MEUKUPI MEUCAFE MEUHAPE

 


Meukupi adalah aktifitas klasik yang telah menjadi kebiasaan orang-orang sejak dahulu. Meu-cafe adalah tradisi baru yang memiliki karakter tersendiri bagi pengunjungnya. Sementara meu-hape adalah produk kontemporer yang selalu menyuguhkan hal-hal baru dengan sangat cepat merubah prilaku seseorang.

Fenomena warong kopi di Aceh khususnya dan pada umumnya di tempat-tempat yang lain sempat meresahkan para tokoh di Aceh, salah satu yang gencar-gencar mengkritisi fenomena warong Kopi asalah mantan rektor UIN ar-Raniry almarhum Prof. Dr  Farij Wajdi, MA., yang disampaikan dalam berbagai momen. Bukan tanpa alasan, fenomena ini ditangkap sebagai masalah baru bagi generasi muda Aceh. Trend duduk di warung kopi dipahami melalaikan serta menghabiskan waktu sia-sia.

Dilihat dari satu sudut ini ada benarnya, bahwa komunitas warung kopi menampakkan kegembiraan sesaat serta eforia yang tidak ada manfaat untuk menata kehidupan lebih baik, bahkan  warung kopi dipandang sebagai tempat berkumpulnya orang-orang malas. Komunitas "tajok jagong ateh meja" adalah ungkapan yang sering digunakan sebagai petuah-petuah kehidupan agar realistis dalam merancang perubahan.

Kritik yang dilontarkan oleh Prof. Farij Wajdi bukan tanpa alasan, secara  umum orang-orang menghabiskan waktu sepanjang hari dengan duduk bersantai. Pada kenyataannya fenomena "duk bak waroeng kupi" kebiasaan aktifitas klasik di Aceh, dari generasi ke generasi. Sebab, bagi orang Aceh ngopi atau "meukupi" bukti sebagai lelaki sejati. Apa pun yang dilakukan jika tidak ada kopi maka itu menjadi masalah besar, terutama sekali otak tidak lancar untuk berpikir dan seolah-olah aliran darah ke otak terhenti jika tidak menyeduh kopi minimal satu gelas dalam sehari.

Tercatat dalam cerita heroik sejarah pejuang Aceh Teuku Umar Djohan Pahlawan, telah meng-ikrarkan dirinya ketika dalam perjalanan ke Meulaboh. Tentunya sebagai pejuang yang sangat dimusuhi Belanda setiap langkah yang diayun Teuku Umar adalah ancaman serius. Dalam perjalanan Teuku Umar berkata "nyohana syahid loen, singoh bengoh tamekupi di keude Meulaboh". Artinya, jika saya tidak syahid (tertembak) besok pagi kita ngopi di pasar Meulaboh.

Bermakna; tradisi "meukupi" adalah ritual para pemikir dan pejuang yang selalu ingin membebaskan dirinya dari tekanan-tekanan dan ancaman dari luar. Di sini pikiran dalam prosesnya perlu dipicu oleh caffein yang terdapat dalam setiap seduhan kopi. Dengan aroma kopi yang dihantar melalui relungan jiwa membangkitkan jutaan inspirasi, dengan aroma sengatan kopi para lelaki, pemikir, dan pejuang menangkap asa memahami dunia.

Teuku Umar bersama semangat juangnya telah membawa makna dari aroma kopi. Para pejuang kehidupan mengambil semangat tersebut, bahwa pahitnya kopi bagaikan mata rantai kehidupan. Pahit kopi membuka cakrawala inspirasi dunia. Sementara pahitnya hidup membentuk kematangan berpikir. Dua-duanya membawa sebuah nilai juang, pahit kopi sebagai inspirasi, sementara pahit hidup membangun kematangan.  

Warung kopi telah mendatangkan curiga para pengamat yang sekilas melihat fungsinya. Namun jika ditelusuri lebih jauh warung kopi tidak hadir sebagai ancaman melainkan ia sedang menawarkan trend baru bagi sebuah generasi. Warung-warung kopi yang dulu, kini berubah gayanya. Hadirnya komunitas kopi hari ini tidak lagi  dinamai warung tapi sudah berubah menjadi baru yaitu cafe. Cafe dengan ornamen modern menyuguhkan banyak hal, mulai dari prilaku pengunjungnya, gaya, stile, dan selera. Namun aktifitasnya tetap lah sama, melainkan fungsinya saja yang berbeda.

Di cafe mulai membahas bisnis, politik, isu-isu keagamaan, bahkan sebagian cafe telah dijadikan sebagai pusat kajian Islam yang dilaksanakan pada jadwal tertentu dengan tema-tema tertentu pula. Perdebatan yang muncul di wilayah publik tidak jarang pula diselesaikan di meja cafe. Isu-isu krusial di negeri ini tidak luput dari amatan para pengunjung. 

Lokasi dan tempatnya pun di desain sedemikian rupa; baik ornamen, dekorasi, ruangan, tempat terbuka untuk umum, ruangan khusus, dan bahkan minuman serta makanan yang beraneka ragam. Dan tentunya jua dengan bandrolan harga yang terjangkau.

Setiap fenomena yang muncul selalu dihadapkan pada dua kemungkinan; berkemungkinan positif, dan berkemungkinan negatif. Cafe, negatifnya lebih pada bagaimana seseorang hadir memanfaatkan tempat dan waktunya, merugilah jika cafe Cuma digunakan hanya untuk menghabiskan waktu sekedar bertemu,berkumpul, tanpa adanya sesuatu yang dilakukan untuk memanfaatkan cafe awal segala rancangan dibahas. Positifnya, di cafe bisa melakukan apa saja dengan santai; seperti mengerjakan tugas kantor, kuliah, melobi, bisnis, program kreatifitas, menulis, dan lain sebagainya.

Aceh terkenal dengan negeri seribu masjid, dan Aceh juga dikenal dengan julukan seribu cafe. Jika saja dilakukan sensus rumah ibadah dan cafe, maka tempat yang paling banyak kita temui adalah cafe. Hampir di seluruh pelosok Aceh sangat mudah cafe-cafe ditemui. Lebih mudah mendapatkan cafe dibandingkan masjid. Dan lebih mudah datang ke cafe dari pada datang ke masjid. Masjid cuma dibuka saat waktu ibadah, sementara cafe dibuka dalam kurun waktu yang panjang, bahkan dibuka dalam waktu 24 jam.



Apakah dengan banyaknya cafe pertumbuhan ekonomi masyarakat semakin meningkat, apakah dengan adanya cafe kecerdasan umat terus bertambah, apakah dengan banyaknya cafe silaturrahmi lebih terbangun. Jawabannya bisa jadi ia dan bisa jadi tidak, tergantung bagaimana orang-orang yang mengunjungi cafe memanfaatkan momennya.

Begitu juga sebaliknya, pertanyaan yang sama apakah dengan banyaknya masjid tingkat ketaqwaan umat bertambah, kesalehan sosial meningkat, kepedulian pada sesama lebih terbangun, ketaqwaan dan kecerdasan mengitari kehidupan sosial. Jawabannya bisa jadi ia dan bisa jadi tidak, sebab itu semua sesuai dengan bagaimana cara kita memanfaatkan masjid.

Kecanduan seseorang terhadap kopi tidaklah sebanyak jumlah manusia yang ada di dunia ini. Tidak semua orang peminum kopi, dan tidak pula semua orang mau berlama-lama duduk di cafe menghabiskan waktunya sampai satu hari penuh (siuro suntok). Begitu juga dengan rumah ibadah, tidak semua tempat dan lokasi dapat ditemukan, tidak untuk umat Islam, Kristen, Hindu, Budha, konfusyu, dan agama apa pun yang dianut oleh manusia.

Dan tidak semua penganut agama mau berlama-lama menghabiskan waktunya di rumah ibadah. Apalagi dalam konsep agama diajarkan bahwa beribadah itu tidak hanya dilakukan dengan cara menyambung jiwa pada Tuhan semata, yang dilakukan dengan tata cara tertentu sesuai agama masing-masing, melainkan juga dilakukan secara muamalah dengan cara berbuat kebaikan untuk manusia dan alam semesta.

Namun, berbeda dengan gadget, seluruh tempat dan sejumlah manusia di dunia masing-masing dari mereka memilikinya, terserah dengan kepentingan apa dan digunakan untuk apa, serta hadir dalam berbagai bentuk, tipe, size, dan lainnya. Pada kenyataannya gedget, memilikinya telah menjadi sebuah kebutuhan masyarakat dunia.

Alat ini telah mempermudah manusia menyelesaikan masalahnya. Dan alat ini juga telah banyak menciptakan masalah baru bagi kehidupan. Arus informasi yang begitu tajam dapat dengan mudah diakses melalui teknologi komunikasi tangan. Dengan gadget sikap tidak lagi dilihat pada ucapan, melainkan pada bagaimana ia memainkna ujung jari.

Gadget adalah seperengkat alat elektronik kecil yang memiliki fungsi khusus. Gadget merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan "acang".  Salah satu yang membedakan antara gadget dengan perangkat elektronik lainnya adalah pada unsur "kebaruan". Artinya, pada masa ke masa gadget selalu muncul sajian teknologi terbarukan, dengannya membuat hidup manusia lebih praktis dalam menyelesaikan masalah hidupnya.

Apakah fenomena meu-hape akan mengubah diskusi ala meu-kupi, mengingat forum-forum diskusi pasca dunia dilanda covid-19 berubah polanya. Orang-orang tidak perlu lagi merencanakan untuk bertemu di alam nyata, cukup membuat pamplet elektronik jadwal diskusi, atau rapat kerja, seminar, kuliah, dan lain sebagainya dijadwal dan berlangsung secara online.

Tradisi meu-cafe dan meu-hape sebenarnya sama-sama menawarkan tradisi buruk jika tidak dilakukan dengan hal-hal yang bermanfaat. Meu-cafe jika tidak diisi dengan aktifitas yang baik, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan. Ruangan-ruangan yang tersedia hanya untuk menampung orang-orang malas yang tidak memiliki program yang jelas. Mengahabiskan waktu tanpa misi; baik untuk diri, keluarga, dan bangsa. Begitu juga dengan tradisi ­meu-hape, akan berdampak buruk juga jika tidak digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.

Meu-hape, jika tidak digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, maka dalam waktu tidak lama peradaban satu generasi akan runtuh. Dikala masyarakat dunia dengan meu-hape mulai menjadikan ujung jarinya sebagai alat kerja yang praktis, sementara sebagian dari masyarakat kita masih menggunakan ujung jarinya hanya untuk bermain-main saja. Bahkan yang lebih parah lagi, ujung jarinya hanya difungsikan untuk menekan angka-angka dan tombol-tombol judi, serta menebar kebencian kepada sesama dengan memanfaatkannya untuk menebar fitnah.   

Melalui tradisi meu-kupi jiwa membangun inspirasi, dengan masjid terbina spiritualitas, bersama gadget membangun kecerdasan dalam berliterasi. Meu-kupi yang membangun jiwa, beribadah yang membentuk spritualitas, dan meu-hape  yang memangun kecerdasan; melalui titik ini apa yang saat ini ditempuh harus menjadi tonggak untuk menempuh atau meraih posisi yang jauh lebik baik di kemudian hari. Secanggih apa pun alat-alat teknologi yang digunakan hari ini, kemampuan manusia masih jauh lebih unggul, maka gunakanlah alat itu untuk mempercepat manusia meperbaharui keunggulannya.

Tulisan ini jadi karena tradisi meu-kupi dan meu-hape, bukan karena meu-upat (ghibah), apalagi meupake.

Jakarta, 6 Okober 2022.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA