MEMBACA TANPA PIKIRAN HILANGNYA RASA
Ketika hadirnya kita hanya
berdasarkan hasil bacaan teks semata bukan lahir dari pikiran dan rasa, maka
keberadaan kita tidak akan pernah ada bagi orang lain. Karena, bacaan itu hanya
memindahkan pengetahuan saja dari buku ke otak, bukan menterjemahkan pikiran
dalam realitas dan mendudukkan rasa dalam kenyataan sosial. Serendah-rendah
pengetahuan adalah yang diperoleh dari membaca, sementara ilmu tertinggi adalah
mampu merasa.
Berbeda dengan pikiran dan rasa,
keduanya adalah refleksi diri secara tiba-tiba dalam berinteraksi dengan
pihak-pihak yang lain. Refleksi secara tiba-tiba inilah menurut Ibnu Maskawaih
dipahami sebagai akhlak. Menurutnya akhlak adalah tindakan reflektif secara
tiba-tiba tanpa pertimbangan sebelumnya. Jika seseorang harus berbuat baik pada
yang lain itu murni karena kebaikan bukan karena ada iming-iming yang lain.
Akhlak yang dibangun atas dasar
keikhlasan inilah makna aplikatif dari tasawuf. Tasawuf hadhari bukanlah teori,
tetapi ia adalah praktisi. Maka, sangat keliru jika ada yang mengaku ahli
tasawuf sementara informasi yang dimiliki hanya berdasarkan bacaan saja bukan
dibangun berdasarkan pikiran dan rasa.
Tasawuf adalah prilaku yang
menghadirkan diri pada diri orang lain. Mendalaminya sejauh ia memahami dirinya
sendiri. Artinya, melihat objek yang lain seperti ia melihat subjek diri. Dalam
hal ini setiap kita adalah subjek. Jadi, tidak adalagi objek yang diperlakukan
sebagai bahan penelitian semata. Apalagi menjadikan objek sebagai manfaat
baginya.
Kelompok-kelompok tasawuf teori
hanya memiliki pengikut yang banyak, namun tidak dalam konteks hadhori.
Terkadang, kelompok-kelompok ini (tasawuf teori) orientasinya tidak lagi murni
menyebarkan pikiran dan rasa pada orang lain, namun lebih pada menciptakan
kelompok.
Ini dapat dilihat dari cara mereka
membela kelompoknya ketika berbenturan ide dengan kelompok yang lain. Tepatnya
tasawuf menghadirkan subjek. Jika setiap kita saling memposisikan diri sebagai
subjek semesta, maka tidak adalagi objek-obek yang dirugikan dalam hidup ini.
Seandai saja yang dibangun dalam
diri adalah kemampuan pikiran dan rasa, maka keberadaan setiap kita hadir
sebagai praktisi tasawuf hadhari. Perannya akan membawa kemashlahatan bagi
manusia; baik dalam konteks ibadah, ekonomi, budaya, sosial dan politik.
Kelompok pengajian dalam bentuk apa pun akhirnya menjadi gerombolan; pada
akhirnya menjadi mesin politik yang memihak pada kelompok politik tertentu
pula.
Politik yang dibangun atas dasar
bacaan teks semata juga sama buruknya dengan keberadaan diri tanpa pikiran dan
rasa. Akhirnya kebijakan publik kacau balau, masing-masing menonjolkan dirinya.
Sementara tugas sebagai fungsi kerja tidak terlihat lagi. Di sini, yang muncul
hanyalah pencitraan-pencitraan lewat media sosial. Seremoni politik hanya
dimainkan oleh politisi kerdil yang banyak salah kaprah dalam memframing
informasi.
Akhir-akhir ini kita melihat
legislatif mulai bicara pembangunan praktis yang sebenarnya itu adalah tugas
eksekutif. Artinya, legislatif sedang bekerja dengan bacaan bukan dengan
pikiran dan apalagi rasa. Jika saja, legislatif sudah mulai menjamplongi kerja
eksekutif dengan kleim pembangunan melalui tangannya, maka fungsi pengawasan
terhadap anggaran mau diserahkan pada siapa lagi.
Terkadang framing-framing di media
seolah-olah lebih tajam peran legislatif dalam transformasi pembangunan.
Sehingga, peran eksekutif sebagai penguasa anggaran redup. Padahal melalui
tangan eksekutif sebagai penguasa anggaran telah banyak mendistribusikan
kekuasaannya untuk pembangunan di segala bidang.
Bekerja berdasarkan bacaan tanpa
pikiran dan rasa mengantarkan pelakunya pada tindakan salah kaprah. Lembaga
yang seharusnya berfungsi sebagai pihak pengawasan, aspiratif, dan membangun
regulasi sesuai dengan realitas yang sedang dihadapi, akhirnya terjebak dalam
bacaan sesat pikir. Lalu, pikiran-pikiran salah kaprah dipahami baik oleh
kalangan bawah oleh karena ketidaktahuannya atas fungsi dan kontrol suatu
lembaga.
Seyogianya; kita yang hadir dalam
berbagai momen kehadiran diri tidak berdasarkan hasil bacaan semata, melainkan
harus dibangun berdasarkan konsep pikiran dan rasa. Sebab, hanya melalui
pikiran dan rasa inilah kita mampu memahami tugas dan fungsi masing-masing.
Lebih-lebih lagi fungsi kebijakan publik yang harus dipertanggung jawabkan
secara baik, baik secara hukum maupun secara konstitusional.
Komentar
Posting Komentar