibentuk indra perasa dalam bentuk ingin
memerhatikan.
Sikap memerhati ini
lebih dimiliki oleh laki-laki (suami). Jika perempuan (istri) merasa sudah
tidak perlu lagi untuk diperhatikan, sebab merasa sudah mandiri dengan sendirinya
baik finansial, pekerjaan, dan lain sebagainya. Sementara perempuan akan merasa
asing ketika pasangannya acuh, walaupun pada hal-hal yang kecil sekalipun. Pada
tahap ini, laki-laki (suami) akan merasa bahwa keberadaan dirinya sudah tidak
penting lagi. Dengan kondisi seperti itu, berkemungkinan laki-laki akan menaruh
perhatiannya pada perempuan yang lain.
Jangan merasa kita
sudah mandiri, sebab pada dasarnya kita adalah pembantu dalam hidup ini (saling
membantu). Baik pembantu untuk diri sendiri maupun pembantu untuk orang lain
(Orang lain yang dimaksudkan di sini adalah selain diri kita).
Ada dua makna
pembantu dalam kehidupan; pembantu sebagai pekerja dan pembantu sebagai
pemilik. Jika kamu belum mampu menjadi pembantu sebagai pemilik usaha, maka jadilah
pembantu sebagai pekerja. Artinya, hidup ini adalah ruang kosong yang harus di isi
untuk diri dan orang lain. Merasa mandiri, maka bersiaplah untuk tidak
diperhatikan oleh orang lain.
Jakarta, 7 Oktober 2022.
Komentar
Posting Komentar