INTELEKTUAL MENDESAIN PIKIRAN DAN KEKUASAAN MENDESAIN PENDAPATAN

Dua golongan yang sering menyapa manusia; golongan intelektual dan golongan politik. Golongan intelektual menyapa  dengan ide, pikiran, konsep, wacana. Sapaan intelektual dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupu ucapan. 

Sapaan intelektual mengantarkan pengetahuan baru berdasarkan kenyataan-kenyataan aktual. Dengan tujuan mengantarkan paham dalam berbagai hal pada manusia sesuai dengan bidang dan perannya. Ketika intelektualitas menyapa diri masing-masing maka akan terjadi perubahan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara golongan politik menyapa manusia dengan janji-janji bahkan terlalu manis, yang kadangkala tidak dipenuhi dengan baik ketika kekuasaan diserahkan padanya. Bahkan, sering terjadi politik kuasa menjual dirinya dengan harga yang murah. Sapaan politik hanya meninggalkan jejak sesaat, karena sering terdapat suguhan-suguhannya untuk menutupi kekosongan program, selebihnya adalah popularitas.

Membangun citra intelektual tidaklah mudah, ia butuh waktu untuk membangun intelektualitas dirinya di bangku pendidikan. Sementara membangun citra politik cukup menjadi kader partai lalu pinter memainkan peran, kemudian dengan sangat mudah mendapatkan simpati orang-orang. 

Memainkan peran intelektual adalah peran yang berat, maka berat juga diterima oleh kebanyakan orang. Sedangkan peran politik dapat dilakukan dengan mudah, sebab yang dibutuhkan hanyalah popularitas dan modal dalam bentuk materi. 

Masyarakat di zaman keterbukaan informasi seharusnya berperan bersama kelompok intelektual, bukan malah menceburkan diri bersama janji manis penuh kepentingan dari kelompok politik. Atau, masyarakat memberi porsi dan peran lebih pada kelompok intelektual dalam rangka bagaimana menentukan pilihan-pilihan politik dengan ide, konsep, dan wacana yang membangun.

Suatu kerugian besar jika peran intelektual hanya dijadikan sebagai wujud kebangga semata bahwa kita memiliki pemikir yang sangat baik. Jangan biarkan ide dan pikiran golongan intelektual hanya sebagai pemanis bacaan saja, melainkan ide dan pikiran tersebut harus menjadi dasar bagi masyarakat dalam menentukan ide-ide politiknya.

Pemimpin adalah orang yang mampu mendesain insentif untuk orang lain. Insentif dipahami suatu kompensasi dari perusahaan sebagai penghasilan tambahan atas gaji bulanan sebagai imbalan atas kerja keras pekerja. Perusahaan yang mengeluarkan modal pribadi saja dituntut untuk memperhatikan insentif pada karyawannya. 

Lalu bagaimana dengan pemimpin di lembaga negara yang tidak perlu mengeluarkan modal, dan hanya mengelola anggaran yang telah disediakan. Sebagai hak pengelola, maka seharusnya pemimpin lebih giat dalam hal mendesain insentif pada orang-orang yang dipimpinnya. Bukan cuma pintar mendesain pencitraan untuk popularitas diri tanpa elektabilitas yang dapat dipercaya.

Desain insentif ini dengan  upaya membangun kesejahteraan umat manusia. Pemimpin tidak boleh mengekang pendapatan, apalagi menjual pendapatan tersebut untuk kepentingan dirinya. Lebih buruk lagi desain pendapatan dengan cara membangun arogansi politik, menganggap bahwa penguasa anggaran ada di tangannya, sehingga ia berhak mengatur serta mendesain pendapatan orang-orang yang pada ujungnya mendatangkan pemasukan pada dirinya. Desain pendapatan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh pemimpin di level mana pun, baik untuk diri, keluarga, dan kelompok, apalagi bagi mereka yang diberi hak kuasa atas anggaran. 

Setiap kita adalah pemimpin, setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya. Pertanggung jawaban  pemimpin disaat ia hidup dan menjalani fungsi-fungsi sosial adalah seperti apa cara ia mendesain pendapatan serta insentif bagi orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya dan masyarakat secara luas. 

Jika desain pendapatan dan insentif hanya untuk diri dan kelompoknya saja, maka ia tidak layak disebut sebagai pemimpin, tapi layak disebut sebagai pecundang atau perampok. Begitu juga dengan kelompok intelektual tidak dibenarkan membangun narasi hanya untuk membenarkan pikirannya semata, dan menolak kebenaran berdasarkan pikiran yang lain.

Seyogianya kita menghindar diri dari upaya menghadirkan para perampok intelektua dan penjarah kekuasaan yang tidak berpikir bagaimana mendesain insentif baik dalam bentuk ide, pikiran, dan konsep untuk rakyat secara merata dan keseluruhan. Sehingga setelah berakhir kekuasaan; baik kuasa intelektual maupun kuasa anggaran terbangunlah kemajuan yang merata; secara intelektulitas terus berkembang, dan kesejahteraan ekonomi terus meningkat.

Jakarta, 12 Ferbruari 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA