OPTIMISME: PERCAYA DIRI TIDAK SELAMA BAIK

Baik dan buruk tidak dapat diukur berdasarkan penialaian subjektif, keberadaannya sangatlah relatif. Buruk untuk sebagian orang belum tentu buruk untuk sebagian yang lain, dan baik untuk sebagiannya juga belum tentu baik untuk sebagian yang lain. Optimisme yang dibangun satu kelompok bisa membinasakan kelompok yang lain. Percaya diri tidak selamanya baik, sebab merasa percaya dengan diri sendiri dapat meniadakan peran orang lain. Berani menghilangkan peran orang lain sama dengan menciptakan musuh bagi diri sendiri. Musuh yang paling berbahaya tidak muncul dari orang lain, melainkan ia datang dari diri sendiri.

Percaya diri dan optimisme itu penting untuk meyakinkan diri dalam menghadapi sesuatu, tetapi terlalu percaya diri juga tidak baik; tidak baik untuk diri sendiri dan juga tidak baik untuk orang lain. Biasanya orang yang terlalu percaya pada potensi dirinya ia mudah lupa dengan potensi orang lain. Padahal setiap manusia telah diberikan potensi masing-masing, dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda pula. Perbedaan ini sebagai wujud keragaman penciptaan manusia.

Percaya diri membangkitkan ghirah diri sendiri. Konsep ini benar jika tujuannya untuk hal-hal yang baik. Sebab yakin pada diri sendiri juga terbawa pada urusan yang merusak tatanan hidup. Berbagai dorongan yang dapat membangun rasa percaya diri pada jiwa seseorang; ada yang didorong karena ilmunya, karena skilnya, karena pendidikannya, karena relasi dan koneksinya, karena ada orang dalam, karena ada yang mendekinginya, karena ada pengaruh, dan banyak hal yang melatarbelakanginya.

Dorongan yang dominan membuat seseorang percaya diri terbentuk dikarenakan selain dari pengausaan ilmu pengetahuan. Orang yang yang memiliki ilmu pengetahuan belum tentu percaya dengan dirinya, sebab yang namanya ilmu tugas utamanya adalah menyampaikan tahu pada dirinya sendiri terlebih dahulu, lalu baru ia menyampaikan tahu pada diri orang lain. Orang yang berilmu tahu potensi diri, maka ia tidak berani terlalu percaya  pada dirinya, percaya pada dirinya sendiri saja ia tidak berani apalagi percaya pada orang lain.

Pada saat orang berilmu tidak percaya pada dirinya bukan berarti ia tidak berani, tetapi lebih karena ia tahu bagaimana menghargai potensi orang lain. Sikap seperti inilah yang jarang dimiliki oleh yang merasa berilmu. Karena ia terlalu percaya diri memahami bahwa dengan adanya ilmu derajatnya diangkat oleh Tuhan beberapa derajat. Padahal ada yang jauh lebih baik dari derajat itu, yaitu meninggikan jiwa dengan cara meletakkannya dibawah telapak kakinya sendiri, sehingga jiwanya mudah untuk diinjak-injak.

Lembaga pendidikan melahirkan orang berilmu. Tetapi, tidak semua lembaga pendidikan mampu melahirkan ilmuan. Pendidikan yang sesungguhnya ketika pikiran dan jiwa mampu belajar pada alam. Alam adalah semesta bergerak dengan segala potensinya. Banyak tempat kita belajar di alam ini, sebab Tuhan telah menganugerahkan berbagai  potensi yang dapat dibaca pada makhluk yang ada di bumi ini. Lembaga pendidikan mengajarkan ilmu yang tertulis saja, sementara alam menyuguhkan ilmu yang tak tertulis.

Perintah iqrak bukanlah membaca, tetapi dipahami sebagai belajar. Membaca adalah salah satu metode pembelajaran di samping mendengar, melihat, dan berfikir atau menyerap sesuatu dengan pikiran. Mengartikan iqrak dengan membaca; terbawa pemahamannya pada aktifitas membaca saja, kebiasaan membaca adalah teks. Tetapi, disaa Nabi Muhammad Saw menadapatkan wahyu jibril tidak membawa teksnya.

Belajar tidak hanya pada manusia, belajar juga bisa dilakukan pada makhluk yang lain; dari makhluk yang halal dimakan maupun makhluk yang haram dimakan. Dari makhluk yang enak dilihat maupun yang menjijikkan, bahkan makhluk yang keberadaannya sangat dibenci sekalipun masih saja memberi pembelajaran.

Sebagian manusia terlalu percaya pada dirinya, sehingga kitab suci pun merasa malu atas atas kepercayaannya. Sebagai contoh; kitab suci hanya mengharamkan babi untuk manusia, bukan berarti babi haram untuk babi dan binatang yang lain. Tetapi ketika haramnya babi dipahami oleh manusia seolah-olah tidak ada yang dapat diambil pelajaran darinya. Padahal banyak hal bisa kita pelajari dari babi, yang baik maupun hal yang buruk.

Manusia terlalu percaya diri dengan pendidikannya, padahal banyak orang yang berpendidikan justru tidak dapat dipercaya sama sekali, kecuali yang bisa dipercaya orang yang benar-benar menjadikan pendidikannya sebagai pegangan hidup dalam berbagai hal.

Kecurangan dalam kepengurusan negara ini selalu dicurangi oleh orang yang berpendidikan. Bahkan bangsa ini hampir tidak percaya lagi pada orang-orang yang dihasilkan dari lembaga pendidikan mana pun. Bahkan menurut informasi korupsi di negeri ini dominannya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan. Padahal, lembaga pendidikan tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk apalagi menanamkan sifat buruk bagi pesertanya.

Menyatakan bahwa pendidikan di negeri ini tidak menanamkan sikap yang baik adalah pernyaataan yang keliru. Kecurangan terbentuk dalam diri seseorang bukan saat ia menempuh pendidikan, melainkan saat ia masuk dunia kerja. Lebih-lebih lagi pekerjaan di lingkup pemerintahan.

Setelah selesai belajar ilmu masuk dunia kerja, mereka belajar bagaimana mengelabui ilmu itu untuk kepentingan dirinya. di sinilah kurikulum berubah, dari kurikulum ilmu ke kurikulum kerja. Lembaga pemerintahan seharusnya malu dicap korup, apalagi pelaku korup pelakunya adalah alumni lembaga pendidikan. Jika saja, lembaga pendidikan tidak dapat dipercaya lagi melahirkan orang-orang baik maka lembaga mana lagi yang dapat dipercaya untuk meluruskannya.

Sistem belajar kita lebih pada menanamkan pengetahuan pada pikiran, dan lupa menancapkan sikap di dalam hati sehingga tidak tuntas mendidik prilaku. Sekilas ini ada benarnya, tetapi bukan berarti lembaga pendidikan tidak memberi nilai sama sekali, ini bagian yang kurang diterapkan. Untuk itu, lembaga pendidikan dari tingka dasar sampai Perguruan Tinggi perlu mempertajam transfer of knowladge pada anak didiknya.

Mengembalikan kepercayaan nilai sebagaimana kepercayaan ilmu sama pentingnya. Lembaga pendidikan harus melahirkan dua kepercayaan; kepercayaan dari situlah ilmu pengetahuan diajarkan, dan kepercayaan lembaga pendidikan sebagai sumber nilai. Jangan Cuma, yang dapat dipercaya dari lembaga pendidikan hanyalah ijazahnya saja; sementara ilmu, sikap, dan prilaku sama sekali tidak dapat dipercaya. Itu pun jika tidak ijazah diperjual belikan.

Orang yang terkadong percaya diri tentang satu ilmu saja biasanya susah menerima ilmu yang lain. Begitu juga dengan orang yang terlalu percaya diri bahwa ia telah baik biasanya susah untuk dinasehati dan susah menerima sehat; baik nasehat yang bergerak maupun nasehat yang diam, dan juga susah menerima kebaikan dari orang lain dalam bentuk transformasi sikap.

Namun berlaku sebaliknya, ia akan mudah menerima pemberian berupa materi, sebab pikiran tertinggi yang dimilikinya adalah bagaimana mendapatkan materi-materi yang banyak atau bayaran yang tinggi, walaupun materi-materi itu menjatuhkan martabatnya. Akibat dari cara berfikir seperti ini melenyapakan kepercayaan orang-orang terhadap lembaga pendidikan. Percaya diri berilmu boleh, tapi menganggap satu ilmu yang dimiliki dapat menyelesaikan banyak masalah jangan. Percaya diri baik boleh, tapi jangan merasa paling baik dari yang lainnya.

Jangan terlalu percaya diri, karenanya percaya diri sukar menghargai. Jangan pernah percaya diri baik, sebab sifat yang demikian mudah melecehkan orang lain.  Jangan pernah yakin bahwa kebenaran hanya ada dari sudut pandang satu kebaikan saja, sebab satu kebaikan yang dipercayai akan menuduh orang lain bersalah.

Orang baik itu tidaklah seperti hakim yang kerjanya menjatuhkan kesalahan berdasarkan fakta. Orang baik, melalui pikirannya mencari nilai dari apa yang dilihat. Orang berilmu tidaklah seperti katak dalam tempurung yang terkunci dalam ruang yang sempit. Tetapi, keberadaannya merdeka walaupun raganya terikat tapi tidak dengan pikirannya. Orang bodoh bermodalkan percaya diri, sementara yang berilmu selalu berhati-hati. Apalagi, menyangkut dengan urusan orang banyak. Optimisme penting, percaya diri itu baik, namun yang jauh lebih penting adalah  sikap yang penuh kehati-hatian.

Membangun optimisme di dunia politik sangatlah penting, tetapi untuk siapa optimisme itu dialamatkan; apakah untuk rakyat, partai, politisi, atau semata untuk sekedar memperebutkan kekuasaan saja. Optimisme sebagai genderang politik perlu disikapi dengan baik. Rakyat perlu tahu arah dan tujuannya ke mana serta alat yang digunakan dalam menggapai optimisme tersebut.

Kata optimisme politik mesti dipahami abstrak, karena tujuannya adalah kekuasaan. Salah satu tujuan yang dilakukan dengan menghalalkan segala macam cara adalah memenuhi birahi kekuasaan. Birahi kuasa yang berlebihan berbahaya bagi pelakunya dan berbahaya bagi masa depan bangsa. Hancurnya tatanan politik bukan hanya disebabkan lemahnya pendidikan poliik semata, melainkan juga karena birahi politik yang berlebihan.

Seyogianya optimisme politik yang ditawarkan adalah program kerja yang membawa perubahan pada poin serta signifikan terhadap pengembangan ekonomi umat. Menawarkan gagasan-gagasan yang sifatnya kekinian kepada publik. Genderang ide yang seharusnya dijadikan sebagai wadah optimisme, sehingga masyarakat tahu optimisme mana yang harus diterima.

Kalau saja optimisme politik percaya dirinya masih menggunakan uang, maka optimisme seperti ini akan dimaknai sebagai genderang permusuhan terhadap demokrasi politik, serta mencederai pesta rakyat yang dilangsungkan lima tahun sekali.  melukai demokrasi. Optimisme politik jangan lagi diawali dengan modal uang, tetapi harus dimulai dengan membangun gagasan perubahan ke arah yang jauh lebih baik. Dengan begitu, percaya diri penting dinampakkan pada banyak orang.

Rakyat kudu cerdas mengikuti optimisme politik, apalagi ditahun politik, membangun percaya diri untuk  meraih basis suara rakyat adalah modal yang paling rendah . Satu suara harus dimaknai satu perubahan, satu pilihan mesti dipahami satu perbaikan. Demokrasi; kekuasaan ada di tangan rakyat, maka jangan pernah menyia-nyiakan dikala kedaulatan ada di tangan rakyat, agar saat kekuasaan ada di tangan mereka suara rakyat tidak sia-sia. Optimisme harus dibangun berdasarkan politik gagasan bukan politik uang.

Janganlah terlalu percaya diri, apalagi optimisme yang membawa tirani. Dan jangan pernah merasa diri berpendidikan, jika saja pikiran belum mampu mengambil pelajaran dari makhluk yang menjijikkan sekali pun. Orang yang terlalu percaya diri (pede) susah menerima nasehat orang lain, sebab ia merasa yakin dengan dirinya sendiri. Orang yang terlalu optimis suka lupa diri. Bahkan tidak hanya itu, optimisme dalam wilayah apa pun, pelakunya sering tidak lagi jujur disaat kepentingannya mulai terganggu. Langkah catur ibarat optimisme yang dibangun berdasarkan gerak dan strategi yang baik, dengan tetap mengutamakan nilai dan rasionalitas.

Purwakarta, 18 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA