Pendidikan Membangun Karakter dan Sikap
Pendidikan
dan pembangunan karakter selalu dituntut satu jalan. Mengisi pikiran,
namun tidak mengisi karakter tidak akan membawa perubahan dalam diri seseorang.
Apakah
seseorang bisa terbentuk karakter dirinya secara spontan. Jawabannya tidak,
sebab karakter itu muncul dari apa yang selalu dipikirkan. Karakter setiap kita
dibentuk oleh karena pikiran.
Kita ada
karena kita berpikir, begitulah ungkapan seorang filosuf modern, dan
kita dianggap tidak ada jika tidak berpikir. Seharusnya, pertanyaan
yang selalu dimunculkan pada setiap saat adalah apa yang harus dipikirkan.
Pertanyaan
ini untuk membentuk karakter seseorang. Jika yang kita pikirkan sebuah
pikiran perubahan, maka keberadaan anda selalu menginginkan karakter pendorong
perubahan-perubahan itu.
Jika
pikiran yang muncul sekedar ingin mengungkapkan sosok diri, maka yang muncul
adalah keluh kesah, umpatan, buruk sangka, dan kecurigaan-kecurigaan. Terbawa
perasaan oleh pikiran orang lain di ranah sosial bagian dari karakter yang
lemah.
Begitu
juga sebaliknya, pertanyaan yang dimunculkan “apa yang anda perbuat”. Maka,
pertanyaan seperti ini tidak akan membentuk karakter seseorang, sebab banyak
perbuatan tidak butuh pikiran. Kalo sekedar kerja monyet di gunung juga kerja.
Artinya,
monyet tidak pernah membentuk karakter dirinya, monyet hanya menerima
jadi apa yang berlaku pada lingkungannya. Sebab dia selalu berteman
dengan sesamanya, maka sikap monyet secara keseluruhan adalah sama, yakni
rakus, suka mengganggu, bikin onar, dan lain sebagainya.
Berbeda
dengan monyet yang sudah diadopsi oleh manusia. Sesuatu yang baru dapat dilihat dari
perubahan sikapnya. Di sini, monyet telah diajak berpikir bagaimana
membentuk karakter yang berbeda dari komunitas asalnya.
Apa yang
dilihat oleh monyet membuat ia berpikir dengan kadar olahan pikirnya. Lalu
monyet itu menerima perubahan-perubahan yang setiap saat ia lihat. Pada
akhirnya sang monyet berhasil menjadi setengah manusia.
Walaupun
pada satu sisi tindakan manusia mengadopsi binatang dipertanyakan. Sesuatu
sering terbalik pada sebagian kecil orang “binatang liar dipelihara, binatang
peliharaan malah dijadikan mangsanya”. Betapa banyak anak ayam peliharaan
dijadikan umpan ular binatang yang liar yang dipelihara.
Manusia
harus memiliki karakternya sendiri, sebab potensi akal yang dimiliki sangat
memungkinkan ia menjadi dirinya sendiri melalui pikirannya. Ada pun proses
belajar pada lembaga mana pun itu hanya membantu seseorang membentuk
karakter dirinya.
Seseorang
yang selalu berpikir ingin menjadi orang alim di bidang agama, maka ia
akan memilih lembaga pendidikan Islam, seseorang yang ingin menjadi insinyur
maka ia akan memilih Fakultas teknik, seseorang yang ingin menjadi
dokter maka ia akan memilih Fakultas Kedokteran
untuk membentuk karakter dirinya, begitu juga pada
karakter-karakter yang lain.
Karakter
adalah sebuah sikap, yang belum memiliki tatanan
etika, moral, akhlak, dan adab. Sebab yang namanya pikiran tidak
butuh itu. Maka kita dapat melihat dalam beberapa disiplin ilmu tidak
diajarkan bagaimana bersikap, karena karakter dibentuk oleh pikiran,
sementara etika, moral, akhlak, dan adab dibangun oleh rasa.
Jadi tidak perlu dituntut harus berakhlak dalam membentuk karakter seseorang,
cukup gunakan pikiran saja.
Namun,
tidaklah berhenti di situ. Setelah seseorang memiliki karakter yang kuat, maka
langkah berikutnya membentuk budaya yang mapan dalam dirinya. Karakter sebuah
negara yang dibangun berdasarkan teknologi, maka budaya masayarakat nya akan
dibangun menggunakan alat-alat teknologi canggih. Dan seluruh dunia hari
ini tersentuh dengan budaya teknologi.
Sistem
kerja yang dibangun berkarakter modern. Aktifitas manusia hari ini sudah
dipersingkat masanya dengan mesin-mesin canggih. Artinya, teknologi telah
memangkas waktu. Bukan memperpendek waktu yang ada, melainkan mempercepat dalam
menggunakan waktu.
Bagaimana
dengan etika, estetika, moral, akhlak, dan adab akan terbangun dalam diri
seseorang. Persoalan ini masuk katagori aksi. Dan ini bukanlah karakter, sebab ia
dibangun berdasarkan rasa.
Membentuk
rasa dengan cara bersentuhan langsung. Ketika anak itu dilahirkan, maka rasa
itu mulai ditanam. Seperti memperdengarkan kalimat-kalimat yang
baik, cara bicara yang baik, bicara yang lembut, dan sebagainya.
Ini tidak
butuh pikiran, sebab anak itu belum jalan akalnya, yang ia tangkap melalui
kesadaran panca indra. Tepatnya, sebagaimana Islam mengajarkan ketika
seorang anak lahir ke dunia suara pertama yang harus diperdengarkan adalah
suara azan.
Pendidikan
dalam Islam dibangun atas dua masa; “tarbiyatul ula qablal wiladah,
watarbiyatul ula ba’dal wiladah”. Pendidkan pertama sebelum ia
lahir, dan pendidikan pertama setelah ia lahir. Kedua masa pendidikan ini
adalah menanamkan sikap.
Sebelum
anak itu bersentuhan dengan dunia pendidikan luar, maka ia terlebih dahulu
menjalani pendidikan internal, yaitu keluarga. Dan ini tergantung bagaimana
sikap kedua orang tuanya.
Itulah
pentingnya seseorang memiliki pendidikan yang membentuk karakter yang kuat
serta memiliki rasa, sebab setiap kita adalah guru pertama bagi generasi
berikutnya.
Lembaga
pendidikan tidak membentuk etika, moral, akhlak, dan adab. Lembaga
pendidikan lebih pada membangun karakter. Oleh karena itu, selesaikan
akhlak, etika, moral dari rumah terlebih dahulu.
Tiba anak
itu dibawa menuju tempat pembentukan karakternya ia sudah terbiasa dengan
sikap-sikap yang baik yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Bagi seseorang
yang telah dibentuk sikap yang baik, di mana pun dan pada lembaga apa pun,
serta majelis apa pun ia belajar, ia dengan sendirinya tetap
mempertahankan sikap yang baik.
Pada saat
“caracter building” dibangun melalui lembaga pendidikan, dan
majelis-majelis apa pun mereka akan tergiring dengan sikap yang
ditanamkan oleh lembaga tersebut secara kolektif
berdasarkan kurikulum. Dan begitu juga dengan hadirnya seseorang
dalam majelis-majelis tertentu mereka akan mengikuti sikap yang dibangun
oleh majelis-majelis tersebut.
Bisa
jadi, anak itu akan melawan orang tua dan lingkungannya, sebab tidak
bersesuaian sikap dengan gurunya. Dapat diterima jika saja pembentukan
sikap pada hal-hal yang positif, jika tidak maka kita akan kehilangan satu
generasi yang tidak membangun sikap secara kolektif.
Al-ilmu
huwa ad-diin fandhuru amantak hudzunakum (ilmu itu agama bagimu, maka
perhatikan pada siapa engkau mengambilnya. Jika engkau mengambilnya pada orang
yang salah, maka kesalahan akan mengikutimu.
Kesalahan
di sini ada pada sikap, bukan pada ilmunya. Jika seseorang telah diajarkan
sikap yang baik, apa pun yang membentuk karakter dirinya ia akan mampu mencerna
dan memilahnya. Apalagi frontal dengan orang banyak hanya karena terpengaruh
dengan sikap tutorialnya.
Karakter itu dibentuk dari apa yang kita pikirkan, sementara sikap muncul dari rasa yang sudah ditanam. Pertajamlah pikiran-pikiran itu agar karaktermu semakin kuat sesuai ilmu serta keahlian lintas bidang. Dan perdalamlah rasa itu agar sikapmu tidak pernah terpengaruh dengan siapa pun.
Ketika rasa dan karakter menyatu dalam diri seseorang, maka denganya akan terbentuk sebuah komunitas dengan karakter yang kuat dan sikap yang baik. Jika keduanya tidak berjalan, setinggi apa pun pengetahuan yang dibangun pada sebuah bangsa tidak akan membawa perubahan yang signifikan.
Jakarta, 23 Oktober 2022.
Komentar
Posting Komentar