RAIHLAH KEMULIAAN DAN KEPANTASAN
Seseorang hidup pas-pasan atau miskin atau bekerja di tempat yang sering rendah dilihat banyak orang, ia tetap saja bersyukur, tidak curang, tidak menipu, tidak mengambil hak orang lain, tidak menghalalkan segala cara untuk kepuasan dirinya, tidak iri, dengki, takabbur dan hasad, tidak pernah ingin mencelakakan orang lain, dan lain sebagainya.
Orang seperti ini memiliki "kemuliaan" serta memiliki "kepantasan" dengan kedudukakannya. Dan tidak perlu kita harus membayangkan hal-hal lain yang buruk dan merendahkan. Apalagi ia sedang menjalankan dengan baik takdir dan qadha Tuhan atas dirinya.
Sebaliknya, ada orang memiliki banyak hal; seperti kekayaan, pangkat, jabatan, pengaruh, bekerja pada tempat-tempat yang dilihat bonafit oleh banyak orang, dan lain sebagainya. Tetapi, ia tidak memiliki "kemuliaan" dan "kepantasan" atas pekerjaan tersebut.
Karena dalam perjalanan meraih semua itu ia telah melakukan sesuatu yang tidak baik, curang, iri, dengki, hasud, jika ia punya kuasa dan jabatan disalahgunakan, inkar janji, pendusta, suka menjegal orang lain, memanfaatkan jabatan lebih pada kepentingan pribadi dan kelompok, dan lain sebagainya. Orang seperti ini tidak pantas diberi "kemuliaan" dan "kepantasan".
Lihatlah orang lain itu karena "kemuliaan" dan "kepantasannya". Bukan karena ia miskin, orang lemah, penguasa, elit; baik elit agama maupun elit politik, orang kaya, pengusaha, pejabat, ulama, orang awam, dosen, guru, milyuner, serta apa pun pekerjaan dan kedudukan itu. Jika ia melepaskan diri dari asas-asas kefitrahan, maka ia adalah orang yang hina.
Apalagi seseorang yang kemewahannya hasil ngutang sana-ngutang sini, atau seseorang yang membawa hutang sepanjang hidupnya. Baik hutang uang, jasa, janji politik, hak-hak orang lain atas kuasa dan jabatannya, dan lainnya. Karena, orang seperti ini pada dasarnya sedang mejemput azab ketika hidupnya berakhir. Sama sekali ia tidak memiliki sedikitpun "kemuliaan" dan "kepantasan".
Jakarta, 6 November 2022.
Komentar
Posting Komentar