DEMI WAKTU: TUHAN PUN MEMBANGUN KEHARMONISAN
Tuhan telah bersumpah demi waktu. Waktu adalah pemberian Tuhan kepada manusia untuk ditempati dengan baik. Ruang dan waktu selalu mengitari kehidupan manusia. Kapan waktu ini dimulai, hanya Allah swt., yang tahu. Apakah waktu datangnya bersamaan dengan alam ini diciptakan, dan makhluk apa pula yang petama sekali mengisinya. Waktu yang tidak menempati ruang, manusia akan kehilangan perencanaan.
Mengingat waktu bersifat ghaib, dan waktu juga tidak memiliki agama, maka untuk menghitungnya Tuhan memberi tanda-tanda pada manusia dengan diciptkannya matahari dan bulan serta bintang-bintang. Ketiga benda langit ini telah memudahkan manusia menghitung ketentuan-ketentuan dari waktu itu. begitu mulianya waktu itu, sehingga Tuhanpun bersumpah dengannya. Matahari dan bulan menjadi tolak ukur utama manusia menghitung waktunya.
وَالْعَصْرِۙ
“Demi masa”. Q. S.
Al 'Ashr/103: 1.
Masa itu terus
berganti, zaman terus berubah, kehidupan dengan sendiri menciptakan dirinya
sendiri, dan manusia sebagai pemilik peradaban dengan ilmu pengetahuan yang
dimiliki terus bermetamorfosis sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak ada
identifikasi waktu yang spesifik bagi manusia, kecuali kondisinya saja. Kondisi
ini telah membentuk budaya kehidupan yang berbeda-beda dari masa ke masa sesuai
kemampuan manusia menciptakan dunia dengan batasan ilmu yang dimiliki.
Waktu akan
menentukan masanya, manusia menghitung dengan caranya sendiri. Ilmu pengetahuan
telah mengidentifikasi waktu dengan hitungan detik, hitungan menit, hitungan
jam, hitungan hari, hitungan minggu, hitungan bulan, hitungan tahu, hitungan
abad, dan hitungan milenium. Setiap dekade hitungan hari terus diulang dan
diperingati oleh manusia yang terus dan terus meghitung peradabannya.
Setiap tibanya
awal tahun Masehi, manusia memperingatinya secara serentak di seluruh dunia, eforianya
menyentak seluruh bumi, tidak terkecuali di negara-negara Muslim. Namun, awal
tahun peradaban Masehi menjadi polemik bagi masyarakat Muslim.
Munculnya
polemik ini akibat dari argumentasi yang dibangun bahwa tahun baru Masehi
miliknya agama di luar Islam. Hal ini tentulah keliru dipahami ketika mengaitkan
tahun dimulainya kebudayaan manusia dengan tahun dimulainya pengembangan agama.
Islam telah lahir semenjak alam ini diciptkan Tuhan, sementara tahun
penanggalan muncul ketika manusia mulai membangun peradaban.
Ilmu dan sains
menjadi tolak ukur masyarakat modern hari ini untuk memahami segala
sesuatu. Pengetahuan hanya diukur melalui pembuktian penelitian. Kelompok ini
memahami segala sesuatu harus nyata adanya. Positivistik keilmuan dipengaruhi oleh
cara berfikir rasionalis. Filsafat rasionalisme adalah produk berfikir Barat
yang memicu segala bentuk sekulerisasi dalam kehidupan modern.
Namun
sebaliknya, tidak semua yang terkait dengan proses rasionalisasi semata
menjadi sekuler. Islam memahami setiap fenomena berdasarkan gagasan yang
di bangun melalu dalil-dalil keagamaan. Alquran mengutarakan gagasan terhadap
banyak hal, untuk menjadi tolak ukur dalam membangun pemikiraan atas apa yang
dihadapi oleh manusia dari masa ke masa. Termasuk masa modern yang sepintas
dipahami seolah-olah memisahkan antara keberadaan gagasan dalil keagamaan
dengan perkembangan sains modern.
Orang yang
memahami sesuatu yang terkait dengan pengetahuan umum maupun pengetahuan agama
dengan menggunakan kaca mata ilmu, pikirannya akan tertuju pada satu penekanan
saja, yaitu keputusan berfikir akan mengarah pada pikiran yang brutal, sebab
yang namanya ilmu itu menghukumi sifatnya.
Ketika satu
ilmu yang dimiliki terbantahkan dengan penemuan ilmu yang baru, di sini akan
terjadi penolakan besar-besaran terhadap apa yang dihasilkan dari proses
tersebut. Seolah-olah perkembangan inovasi ilmu pengetahuan akan menghancurkan
ketetapan yang sebelumnya sudah dinggap matang dan mengakar dalam pikiran
manusia.
Ilmu dengan
segala penguasaannya sering menjadikan manusia menjadi angkuh, sombong, merasa
paling tahu, menginginkan dihormati atas pengetahuannya, disanjung bak juru
penyelamat dunia dan akhirat, sehingga lupa jika dia sedang berpijak
hidup didunia yang menginginkan ribuan kepentingan atas hajad hidup
makhluk dan seluruh isi alam.
Alam dunia
adalah ruang dan waktu yang ditempati oleh manusia, di mana ruang-ruang
tersebut sangatlah sempit, melebihi sempitnya alam rahim, semasa
kita ada di dalam kandungan ibu. Disaat menyambung awal hidup di alam rahim,
setiap manusia bebas mau bagaimana dan melakukan apa, tanpa ada yang harus
diperhatikan, semua aktifitas bebas atas sekehendak janin, makanpun
disuapi oleh seorang ibu melalui proses yang sudah ditentukan secara
sunnatullah atasnya.
Ketika lahir
ke dunia yang disangka sangat luas pada materinya, ternyata begitu
sempit pada hakikatnya. Sangking sempitnya dunia kita hampir tidak boleh
sembarangan melakukan sesuatu, tidak boleh mencari nafkah sembarangan, tidak
boleh berbicara sembarangan, tidak boleh melakukan dan berbuat sembarangan,
tidak boleh menulis sembarangan, tidak boleh menetapkan hukum sembarangan, dan akan
berterusan mendapatkan ketidak boleh
melakukan sembarangan-sembarangan yang lainnya.
Berbeda dengan
orang yang memahami pengetahuan, dengan menggunakan sorotan keislaman (Islam
yang harus dipahami di sini adalah Islam dalam pengertian agama yang membawa
rahmah keselamatan bagi setiap momen), akan menjadikan ilmu hanya sebagai
instrumen dasar saja, bahwa untuk memahami ranah keislaman mesti
menggunakan ilmu sebagai jalannya, sementara Islam itu sebagai tujuannya. Dengan
demikian, jauhlah seseoarang dari kepicikan berfikir oleh karena ilmu sebagai
alat untuk menghukumi.
Islam
mengajarkan kita bertabayyun atas setiap perkara atau cek dan ricek dalam
segala hal peristiwa. Dalam cek and riceknya Islam terlebih dahulu menetapkan
alat untuk bertabayyun itu dengan ilmu dan berbagai macam kaedahnya. Sehingga
munculnya pemahaman yang beragam dari agama ini sebagai instrumen untuk
bertabyyun, lalu kemudian setiap kita dan isi alam akan terselamatkan
berdasarkan tabayyun keilmuan sebagai wujud aplikatif dari Islam itu
sendiri dalam penjelasan term pengertian yang menyelamatkan.
أَلَّا تَطْغَوْا۟ فِى ٱلْمِيزَانِ....وَأَقِيمُوا۟ ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ
“Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)”. “supaya kamu jangan
melampaui batas tentang neraca itu”. Q. S. Ar-Rahman/055: 8-9.
Allah swt., berfirman dengan wacana tentang neraca keadilan. Keadilan dalam nuansa keseimbangan, imbang dalam menentukan massa berat dan jenis. Bagaimana langit itu ditinggikan, bumi didatarkan dalam hamparan yang melengkung menuju bulat yang melonjong membentuk telur burung onta.
Bumi adalah planet di mana hidupnya makhluk yang mempunyai berat massa dan jenis. Antara makhluk hidup dengan alam saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua sisi ini membutuhkan keseimbangan yang ditentukan Tuhan. Sunnatullah dalam bahasa agama, kausa prima dalam tatanan pembahasan filsafat, sebab akibat dalam bahasa keseharian kita.
Manusia adalah
salah satu makhluk yang mempunyai massa jenis yang berimbang. Sebagai makhluk
tertinggi diciptakan Tuhan dibandingkan dengan makhluk yang lain. Sebab
tingginya kedudukan manusia, maka butuh syaithan untuk menjadi lawannya. Dalam
diri manusia terdapat perwakilan sifat dari makhluk-makhluk yang lain. Ada
sifat kebinatangan, ada sifat tumbuh-tumbuhan, ada sifat syaithan, ada sifat
malaikat dan ada nasfu yang slalu menghitung buruk dan baik dari keinginan
manusia itu sendiri.
Keseimbangan
pada diri manusia itu dikontrol dalam sebuah file yang disebut dengan kasih dan
sayang. Kasih dan sayang dalam diri manusia terbentuk melalui proses yang
berjilid-jilid. Bertemunya fisik, beradunya pandangan, bertemunya jiwa,
bersentuhan bathin, dan menyatulah raga dalam satu wujud yang disebut file
kasih sayang. Lalu dengan sendirinya rasa kasih dan sayang melegend dalam diri
manusia masing-masing.
Begitu juga dengan
kebencian dalam diri manusia terbentuk dengan proses yang berjilid-jiliid juga,
mulai dari sifat, sifat direspon oleh jiwa, lalu mulut mengucapkan kata. Ketika
kata diucapkan dengan rasa kebencian, di situlah hati tersayat dan kebencianpun
melegend dalam diri.
Keseimbangan
dalam komunitas manusia mesti dipahami dengan neraca yang adil. Saling memahami
sebuah keadaan, hal tersebut yang akan menjadi proses yang berjilid-jilid dalam
membentuk keseimbangan. Jika proses keseimbangan sudah mulai diperankan oleh
setiap kita, maka keadaan tidak lagi menjadi kacau, permusuhan sesama akan
ditekan, lalu kemudian yang muncul adalah rasa saling memahami akan keadaan
yang berjilid-jilid tersebut.
Allah swt.,
meciptakan neraca keseimbangan dalam memenej alam semesta ini. Semestinya
manusia mengaplikasikan neraca keadilan dalam diri
masing-masing, sehingga saling mendahului tidak menjadi alat bagi
manusia untuk saling memusuhi dalam bentuk apapun kondisinya. Jika neraca
keseimbangan menjadi perhatian manusia untuk saling memahami dalam berbagai
kondisi akan menjadi tolak ukur bagi kita jika setiap jiwa
manusia adalah satu dalam tatanan tauhid kesatuan. Sebagaimana Allah
swt., firman dalam surat al-Ikhlas, terakumulasi dalam kalimat “Qul
Huwallahu Ahad”.
Pada tatanan hakikat
absolut setiap manusia, apapun agama yang dianut hari ini adalah sama.
Sama-sama memahami jika Tuhan itu satu. Satu dalam pemahaman dan satu dalam
tujuan. Menyembah Tuhan pada dasarnya bentuk amal pengakuan bukan substansial.
Sebab substansi tauhid adalah mengerjakan dengan seluruh anggota badan, baik
tindakan yang sifatnya spritual maupun aksi yang bersifat sosial.
Sejarah panjang
yang terpisah-pisah antara turunnya wahyu dan Nabi mengakibatkan pemahaman
tauhid kema'rifahan menjadi kabur, dan sengaja pula dikaburkan oleh
orang-orang yang punya kepentingan pribadi dan kelompok terhadap agama. Memanfaatkan
agama untuk mencari popularitas melahirkan pemahaman agama yang keliru pada
generasi berikutnya.
Banyaknya agama
di dunia saat ini menjadi bukti jika tauhid absolut telah kabur dipahami. Ada
agama Kristen, Budha, Hindu, Konhucu, Koptik, Protestan dan lain sebagainya. Ini
sebuah tanda jika tauhid yang satu dikaburkan oleh pemangku agama masing-masing. Padahal
setiap Kitab Suci mengajarkan kita jika Tuhan itu adalah satu. Ayat ketuhanan
telah mengajarkan kita tentang hubungan Tuhan dengan manusia. Ingat manusia,
bukan pemeluk agama.
Di dalam
surat An-Nas, tidak disebutkan Tuhan sebagai penguasa agama, akan tetapi
Tuhan ada sebagai penguasa manusia. Siapapun dia, agama manapun yang
menyesatkannya hari ini, Tuhan pada surat An-Nas sedang menyentuh
manusia dalam tataran pemahaman teologis. Jangan caci mereka yang saat ini
sedang tersesat dari Tuhan yang satu itu, ketika kita melihat konsep kesatuan
tersebut bagaimana Tuhan dipahami dengan dokrin menjadi tiga, menjadi bergambar,
menjadi patung, menjadi batu, menjadi apai, menjadi pohon, dan menjadi-menjadi
berikutnya pada keyakinan yang keliru dipahami.
Islam adalah di
mana penganutnya masih berada pada tatanan tauhid absolut yang lurus dari awal
waktu sampai hari ini. Penganutnya masih berada pada tauhid yang satu, kecuali
orang-orang yang disesatkan menjadikan tempat-tempat tertentu untuk menyandarkan
harapannya kepada Tuhan. Apakah kekuburan, tempat-tempat yang dianggap keramat
yang dipahami menyamai kekuatan Tuhan, ataupun tempat-tempat yang
lainnya.
Sebagian yang
tersesat pemahamannya ketika dia berharap kepada Tuhan bertawassul dengan
media. Mengirim dan menulis teks doa lewat media social. Sambil berharap otoritas media sosial akan
mengirimkan doanya kelangit. Sangat tidak dapat dibayangkan, jika
doa yang sudah ditulis di laman facebook misalnya. Sementara pihak facebook sendiri lupa
mengirimkan doa itu kelangit, atau doa belum diterima oleh Tuhan. Belum
diterima doanya sebab tersangkut pada sistem jaringan.
Bertawassul
melalui media, inilah salah satu kesesatan masyarakat yang mengaku modern. Melalui
surat An-Nas manusia ditegur Tuhan dengan narasi yang sama antara pemeluk
agama bahwa Tuhan adalah penguasa manusia, bukan penguasa agama. Menyadarkan
pemahaman tauhid yang sudah keliru dan tidak saling memusuhi di antara sesama
manusia hanya karena salah menghukumi atas kekeliruan. Di sini kita mesti
mengacu pada sebuah pelajaran bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan
fitrah.
Berlebihan
dalam memahami nash sumber ajaran Islam merupakan sebuah kekeliruan
intepretasi dalam beragama. Ekstrem atau paham radikal mengakibatkan pola
pemikiran Islam menjadi sempit. Islam mesti dipahami sebagai esensi nilai bukan
formalitas simbolik.
Esensi nilai
ini adalah Islam bernarasi sunnatullah Tuhan sebagai ajaran yang universal. Berangkat
dari awal mulanya diciptakan Nurnya Nabi Muhammad saw., di mana belum
diciptakan Tuhan sifat-sifat massa dan sifat materi sebagai perangkat bagi
manusia untuk menjalani Syariah Islam itu sendiri. Belum diturunkannya Alquran,
belum adanya hadis, belum adanya pemikiran Para Ulama, dan belum ada
perangkat-perangkat syariah sebagai atribut formalitas.
Formalitas
simbolik muncul disaat Nabi Muhammad saw., menjadi wujud
nyata dalam bentuk manusia biasa, yang mengandung unsur-unsur basyariah.
Sampai di sini, mulailah Islam hadir sebagai penyempurnaannya agama yang Allah
swt., jadikan sebagai petunjuk bagi manusia dari awal waktu sampai berakhirnya
hari di dunia, dengan bertemu hari yang ditegakkan itu yaitu hari kiamat.
Memahami Islam
dalam konteks formalitas simbolik menjadi rentan dalam menarik kesimpulan, jika
Islam adalah berpaham radikal, ekstremis, serta membenarkan diri dan kelompoknya
saja, menganggap kelompok yang berbeda bukan bagian dari Islam itu sendiri
merupakan pemikiran Islam tidak bernuansa sunnatullah.
Sebagai salah
satu konteks yang nyata hari ini terjadi di dunia Islam, perang yang melanda
negara-negara di Timur Tengah saat ini bermula dari pemikiran ekstremis dan radikal
dengan alasan menegakkan Khilafah di muka bumi. Jutaan orang mati, yang mati
tidak tahu kenapa mereka dibunuh, dan yang membunuhpun tidak punya tujuan untuk
apa mereka membunuh.
Memahami
konteks di atas, Indonesia sebagai prototipe negara Islam modern hari
ini, harus menjadi negara Islam moderat dengan prinsip Nusantara. Islam yang
membangun kebudayaan berdasarkan bangunan Ilmu Pengetahuan, dengan berbagai
macam penemuan-penemuan baru yang menyangkut dengan sifat keduniaan,
sebagaimana misi Nabi Muhammad saw., membangun negara Madinah. Sistem politik
sebagai pondasi awal Islam kebudayaan dimulai. Untuk mewujudkan peradaban Islam
yang bernilai kemajuan, lalu menjadikan hitungan waktu dengan menggunakan penanggalan
bulan sebagai dasar dalam menentukan waktu. Lalu mucullah penanggalan yang
dinamakan dengan tahun Hijriah sebagai awal tanda peradaban Islam
dimulai.
Di pihak yang
lain, juga telah dimulai sebuah peradaban dalam menentukan waktu dengan
menggunakan penanggalan matahari sebagai alat untuk mengukur awal waktu dan
perjalannya hingga hari ini. Semua aktifitas manusia dalam menentukan
perjalanan waktu tidak akan bisa terlepas dua hitungan waktu. Menghitung waktu
dengan menggunakan perhitungan perjalanan matahari yang disebut dengan
tahun Masehi.
Pertanyaan yang
mendasar pada setiap pergantian tahun, baik pergantian tahun Hijriah maupun
pergantian tahun Masehi. Benarkah awal tahun Masehi dan Hijriyah menjadi
bagian daripada agama, sehingga muncul pernyataan jika sistem penanggalan
tahun Masehi menjadi tahunnya orang non- Muslim dengan satu januari
sebagai tanda awal tahun dimulai. Sementara sistem penanggalan Hijriah menjadi
tahunnya orang Islam dengan satu Muharram sebagai tanda awal tahun dimulai.
Untuk memecahkan
dua persoalan ini Alquran sudah memberi tanda-tanda kepada pengetahuan manusia.
Bulan dan Matahari diciptakan Tuhan
untuk menjadi alat tolak ukur dalam menghitung waktu bagi manusia. Sebagaimana
Allah swt., berfirman di dalam Alquran.
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا
وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا
خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ
يَّعْلَمُوْنَ
“Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui”. Q. S. Yunus/010: 5.
Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma,
melainkan dengan penuh hikmah. Di sini terdapat dua penanggalan tahun yang menjadi fokus kajian. Kedua
penanggalan tahun ini sering menjadi kontra pemikiran ditengah-tengah Umat
Islam, terutama sekali pada awal tahun Masehi, sebagian besar Umat Islam
mengharamkan menyambut tanggal 1 Januari sebagai awal tahun.
Penanggalan
awal tahun Masehi dan awal tahun Hijriyah. Kedua sistem
penanggalan ini merujuk pada sistem penanggalan solar dan lunar.
Sistem penanggalan dengan melihat perjalanan bulan dan perjalanan matahari.
Tahun Masehi dimulai dengan bulan Januari awal tahunnya merupakan
penanggalan tahun dalam menentukan waktu dengan melihat perjalanan matahari.
Sementara tahun Hijriyah dimulai dengan bulan Muharram awal tahunnya
melihat sistem hitungan perjalanan bulan.
Matahari dan
bulan telah Allah swt., jadikan bagi manusia sebagai media untuk menghitung waktu.
Umat Islam ketika berpuasa masuk satu ramadhan dihitung dengan melihat bulan,
berakhirnya puasa juga dengan melihat bulan. Sementara dalam proses ibadah
puasa mulai dari saur sampai berbuka hitungan waktunya tidak lagi berpatokan
berdasarkan perjalanan bulan, tetapi merujuk pada hitungan perjalanan matahari.
Pada kenyataan
ini menjadi berbeda setiap wilayah yang berjauhan dalam menentukan waktu
imsak dan ifthar. Ketika menghitung waktu dalam menjalankan ibadah
saja kita menggunakan bulan dan matahari untuk menentukan waktunya. Lalu
mengapa di saat menghitung awal tahun menjadi masalah bagi umat beragama,
terutama sekali bagi yang beragama Islam.
Pengaruh
peradaban dunia telah merubah sistem hitungan tahun. Oleh sebab pengaruh dunia
dipegang oleh kalangan non-Muslim, hari ini menyebabkan hitungan waktu hampir
di seluruh dunia tidak terkecuali dunia Islam itu sendiri harus mengikuti
kalender tahun Masehi, dengan hitungan hari menggunakan sistem hitungan
perjalanan matahari. Dalam transaksi internasional maupun nasional,
termasuk Indonesia dari setiap hajad hidup manusia semua lininya menggunakan
waktu dengan hitungan tahun Masehi.
Masuk pada
semua lini, seperti transaksi dagang, ekonomi, pendidikan, perkantoran,
kesehatan, pembayaran jasa, baik di lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Dalam hal perjanjian internasional maupun nasional, pembayaran biaya pendidikan,
tagihan listrik, telfon, PDAM, dan berbagai macam transaksi lainnya menggunakan
hari dengan penanggalan Masehi. Mengingat kenyataan ini, umat Islam hari ini
harus menggunakan hitungan waktu dengan menggunakan tahun Masehi. Begitulah
kenyataannya.
Pada ayat di
atas, Allah swt., telah menjadikan matahari dengan cahayanya dan bulan juga
dengan sinarnya untuk digunakan oleh manusia. Dimanfaatkan sepenuhnya sebagai
alat pengukur waktu bagi kehidupan manusia untuk proses transaksi dalam
menentukan takaran detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan abad.
Sehingga mat Islam bisa menentukan dengan mudah kapan memulai ibadah, baik
ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah, dan
kapan pula mengakirinya dengan menggunakan hitungan lunar dan solar.
Melalui
informasi tentang matahari dan bulan manusia telah membangun peradabannya. Dengan demikian, tidaklah pantas disimpulkan
bahwa untuk non-Muslim
tahunnya Masehi, sementara untuk Muslim tahunnya Hijriyah, sebab
dalam menentukan kedua penanggalan tahun ini masing-masing tahun menggunakan
sistem perjalanan matahari dan bulan.
Kedua benda
langit ini, matahari dan bulan adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang
diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia dalam berbagai hal, salah satunya
untuk menentukan waktu. Bukankah waktu dalam Islam merupakan hal yang harus
diperhatikan, karena Allah swt., telah bersumpah demi waktu, sungguh manusia
dalam keadaan rugi ketika dia melalaikan waktu.
Selamat
menyambut tahun baru Masehi bagi non-Muslim dan selamat menyambut tahun
Hijriah bagi Muslim sebagai tanda awal peradaban manusia dimulai. Tahun Masehi
dengan matahari titik koordinatnya, sementara tahun Hijriah dengan bulan titik
centralnya. Kedua benda ini adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk
membangun keseimbangan waktu, bumi, dan alam semesta.
Dengan
demikian, memahami perjalanan waktu dengan menggunakan kedua benda langit ini
tidaklah anomali dipahami. Semoga kedua tahun ini, setiap pergantiannya menjadi
batas introspeksi tahunan dan menyikakapinya dengan baik dalam rangka membangun peradaban yang jauh
lebih maju dari sebelumnya. Dan dengannya
pula saling mentransfer kebaikan antar sesama umat Manusia. Dengan waktu saja
Tuhan masih bersikap humanis, lalu kenapa manusia masih mempersoalkan awal
tahun penanggalan yang sifatnya temporal.
Jakarta,
27 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar