PUASA: AKTIVITAS RAGA MENDIDIK KESASABARAN JIWA
اَمۡ
حَسِبۡتُمۡ اَنۡ تَدۡخُلُوا الۡجَـنَّةَ وَلَمَّا يَعۡلَمِ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ
جَاهَدُوۡا مِنۡكُمۡ وَيَعۡلَمَ الصّٰبِرِيۡنَ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara
kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar”. Q. S. Ali-‘Imran/003: 142.
Menurut Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution, sebagaimana kita
ketahui puasa adalah pekerjaan rohani, walaupun mengikutsertakan anggota badan. Sebagaimana dijelaskan hadis Rasulullah, kalau puasanya hanya sekedar
bersifat fisik tanpa menyadari bahwa ini adalah pekerjaan rohani, maka yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga
saja.
Sabar juga kondisi
rohani, terdapat
hubungan yang erat antara puasa dengan kesabaran. Fakta menunjukkan bahwa
orang-orang yang sukses memiliki reputasi yang baik, dan ini tercatat dalam sejarah, bahkan menjadi
contoh bagi orang banyak, sebab orang-orang
yang berpuasa membangun kesabaran. Sebaliknya orang yang
tidak sabar membawa diri menuju kegagalan.
Alquran mengungkapkan kata sabar sebanyak 85
kali, dan puncak dari kesabaran adalah mengikuti tingkat kesabaran para ulul azmi. Secara
harfiah kata ulul azmi artinya
yang memiliki kebesaran. Rasulullah juga demikian. Mengikuti shirah
nabawiyah,
perjalanan hidup Nabi jika perjuangan dakwahnya tidak dibangun atas dasar
kesabaran, para Nabi tidak akan mendapat kesuksesan. Dengan demikian dapatlah
dipahami kesuksesan hanya dapat dibangun berdasarkan kesabaran.
Sabar dan amarah adalah dua sifat berpotensi ada dalam
diri manusia. Kedua sifat ini tidak bertemu dalam satu ruang dan waktu, tetapi keduanya selalu bertolak belakang. Sifat
sabar mendominasi dalam diri seseorang yang tertancap keimanan dalam jiwa dan
qalbunya. Sebaliknya, sifat amarah mendominasi dalam diri seseorang yang
dikuasai oleh nafsu serakah. Sifat sabar akan terbangun dengan berpuasa, begitu
juga dengan sifat amarah dapat dipadamkan dengan berpuasa jua. Puasa akan menahan dan membakar
sifat buruk dalam diri hamba, sebagaimana terbakarnya kayu oleh api yang
menyisakan debu.
Puasa adalah ibadah yang telah diwajibkan pada orang-orang terdahulu, sepanjang
sejarah kehidupan manusia mengenal Tuhannya. Baik orang-orang terdahulu,
sekarang, dan masa yang akan datang. Kewajiban ini menjadi beban personal, yang mana pelaksanaannya terikat dengan waktu, baik waktu yang
ditentukan seperti puasa di bulan suci ramadhan dan juga ketentuan waktu puasa
sunat. Dan juga waktu
yang dipilih oleh manusia itu sendiri, seperti puasa nazar.
Terdapat dua status hukum terhadap puasa, puasa wajib
dan puasa sunnah. Puasa wajib di antaranya puasa ramadhan, qadha, nazar,
kafarat. Sementara puasa sunat di antaranya puasa senin kamis, enam hari
syawal, tiga hari setiap bulan qamariah, puasa Daud, puasa saat i'tikaf, puasa sembilan dan sepuluh
Muharram, puasa di bulan Sya'ban atau Muharram, puasa hari arafah, puasa di
bulan zulqedah dan zulhijjah.
Kewajiban berpuasa bagi manusia sesuai dengan perintah
di masanya. Dalam pelaksanaannya tidak melulu kaku, kewajiban melaksanakannya
juga disesuaikan dengan kemampuan diri yang berpuasa. Bahkan dalam kondisi
tertentu, personalitas manusia boleh untuk tidak berpuasa karena terdapat hal-hal
yang mencukupi syarat untuk berhenti sejenak berpuasa; seperti sakit, menempuh
perjalanan, dan dalam kondisi yang lainya. Namun keringanan untuk tidak
berpuasa, harus diganti pada momen dan hari yang lain.
Perintah berpuasa ditujukan kepada orang-orang yang
beriman. Lafadh awal ketika Tuhan memerintahkan berpuasa menggunakan narasi keimanan, "yaaa ayyuhalladhi na
amanu". Artinya, sebelum puasa dibebankan atas manusia, manusia
terlebih dahulu harus mengenal Tuhannya. Menanamkan kemampuan untuk mendalami
frekuensi keimanan terlebih dahulu, sehingga kekuatan tauhid dalam jiwa manusia
benar-benar terbentuk dengan baik.
Tentunya sangat berbeda ketika Tuhan menggambarkan
kepada manusia bahwa sisi
penciptaan yang beraneka ragam dari suku dan bangsa yang
berbeda-beda tidak lain dan tidak bukan, semua itu diciptakan untuk saling
mengenal di antara kalian. Ungkapan yang digunakan Tuhan menggunakan narasi "yaaa ayyuhannas".
Artinya, pada persolan yang tidak
terikat dengan akidah Tuhan tidak memanggil manusia dalam personalitas
keimanan. Dalam konteks
kemanusiaan tidak mesti harus beriman terlebih dahulu untuk saling
mengenal di antara sama lain. Cukup
menjadi manusia saja, kewajiban untuk saling memahami harus tegak lurus dan
horizontal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puasa dan pelaksanaannya dilandasi atas keimanan dan
kemampuan tauhid yang kuat. Tujuan utama dari puasa adalah mendidik potensi
jiwa yang terpadu dan menyeluruh. Berdasarkan didikan terhadap jiwa, maka bulan
puasa dapat juga dipahami sebagai fakultas hidup. Bagaimana memahami dan
menghadirkan nilai puasa sebagai ibadah spiritual memengaruhi ibadah sosial.
Karena berpuasa hanya diwajibkan kepada orang yang beriman. Dengan demikian nilai kekuatan tauhid mesti memengaruhi
etos kerja bagi manusia.
Manusia tumbuh dengan kejujuran yang hilang, dan rasa
malu yang terus berkurang, semangat memperbaiki memudar, upaya untuk bangkit
bersama-sama kehilangan kesadaran, lalu manusia kehilangan segala impian. Apa
yang menyebabkan ini semua terjadi tak lain dan tak bukan karena hilangnya iman
dan lemahnya semangat
ketauhidan dalam memengaruhi cara berfikir manusia, sehingga buruklah kemampuan
diri dalam membentuk potensi kerja sosial.
Ramadhan hadir sebagai fakultas hidup bagi manusia
untuk memahami bahwa potensi
diri yang ada dalam diri manusia adalah manifestasi dari sifat ketuhanan.
Ketika sifat ini tidak mampu memengaruhi diri manusia, malah manusia lebih memperturutkan hawa nafsunya,
maka di sini puasa berperan menjadi kurikulum yang ampuh untuk menata kembali
protensi-potensi diri yang kehilangan sifat aslinya.
Puasa mendidik kesabaran, kedisiplinan, memahami diri
dan orang lain. Dengan berpuasa kita dapat merasakan seperti apa rasa lapar.
Kemiskinan yang menyebabkan orang-orang lapar adalah komunitas terbanyak dalam sejarah kehidupan manusia di belahan dunia mana pun. Puasa juga dipahami
kemampuan manusia untuk memilih. Memilih untuk berpuasa dan memilih untuk tidak
berpuasa. Tuhan memilih orang-orang beriman untuk melaksanakan puasa. Artinya,
hanya kekuatan iman yang mampu membawa hati manusia memilih untuk berpuasa. Dalam pelaksanaannya puasa
adalah tindakan hanya diketahui oleh diri dan Tuhannya saja.
Fungsi puasa secara kolektif adalah mendidik kesabaran.
kesabaranlah yang mampu mengontrol segala keburukan yang ditimbulkan oleh
pikiran manusia, dan dengan kesabaran juga manusia mampu mengontrol segala kebaikannya. Buruk dan baik selalu berjalan
beriringan dalam hidup yang sedang dijalani. Jika
saja manusia tdak mengikat diri dengan kesabaran, maka sungguh potensi manusia
setara dengan binatang, bahkan jauh lebih buruk darinya.
Segala keburukan seperti amarah, dengki, khianat,
‘ujub, takabur, ria, sum’ah, membanggakan diri, merasa lebih hebat dari yang
lainnya, menyombongkan diri atas apa yang dimiliki olehnya, dan segala
keburukan yang lainnya. Semua keburukan ini tidak berpindah dari manusia jika
potensi kesabaran tidak kuat dalam jiwa. Kesabaranlah
dibentuk dalam berpuasa. Sabar untuk tidak makan dan minum dimulai dari waktu imsak, dan sampai pada waktu
berbuka. Sabar untuk tidak mengambil apa yang bukan haknya. Sabar untuk tidak
menganiayai diri dan orang lain. Sabar untuk tidak menipu.
Kesabaranlah yang mampu mendidik
manusia untuk tidak merasa lebih hebat dari yang lainnya, kesabaranlah yang
mampu menahan manusia dari buruknya sifat amarah, sombong, angkuh, ‘ujub,
takabur, ria, serta yang lainnya. Dan sabar ini akan terus terbangun
dan terbentuk sepanjang manusia memahami tentang puasanya.
Sabar dalam pengertiaannya adalah mampu menahan diri
atas apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Upaya-upaya yang dilakukan
oleh tidaklah sama, oleh karena fungsi dan keberadaannya berbeda-beda. Dari
berbagai macam upaya tersebut masing-masing membutuhkan frekuensi kesabaran
yang berbeda-beda juga.
Kesabaran juga bagian dari upaya Tuhan dalam menujukkan
eksistensi diri-Nya yang disematkan pada manusia sebagai bentuk kreatifitas Tuhan. Tuhan telah menciptakan manusia
menjadi bagian dari entertain diri-Nya,
yang disematkan kepada manusia sebagai wujud eksistensi Tuhan. Pada tahapan
penciptaan manusia sebagai model diturunkan sedemikian rupa dengan ukuran dan
takaran yang tepat, sehingga eksistensi diri-Nya pada makhluk termanifestasi
dalam sembilan puluh sembilan sifat.
Sembilan puluh sembilan sifat Tuhan memuncak pada sifat as-Shabur.
Kesabaran Tuhan telah memberi kesempatan kepada manusia untuk terus menemukan
jati dirinya. Kesalahan sebesar
apapun yang dilakukan manusia akan mendapat perlindungan dari sifat sabarnya Tuhan. Seandainya saja Tuhan lebih dominan menunjukkan
sifat amarahnya, sungguh peradaban
manusia telah berakhir oleh karena dosa-dosanya.
Sabar dan dengan segala potensinya adalah pekerjaan
yang berat. Tuhan menyandingkan kata sabar dengan kata shalat. Begitu beratnya aktifitas sabar ini hingga Tuhan sendiri setelah
menyandingkan kata sabar dengan kata shalat. Sabar dan shalat tidak mungkin dapat dilakukan oleh
manusia kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Sebagaimana Tuhan menyampaikan
dalam firman-Nya.
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk." Q. S. Al-Baqarah/002: 45.
Sejarah telah mencatat, manusia yang memiliki tingkat
kesabaran tertinggi dicontohnkan oleh Nabi Ayyub, sakit yang didera oleh Ayyub sampai pada tahap hancur
organ hatinya. Ketika ulat-ulat yang berasal dari luka menggorogoti hati dan
lidahnya. Dengan kondisi seperti itu tetap saja Ayub tidak pernah
mengeluh akan keadaan dirinya. Tetapi sesuatu
yang dikhawatirkan olehnya adalah ketika organ hati dan mulutnya hancur maka
akan berpengaruh terhadap daya zikir dan ingatannya kepada Tuhan.
Ayyub telah didera
penyakit kronis yang menghancurkan tubuhnya, nanah yang keluar dari
bobrok telah
membusukkan raganya. Fisik yang tidak sempurna akan membawa
kekhawatiran pada Ayyub. Kekhawatiran ini bukan karena kondisi kesehatannya,
namun lebih pada merasa tidak mampu lagi beribadah dengan sempurna. Tentu ini
sangatlah berbeda dengan kita hari ini. Penyakit yang didera oleh kebanyakan
manusia bukanlah luka pada fisiknya, namun luka pada hatinya dan membusuk
qalbunya.
Bagaimana membangun upaya diri agar lukanya hati dan
busuknya qalbu adalah sesuatu yang dikhawatirkan daya ibadah semakin menjauh dari Tuhan. Kekhawatiran
dalam hal ini, seharusnya menjadi fokus utama manusia akhir zaman. Allah telah
mengancam keras orang-orang yang dalam hatinya
terdapat kesombongan. Sombong adalah menolak kebenaran al-haq dan
meremehkan manusia.
“Tidak
akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sifat sombong, walaupun hanya
seberat biji sawi”. (H. R. Muslim).
Peristiwa Fathun
Mekkah Abu Sufyan dan Abu Jahal kalah berperang dengan pasukan Nabi, dan
kekuatan mereka tersandra pada akhirnya Nabi pun memberikan pilihan kepada yang
kalah dalam peperangan. Pilihan untuk menerima kebenaran, bukan memilih
untuk yang lain. Ikrar kebenaran ini dapat dilihat dari cara Nabi mengelola
kesabarannya dalam menaklukkan musuh-musuhnya. Nabi pun berujar “ya ayyu yuhannas, inna hadhal yaum laisal
yaumul malhamah, walakinnal yaum yaumul marhamah (wahai manusia: sesungguhnya hari ini bukanlah hari
pembantaian, namun hari ini adalah hari menebarkan kasih saying).
Konsekuensi
kalah perang musuh harus
dihabisi. Namun berbeda dengan Nabi Muhammad, memperoleh kemenangan masih
saja mengumandangkan asa kebenaran pada manusia, sehingga dengannya keberadaan
Nabi diterima oleh penduduk Mekah dan berkembanglah Islam di sana hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. Kesabaaran yang dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad merupakan bagian dari akhlak dirinya, dan ini berat kecuali dilakukan
oleh orang-orang yang kusyu’. Kusyu’ di sini adalah istiqamah dalam membangun
potensi diri.
Ukuran beragama, berakhlak, dan
beradabnya seseorang tidak ditentukan dari apa yang kita lihat pada sikap
kesehariannya. Sikap keagamaan yang muncul dari prilaku hidup
seseorang dilihat ketika dia bertransaksi dengan manusia. Transaksi dalam
menyikapi kemenangan, Fathul
Mekah telah memberi contoh yang dibangun dari bentuk kesabaran. Kondisi berkecamuknya
perang berubah menjadi hari menerbarkan kasih sayang.
Eksistensi sifat kesabaran yang termanifestasi dalam
diri hamba hanya bisa diamati dalam prilaku. Agama, akhlak, dan adab tidak
dilihat dari budaya hidup yang dinampakkan sehari-hari, dengan pakaian
kebesarannya dan digelari orang alim dikomunitasnya. Kesabaran dilihat dari sikap dan tindakan dalam menyelesaikan suatu perkara dengan manusia dalam masalah
apapun, termasuk dengan urusan kerja dan amal sosial.
Berada dalam posisi menguntungkan, setelah Mekkah ditaklukkan oleh Nabi Muhammad tidak menjadikan sikap Nabi berubah seketika. Pemenang bukanlah orang yang mampu menaklukkan musuhnya. Sang jawara adalah orang yang mampu menahan amarahnya. Kemampuan menahan marah tidak muncul dari kekuatan eksternal, namun dia ada pada kekuatan internal. Kemampuan mengontrol diri terbentuk dari cara seseorang mengontrol hatinya. Akumulasi dari kemampuan mengontrol diri berasal dari sifat sabar yang mendominasi dalam diri manusia.
Puasa yang dilakukan selama sebulan penuh dengan serangkain ibadah yang dilakukan, mulai dari menahan lapar dan dahaga, menahan syahwat, tidak dhalim, tidak korup, menahan ucapan, menahan sikap, serta menahan segalanya. Semua tindakan manusia tertahan dengan adanya ibadah puasa. Sesuai dengan pengertian ramadhan yang membakar, maka semua sifat buruk dalam diri manusia dibakar dengan adanya puasa. Rangkaian dari semua ibadah tersebut akan membentuk karakter kesabaran.
Ramadhan adalah fakultas hidup bagi orang-orang mukmin. Dengan datangnya bulan suci ramadhan maka kurikulum
ibadah dimaknai berdasarkan konteks. Kesalahan yang dipahami terhadap ramadhan
dimaknai sebagai bulan ibadah. Lalu bulan ini diisi dengan berbagai
macam kontestasi ibadah. Masjid penuh, membuktikan masyarakatnya sudah sangat
membaik. Baca Alquran dijadikan barometer bahwa puasa yang dilaksanakan sudah
mencapai batas takwa.
Seharusnya umat muslim memaknai puasa secara kontekstual,
bukan dalam bentuk tekstual, sehingga puasa hanya dipahami
berdasarkan ruang dan waktu saja. Langkah yang harus ditelusuri dalam memahami
puasa dengan makna substansial. Sehingga dengannya memaknai kesucian tidak
hanya di bulan
ramadhan saja, namun juga pada
bulan-bulan yang lain.
Menurut Emha Ainun Najib, puasa bukan hanya menahan
haus dan lapar saja, puasa juga harus
menelusuri segala sekmen kehidupan. Dengan demikian, aktifitas puasa tidak
hanya berkontestasi di bulan ramadhan saja, tapi juga menjadi
aktifitas dan pekerjaan sehari-hari pada bulan-bulan yang lainnya. Puasa yang dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman
mesti memengaruhi etos kerja sosial, baik
pada sektor struktural dan fungsional. Segala sekmen kehidupan harus dibangun
berdasarkan semangat pembakaran sifat buruk yang telah ditempa sebulan penuh
berpuasa. Artinya, pelaku urusan publik harus menekan segala kepentingan dengan
semagat ramadhan.
Kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat dilandasi oleh karena manusia tidak memiliki perangkat untuk
mengatur segala keinginan-keinginannya. Nafsu serakah yang menguasai jiwa-jiwa
yang lemah dalam merespon gejala dunia hanya mampu ditahan dengan dominannya
sifat sabar. Membangun
sifat sabar pekerjaan yang berat, mendomisi sifat sabar dalam diri tidaklah
gampang, apalagi istiqamah dalam kesabaran. Berdasarkan ketidakmampuan manusia
membentuk sifat sabar, maka Tuhan mengabari kepada manusia bahwa membangun
kesadaran atas kesabaran adalah pekerjaan yang berat. Dan hanya orang-orang
kusyu’ yang mampu melaksanakannya.
Manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari penguasaan
atas materi keduniawian. Bukankah semua orang menginginkan kekayaan yang
banyak, pangkat yang tinggi. Semua ini telah mengiringi kehidupan manusia sejak
dahulu kala. Puasa yang hanya dimaknai sebagai kontestasi spiritual semata
tidak akan membentuk karakter sabar dalam diri
seseorang. Namun, ketika substansi puasa dipahami secara menyeluruh, maka
makna kontekstual ramadhan akan menahan keinginan-keinginan yang diinginkan
dengan menggunakan cara-cara yang baik. Di sini fungsi puasa sebagai pembakar
nafsu serakah akan membentengi manusia dalam berbagai segmen kehidupan.
Menahan diri dari sikap buruk ketika berhadapan dengan
urusan kemanusiaan, itulah makna substansial bulan yang penuh keberkahan yang
datang dari berbagai arah. Menahan dan bertahan dengan sikap yang baik adalah
etos kerja ramadhan. Mengontrol
diri dari segala keburukan itulah makna spiritual ramadhan. Jika
kedua ini sudah dipahami dan berpengaruh dalam sikap serta tindakan, puasa baru
akan membentuk karakter bersikap lunak serta santun dalam memahami manusia.
pahamilah puasa berdasarkan makna substansinya, sehingga kita mampu
memanusiakan manusia.
Sabar kunci seseorang menuju kesuksesan, sementara
jujur akan menuai kepercayaan banyak orang. Jujur tidak akan duduk bagi
seseorang yang tidak memiliki sifat sabar dalam dirinya. Dan sabarlah yang
mengantarkan seseorang berdiri pada prinsipnya. Kesuksesan dalam hidup
bukanlah karena sesorang memiliki segalanya terkait dengan materi, pangkat, dan
kedudukan, namun sukses itu karena ia memiliki kepercayaan banyak orang
terhadap keputusan-keputusannya. Jika sudah dipercaya, maka dunia akan memihak
kepadamu.
Bersabarlah, sebab dengannya manusia akan jujur. Jika kesabaran dalam diri
tidak ada, jangankan untuk jujur kepada orang lain, diri sendiri saja akan
dibohongi. Bagi pemangku kekuasaan publik, prestasi terbaik ketika
datangnya bulan suci ramadhan tidak dilihat dari upaya penyediaan makanan yang
banyak dan disediakan secara terus menerus. Jika kemampuan memahami dalam
urusan publik tidak ditingkatkan berdasarkan semangat pembakaran sifat buruk
yang diajarkan ramadhan, maka segala bentuk seremoni hanya
bersifat kontestasi semata.
Tentunya dengan penggemblengan selama sebulan penuh diharapkan mampu mengubah karakter buruk di
lingkungan masing-masing. Dan upaya tersebut menuju pada sikap serta tindakan
yang jauh lebih baik. Terutama sekali menyangkut dengan urusan yang terkait
dengan manusia. Puasa hakikatnya adalah menahan diri (abstaining) dari
segala kemungkinan yang mendatangkan keburukan, baik untuk diri sendiri maupun
untuk orang lain. Semoga saja dalam kesempatan puasa kali ini lebih mampu membangun swadaya internal untuk menumbuhkan kesabaran.
Jakarta, 19 Maret 2023
Komentar
Posting Komentar