Az-Zaujaan: Pengabdian Terbaik Saling Memberi Senyuman

Menikah; ditinjau berdasarkan istilah fikih berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan memakai lafadz nikah dan tazwij. Dalam konteks sosial, menikah dapat dipahami sebaga legalitas seseorang dikuasai oleh orang lain. Legalitas ini berlaku sepanjang pernikahan itu masih utuh. Bahkan bukan hanya dikuasai tetapi keduanya saling menunaikan kewajiban dan toleransi; berlaku kewajiban dipihak suami dan toleransi dipihak istri. Semakin suami menunaikan kewajibannya semakin terbuka pintu rahmat untuk keduanya. Semakin tumbuh toleransi istri semakin terbuka pintu syurga untuknya; baik syurga dunia maupun akhirat.

Disamping bermakna teologis menikah juga berimplikasi sosiologis; sebab ia bukan hanya persoalan aku, bukan juga persoalan dia,  tetapi menikah adalah persoalan aku, dia, dan Tuhan. Jika menikah dipahami karena aku maka tujuannya hanya sekedar ingin melepaskan masa lajang, dan karena ingin menyelesaikan nafsu semata. Menikah adalah persoalan dia karena ini terkait dengan kasih sayang. Sementara menikah karena Tuhan bermakna tanggung jawab. Menikah bukan hanya menjalin hubungan dua anak manusia, melainkan juga membangun hubungan dua keluarga besar.

Perempuan adalah makhluk yang istimewa, sebab itulah Nabi hanya disisakan anak perempuan yakni Sayyidah Fathimah. Melalui anak perempuanlah sifat-sifat baik diturunkan. Aku kata Nabi Muhammad Saw diutus untuk memperbaiki akhlak. Akhlak yang turun pada anak dominannya turun dari ibu, jika saja seorang ibu memiliki sifat yang baik maka baiklah anak itu. Dan sebaliknya, jika sifat ibu buruk maka buruklah prilaku anak.

Ilmu diwariskan pada manusia melalui ulama (al-ulama u waratsatul ambiya). Ilmu yang diajarkan Nabi terwarisi melalui pikiran-pikiran para ulama, sementara sifat yang melekat pada Nabi terwarisi melalui perempuan. Maka berbahagialah para perempuan yang telah dilahirkan ke bumi, sebab melalui perempuanlah akhlak-akhlak yang tertanamkan pada diri Nabi diteruskan dengan penguatan ilmunya para ulama. Jika saja belum didapati sifat baik pada istri maka sebagai suami ajarkan kebaikan-kebaikan padanya, sehingga suami baginya bukan hanya sebagai kepala rumah tangga melainkan juga sebagai guru yang selalu menasehati dirinya.

Perempuan adalah tiang agama, jika perempuan baik maka baiklah agama, jika perempuan buruk maka buruklah ulama. Baik dan buruk di sini bukanlah rupanya, melainkan sikap dan prilakunya. Peran perempuan sangat menentukan dalam rumah tangga, kenyamanan suami dangat ditentukan seperti apa istri memperlakukan dan menyambutnya. Menafkahi adalah kewajiban suami, cara terbaik menerima nafkah yang diberikan suami adalah menyambut kedatangannya dengan senyuman.

Melihat suami sehat jiwa dan raganya nafkah terbaik untuk istri, tentunya nafkah dalam bentuk non-materi. Begitu juga sebaliknya, melihat istri dalam keadaan sehat jiwa da raga juga mesti dipahami sebagai nafkah terbaik bagi suami. Berusaha untuk tetap sehat adalah pengabdian. Berusaha untuk sehat adalah upaya menjaga diri agar tetap memiliki tubuh yang fit dan kuat, sehingga seorang istri mandiri kuasa atas dirinya sendiri. Dengan kemandirian tersebut ia akan memberikan pengabdian kepada suaminya dengan sempurna.

Semua yang berlaku atas manusia tertulis dalam catatan Tuhan. Namun, ikhtiar manusia juga menentukan hal-hal dalam katagori pilihan. Bisa saja seseorang memilih untuk sakit dengan cara-cara tertentu. Dan ini memungkinkan dilakukan oleh seorang istri. Hal-hal kecil yang terjadi bisa saja membuat kekesalan, sehingga dari rasa kekesalan tersebut mengakibatkan terganggunya imunitas seseorang, lalu gampang sakit. Istri yang selalu menjaga kesehatannya, sehingga ia sehat dan kemudian tidak merepotkan suaminya.

Banyak hal yang dilakukan oleh istri terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi suami, seperti; lalai dalam banyak hal, masakan yang tidak sedap, pakaian yang tidak rapi, isi rumah berantakan, tidak mengurus anak dengan bai, dan berbagai prilaku lainnya. Istri tidak memiliki kewajiban untuk mengurus hal yang demikian. Jika saja dilihat literasinya, tidak ada kewajiban yang melekat pada seorang istri untuk melakukan hal-hal yang menurut ukuran masyarakat modern tidak lagi penting. Apalagi, pekerjaan rumah tangga hari ini bagian dari lapangan pekerjaan untuk orang lain.

Meyelesaikan persoalan rumah bukanlah kewajiban bagi istri melainkan toleransi yang tiada batasnya. Dengan toleransi inilah istri mendapatkan kedudukan yang tinggi, baik di sisi suami maupun di sisi Tuhan. Semakin tinggi toleransi yang ditorehkan istri maka semakin terbuka lebar pintu kebaikan baginya dari keridhaan suami, yang mana atas keridhaan tersebut pintu-pintu langit membuka rahmatnya. Dan, dengan toleransi tersebut pintu syurga pun terbuka lebar.

Istri tidak melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan yang lainnya, jangan dipahami sebagai bentuk pembangkangan, apalagi mengkleim bentuk kedurhakaan. Sebab, yang namanya toleransi tidak berlaku hukum wajib melainkan berlaku hukum kesempatan. Karena toleransi bukan kewajiban maka sifatnya adalah kerelaan. Sesuatu yang dilakukan secara sukarela membangkitkan semangat yang berbeda dari suatu kewajiban. Kewajiban, sering dipahami sebagai beban, sementara sukarela membawa kegembiraan. 

Banyaknya tempat makan yang tersedia akhir-akhir ini adalah jawaban kenapa istri tidak perlu menyediakan makan untuk suami di rumahnya. Barang kali istri menginginkan makan di luar rumah bersama suami dan anaknya. Jika dilihat berdasarkan perintah kepada suami “untuk memberi istri dan anaknya makan”, maka tempat makan yang sesuai untuk ukuran hari ini adalah restauran. 

Makan di restauran akan bermasalah dengan harga, sementara gaji suami rendah. Persoalan pendapatan suami makan di restauran jadi masalah besar. Apalagi, setiap waktu makan harus membawa anak istrinya ke restauran mewah, dan setiap hari pula. Bentuk toleransi istri di sini, istri tahu kalo pendapatan suaminya tidak cukup untuk membiayai saban hari makan di luar rumah, kecuali sekali-kali saja. Maka, toleransi istri terbangun, untuk menyediakan makan di rumah dengan catatan suami menyediakan bahannya seperti beras, ikan, sayur,  beserta alat-alat-ala dapur yang dapat menunjang istri memasak di rumah.

Bangkitnya toleransi untuk menyediakan makanan di rumah oleh istri menghasilkan dua hal. Pertama, terkait dengan biaya tata boga rumah tangga tidak boros, atau paketnya hemat. Kedua, hasil masakan yang diramu melalui tangan/jari istri menghasilkan energi dari dalam, melalui ujung jari istri terpancar kasih sayang yang tiada taranya. Jari-jemari istri adalah sumber kasih sayang, jika digunakan untuk memasak dan yang lainnya akan menghipnotis secara alami alam bawah sadar suami dan anak-anaknya. Melalui konsep toleransi ini melahirkan paket hemat kebutuhan keluarga.

Begitu juga dengan pakaian, kewajiban suami menyediakan pakaian untuk istri adan anak-anaknnya. Pakaian yang dimaksud di sini adalah pakaian yang sedang nge-trend saat ini. Barang-barang yang sifat branding tidak dijual di tempat murah, apalagi barang yang sifatnya limited edition. Bicara pakaian di sini bukan hanya baju saja, melainkan juga benda-benda lain yang dapat digunakan dan melindungi seperti; rumah, berbagai jenis kenderaan, sepeda motor, mobil, jet pribadi, dan berbagai jenis kenderaan lainnya. 

Artinya, barang-barang yang dapat digunakan untuk menunjang aktifitas sehari-hari wajib disediakan oleh suami. Tetapi, mengingat pendapatan suami rendah, maka istri kembali bertoleransi membiarkan suaminya membeli pakaian setahun sekali, tidak perlu mahal dan mewah asalkan dapat menutup aurat, serta kenderaan seadanya.

Rumah juga kebutuhan mendasar bagi istri, tentu ini berat apalagi bagi pengantin baru. Tradisi di masyarakat Nusantara setelah menikah tinggal di rumah mertua. Tradisi ini juga sebagai penguat bathin antara ayah dan anak perempuan, bahwa dalam waku yang tidak lama lagi anaknya akan tinggal di tempat lain bersama suaminya. 

Masa transisi kewajiban suami menyediakan rumah, tinggal di rumah mertua sangatlah membantu. Tinggal di rumah mertua lamanya bervariasi, ada yang satu tahun, dua tahu, bahkan beberapa tahun. Dan syukur-syukur mendapatkan mertua yang mampu menyediakan rumah. Artinya, kewajiban suami menyediakan tempat tinggal sudah terjawab oleh kerelaan mertua untuk anak dan menantunya. Demikian itu, tidaklah semua orang memperolehnya.

Rumah yang disediakan adalah rumah pada taraf eli. Betapa rumitnya persoalan rumah di era zaman sekarang. Dalam suasana ekonomi sulit, membeli rumah secara kredit saja berat, apalagi membelinya secara cash. Maka, atas kekurangan tersebut, istri kembali bertoleransi kepada suami nya. Istri bersedia tianggal di rumah kontrakan, walaupun di lingkungan yang tidak mengasyikkan. Tetapi, dengan adanya toleransi yang sifatnya suka rela, tempat tinggal yang tidak mengasyikkan tetap dirasa bahagia.

Kewajiban ini tidak hanya dalam bentuk materi, seperti menyediakan makanan, tempat tinggal, pakaian, tetapi juga yang sifat non-materi. Non-materi yang dimaksudkan di sini adalah berupa hiburan, atau refreshing. Untuk menikmati hiburan dan refreshing untuk ukuran hari ini adalah tempat-tempat wisata yang menjadi daya tarik masyarakat dunia, seperti ke Pntai di Hawai, Los Angeles, Paris, New Zeland, Singapur, Dubai, Bali. Atau wisata religiu seperti umrah, haji, tempat bersejarah keislaman, kuburan-kuburan para wali yang tersebar  di seluruh dunia.

Menuju ke tempat-tempat yang disebutkan di atas menghabiskan biaya yang mahal, tidak semua orang mampu menjangkaunya. Oleh karena sang istri menyadari bahwa suaminya tidak mampu membawa jalan-jalan ke luar negeri, dan ke pantai-pantai terkenal lainnya, maka ia bertoleransi lagi pada suaminya, cukup berekreasi di tempat-tempat wisata yang dekat dengan tempat tinggalnya, yang pentingnya pantai yang didatangi sama-sama ada pasirnya. Atas toleransi yang diberikan istri, jangankan untuk menikah lagi bagi suami melirik perempuan pun tidaklah patut.

Melihat istri; masih bisa tersenyum dikala suaminya pulang ke rumah, itu juga pengabdian. Apalagi ia mampu melakukan banyak hal dalam urusan rumah tangga, dari mengurus rumah sampai mengurus anak. Lalu ia juga cakap menjaga kesehatannya, bahkan ia juga cakap menjaga perawatan dirinya sehingga tetap terlihat cantik, anggun, dan mempesona sepanjang hari tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Jika, tersenyum saja dianggap penganbdian yang luar biasa, lalu bagaimana lagi dengan pengabdian dalam bentuk yang lain; seperti memasak, mengurus rumah, menjaga anak, mencuci pakaian, dan lainnya. Dan, itu semua bukanlah kewajiban, melainkan toleransi. Bahkan, menyusui anak yang paling penting sekali pun masih berlaku hukum pilihan pada istri.

Seandainya saja seorang istri meminta dibayar  stiap ia menyusui anak, maka suami harus membayarnya sesuai dengan takaran yang ditentukan oleh istri. Jika suami tidak senang atas permintaan tersebut, mau digugat ke pengadilan mana pun, gugatan suami tidak akan dikabulkan. Namun, tidak ada istri yang berlaku demikian. Menyusui anak oleh istri tanpa diminta bayaran adalah pengabdian yang paling berharga.

Sebagai suami tidak perlu menuntut banyak hal pada istrinya. Jangankan kewajiban dalam hal "pengurusan rumah tangga, melayani suaminya di tempat tidur sekali pun masih berlaku hukum kondisioner. Jika istri dalam keadaan kurang sehat atau badannya tidak fit maka ia boleh menolaknya". Dengan syarat tertentu suami boleh menceraikan istrinya. Tetapi perlu diingat juga, dengan syarat tertentu pula istri dibolehkan mem-fasak suaminya. Artinya, suami punya hak menceraikan, istri juga memiliki hak meminta cerai dengan konsekuensi tertentu pula. Bukan hanya itu, harta yang didapat selama bersamanya juga harus dibagi dua.

Bagi suami tidak perlu melihat pengabdian seorang istri itu jika saja ia tidak mampu melakukan banyak hal. Istri meringankan gerak bibirnya untuk tersenyum pada suami saja itu adalah pengabdian yang luar biasa. Mengingat hidup ini adalah ruang keterbatasan, maka kekurangan dan kelebihan harus berimbang. Lelaki dan perempuan terbaik adalah orang yang memutuskan untuk menikahi dan mau dinikahi, terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada diri masing-masing.

Memahami nafkah yang diberikan oleh suami pada istrinya dalam bentuk uang semata, dan benda-benda lainnya  telah menjadikan para suami banting tulang mencari nafkah untuk keluarganya. Berusaha sekuat tenaga dan pekerjaan apa pun dikerjakannya, sehingga tidak jarang ada yang jatuh sakit gara-gara terus berpikir bagaimana mencari uang yang banyak untuk anak dan istrinya. Kerbau saja yang banyak makannya tahu harus berhenti makan saat jam istirahat tiba, lalu suami gara-gara memenuhi kebutuhan rumah tangga yang dituntut berlebihan istri lupa istirahat dengan cukup sampai jatuh sakit.

Terkadang para istri lupa, bahwa rejeki diperoleh dari suaminya bukan hanya berbentuk uang semata, melainkan juga dalam bentuk kesehatan. Melihat suami masih pulang ke rumah dalam keadaan sehat wal 'afiat itu juga rejeki yang tiada taranya. Bayangkan, jika suami itu pulang dan jatuh sakit. Kondisi seperti ini bukan hanya istri yang terlantar bahkan juga anak-anak. Sebab, nafkah yang dipahami melulu dalam bentuk materi akan menjadikan hidup ini kehilangan momen, atau kehilangan waktu terbaik untuk bersama (quality time).

Para istri, perhatikan baik-baik "melihat suami pulang ke rumah dalam keadaan sehat itu juga nafkah untuk dirimu walaupun dia tidak membawa pulang apa-apa", kecuali hanya membawa senyum saja. Bukankah melihat suami pulang ke rumah dalam keadaan sehat masih bisa bercanda dan bersuka ria dengannya. Berat memang, dan tidak mudah menukar pikiran terbalik atas nafkah yang diterima oleh istri. Namun, melalui narasi singkat ini cukuplah memberi gambaran betapa pentingnya mendapati pasangan suami istri pulang dalam keadaan sehat. Dengan tubuh yang sehat; baik suami maupun istri masih bisa saling melempar senyuman.

Terkait dengan materi, jika hari ini tidak ada, mungkin besok akan dirapel sebagai gantinya oleh Tuhan. Jika hari ini suami pulang dalam keadaan sakit, maka besoknya ia tidak keluar dalam keadaan sehat, atau bahkan ia tidak bisa beraktifitas lagi, sebab sakit butuh pembaringan, dan tidak berarti lagi pekerjaan untuknya. Pahamilah, sehat yang engkau dapatkan dari suami itu juga nafkah. Begitu juga dengan suami, sehat yang didapat pada istrinya juga rejeki yang sangat baik.

Suami tidak pantas menyampaikan ini pada istrinya, begitu juga dengan istri, sebab yang demikian dapat dipahami tendensius oleh keduanya. Maka, harus disampaikan oleh orang lain. Dengan itulah pengajian itu penting untuk meningkatkan pengetahuan kita dalam memahami konteks-konteks yang selalu kita hadapi. Semakin sering menghadiri majelis ilmu maka semakin paham dalam memahami konteks apapun, termasuk dalam memahami persoalan dalam rumah tangga.

Jadilah suami yang selalu mempersentasikan kebaikan pada istri. Persentasi terbesar yang harus dipertimbangkan suami adalah memastikan istri selalu dalam keadaan sehat, merawat diri tetap cantik, anggun, dan selalu mempesona dengan senyumnya, sehingga setiap menatap atasnya selalu muncul semangat baru. Suami dan istri, mesti selalu memperlebar senyumnya. 

Syahdan..... Bagi suami istri perlu bersikap. Laki-laki menikahi perempuan yang sudah tidak lagi memiliki orang tua, maka suami harus mampu berfungsi ganda; berfungsi sebagai suami juga berperan sebagai orang tua bagi istri. Begitu juga berlaku sebaliknya, perempuan harus hadir sebagai istri, juga berperan sebagai ibu terhadap suaminya yang sudah kehilangan ibunya. Keduanya saling berfungsi ganda dalam pengertian peran psikologis. Dikarenakan dalam Islam tidak dibolehkan menyamakan istri dengan ibu sendiri dalam konteks biologis/fisik. Jadilah pasangan yang mengutamakan akhlak sebagaimana diajarkan agama, jika marah tidak menghina saat menyinta saling saling memuliakan.

Jakara, 15 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA