IMPLIKASI SHALAT RUH DALAM KONTEKS SOSIAL








Perjalanan isra mi'raj adalah jalan hidup manusia, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil aqsa adalah wujud kehidupan nyata dalam wilayah sosial yang selalu hadir dalam realitas kita. 

Dalam perjalanan tersebut, Nabi Muhammad Saw dipertemukan dengan konteks-konteks keduniaan. Dan juga dipertemukan dengan para Nabi terdahulu, sehingga di bumi Nabi menunaikan shalat dengan tata cara shalat Nabi-Nabi terdahulu, dan Nabi Muhammad Saw sendiri sebagai imamnya.

Dunia adalah kenyataan hidup dengan segala persoalannya. Dari tata kelola keduniaan itulah manusia mengelola kehidupan. Sementara perjalanan menuju langit adalah realitas teologi di mana manusia mengakhiri kehendaknya pada keputusan Tuhan secara mutlak. Di sini, manusia harus menyadari bahwa keputusan Tuhan jauh lebih indah dari keinginan manusia. Melalui perintah isra dan mi'raj manusia diberikan patron secara keagamaan dengan sangat detail.

Perintah utama dalam peristiwa isra mi'raj adalah untuk menunaikan/mendirikan shalat bagi manusia. Perintah ini diberikan pada orang-orang yang telah menundukkan dirinya di hadapan Tuhan. Manusia adalah salah satu makhluk Tuhan yang secara fitrah makhluk yang ditundukkan (al-muta'abbad). Sebagaimana makhluk-makhluk yang lain, baik makhluk kasat mata, padat, cair, yang terlihat maupun tidak, dan yang lainnya. Selain dari diri-Nya, maka segala sesuatu yang berada di bumi adalah objek yang ditundukkan.

Perintah mendirikan shalat bermakna dua. Pertama, dalam bentuk mahdhah. Kedua, dalam bentuk ghairu mahdhah. Shalat dalam bentuk mahdzah terikat dengan waktu. Sementara shalat dalam bentuk ghairu mahdzah juga terikat dengan waktu. Dua-duanya saling mempengaruhi. Shalat mahdzah terikat dengan waktu yang ditentukan, dalam proses pelaksanaannya diawali dengan "takbir dan diakhiri dengan  salam".

Sementara pelaksanaam shalat dalam bentuk ghairu mahdzah juga berwaktu, yang mana dalam prosesnya "diawali dengan salam, dan diakhiri dengan takbir". Keduanya juga dilakukan melalui ucapan dan gerakan. Berdasarkan waktu, maka pada dasarnya hidup ini harus dipahami perjalanan masa menunggu waktu yang ditentukan. Setelah selesai melakukan shalat yang satu lalu kita menunggu waktu shalat berikutnya. Mengisi dii antara waktu ibadah itulah, ada ibadah sosial yang harus dilakukan.

Ibadah mahdzah dibebankan kepada individu dan dikembalikan pada individu juga; seperti shalat, puasa, haji, bersedekah, berdzikir, dan yang lainnya. Sementara ibadah ghairu mahdzah dilakukan oleh diri sendiri dan kelompok, kemudian berimplikasi  baik pada orang lain atau lingkungan yang mengitari; baik dalam bentuk ucapan, perkataan, ide, tindakan, aktifitas sosial, dan lain sebagainya.

Orang-orang yang lebih spesifik dalam memaknai shalat, mempertanyakan wujud shalat itu yang dilaksanakan oleh hamba. Apakah jiwanya yang shalat, apakah ruhnyanya, apakah raganya yang shalat. Mengukur makna shalat dalam pelaksanaannya tidak dapat dijangkau dengan pikiran manusia. Sebab, pelaksanaan shalat nyatanya dapat dilihat api niatnya tidak; hanya orang yang shalat dan Tuhannya yang tahu. 

Walaupun, pelaksanaan shalat tidak dapat dijangkau oleh pikiran tetapi orientasinya sejauh apa dapat dilihat dari prilaku orang yang melakukannya dalam realitas sosial, politik, dan budaya.

Bentuk shalat yang dilakukan seseorang dapat dilihat dari cara menjalani hidup. Jika saja yang shalat adalah raganya, maka pelakunya akan selalu mengandalkan fisik ketika berperan dalam lingkungannya. Artinya, orang yang hanya menshalatkan raganya saja ia hanya mengandalkan bacaan dan tenaga saja.

Maka, jangan heran keberadaannya dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan selalu menimbulkan keburukan, atau menimbulkan masalah, atau menimbulkan konflik di tengah-tengah bermasyarakat. Dan ini juga berpengaruh dalam penyelesaian masalah umat, ketika kekuasaan ada di tangannya. Kebijakan-kebijakan yang dimunculkan rentan melukai pihak-pihak yang lain. Sebab, shalat raga hanya mengandalkan fisik, yang mana tindakan fisik rentan bersentuhan dengan hawa nafsu.

Berbeda dengan orang-orang yang shalat dengan jiwanya. Unsur jiwa selalu mencoba untuk memahami objek-objek yang lain berdasarkan tindakan jiwa, atau berdasarkan kemauan jiwa. Cara yang lebih gampang memahami ini adalah dengan memperhatikan sistem kerja jiwa; yang dominan aktif adalah sifat-sifat psikologi pelakunya. Orang yang memahami sesuatu berdasarkan jiwanya selalu mengaitkan setiap peristiwa berdasarkan pengaruh kejiwaan itu sendiri. Maka, jangan heran sentuhan jiwa diukur berdasarkan data-data yang dilihat melalui gejala-gejala yang muncul.

Di sini, seseorang tidak lagi mengkleim sebuah peristiwa, melainkan ia mencari penyebab dari peristiwa yang muncul. Tindakan-tindakan yang berlaku atas diri seseorang dilihat berdasarkan latar belakang masalah yang dihadapi. Orang yang shalat dengan jiwanya ia akan melihat masalah berdasarkan masalahnya, sehingga yang muncul di sini bukanlah justifikasi melainkan mencari jalan keluar terhadap masalah tersebut.

Berikutnya; adalah shalat ruh. Tingkatan yang lebih tinggi adalah shalat dengan ruhnya. Berbicara mengenai ruh adalah berbicara sesuatu yang ghaib. Pembahasan yang terkait dengan ruh sangatlah rahasia. Hingga hari ini belum ada yang mampu menjelaskannya. Dan jauh sebelum Tuhan telah mengingatkan tentang ini pada Nabi Muhammad Saw terkait dengan keberadaan ruh. Sebagaimana Allah Swt berfirman;

Dan mereka bertanya tentang kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah; Ruh termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu hanya diberi pengetahuan sedikit. Q. S. Al-Israa’/017: 85.

Ruh adalah unsur yang paling lembut yang terdapat dalam diri manusia. begitu lembutnya ruh manusia tidak dapat melihat bentuknya kecuali merasakan gejala-gejalanya. Keberadaan ruh sangat utama bagi manusia, sehingga seseorang baru disebut manusia ketika ruh ada dalam raganya, jika ruh sudah tiada maka raga tidak disebut manusia, tetapi disebut dengan mayyit atau jinazah.

Seseorang yang shalat dengan ruhnya, maka ia tidak lagi melihat masalah, malah masalah  itu sendiri adalah kehidupan yang nyata. Shalat dalam konteks ruh tidak lagi dalam bentuk nilai dan hukuman. Artinya, keberadaannya dalam ranah sosial tidak lagi pada menyalahkan siapapun kecuali kesalahan itu sendiri.

Peristiwa apa pun yang berlaku atas diri seseorang tidak adalagi penghakiman, justifikasi, dan kesalahan. Bahkan kelompok orang yang shalat dengan ruhnya ia akan menyalahkan dirinya sendiri dalam melihat setiap persoalan. Sera lebih jauh lagi,  setiap apa yang berlaku di dunia ini dipahami sebagai benuk dominasi Tuhan. Sehingga, ia lebih mempersoalkan keberadaan dirinya sendiri dibandingkan keberadaan orang lain.

Mengingat perintah shalat ditujukan pada manusia (muslim), maka penciptaan manusia terdiri atas tiga unsur yakni; unsur raga, unsur jiwa, dan unsur ruh. Maka dengan demikian, shalat itu bukan hanya perbuatan raga saja, melainkan juga keterlibatan jiwa, dan ruh di dalamnya. Ketika ketiga unsur ini ikut dalam ibadah mahdzah, maka ia juga terlibat dalam ibadah ghairu mahdzah. Tentunya terbawa dengan sendiri dalam menyelesaikan setiap peristiwa yang mengitari manusia. Lebih-lebih lagi dalam menyelesaikan peristiwa umat yang diberi tanggung jawab kekuasaan melalui kebijakan publik.

Melalui peristiwa isra mi'raj, Nabi Muhammad Saw mendapati perangkat bertemu dengan Tuhan. Dan melalui shalat pula setiap hamba mendapati media berkomunikasi dengan Tuhannya. Dalam konteks sosial, politik, dan budaya, maka ibadah shalat yang diperintahkan kepada manusia tidak hanya dilihat dalam konteks teologis, tetapi juga mempengaruhi sosiologis. Sehingga, tauhid mempengaruhi prilaku. Dengan demikian, pahamilah shalat itu sebagai fungsinya, bukan sebagai profesi untuk disebut muslim semata.

Jakara, 11 Juni 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA