Materialisme Politik Pasca Perdamaian Helsingki

Hadirnya partai politik lokal di Aceh pasca perdamaian Helsingki dituntut berperan ganda. Satu sisi partai lokal pemenang pemilu dan pemilukada berfikir untuk membawa kesejahteraan pada masyarakat. Pada sisi lain membangun komunikasi politik pasca perdamaian, dengan tujuan utama menyelesaikan poin-poin perdamaian yang telah disepakati untuk dijadikan materi hukum formal dan dijalankan di Aceh sebagaimana tertuang dalam perjanjian damai yang telah disepakati antara GAM-RI.

Materialime politik tidaklah baik untuk siapa pun. Karena, keberadaan mereka pada dasarnya adalah pecundang. Politik yang mengandalkan uang sangatlah berbahaya. Dan kenyataan inilah yang dihadapi umat hari ini. Masyarakat menyerahkan kekuasaannya pada orang yang memiliki banyak modal dengan mengabaikan orang baik, sebab tidak memiliki modal yang banyak. Begitu juga Partai Politik, lebih memuliakan orang berduit dibandingkan dengan orang yang memiliki kemauan membangun melalui kecerdasan ide dan moralitas diri.

Pedagang politik akan memainkan peran bisnisnya dalam wilayah mana pun. Bagi pemilik modal politik dijadikan tempat mempermainkan orang-orang. Lebih parah lagi, pedagang politik ini menggunakan uang negara melalui kebijakan yang dimiliki untuk menframing dirinya. Alih-alih memberi bantuan, padahal ia sedang membanggakan dirinya sendiri. Uang yang digunakan dalam bentuk bantuan apa pun pada dasarnya berasal dari kantong rakyat, tapi seolah-olah dana itu berasal dari kantongnya sendiri.

Memperbaiki politik, jika masih berpatokan pada uang maka ia tidak akan berubah. Perlu memperhatikan orang-orang yang dihadirkan ke ruang pablik oleh Partai Politik. Kalo masih memperlakukan istimewa seorang politisi karena ia banyak uang dan modal secara materi, maka dipastikan peran elit di masa yang akan datang berlaku sama bahkan lebih buruk dari saat ini.

Prilaku materialisme kehidupan umat hari ini tidak hanya berlaku dalam konteks individu, melainkan sudah masuk pada wilayah institusi. Di institusi mana pun; termasuk Partai Politik, budaya matre sangat mengemuka. Adakah manfaatnya budaya materialisme ini, jawabannya tidak sama sekali. Sebab, materialisme adalah budaya yang buruk pernah dan selalu hidup sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Karena, keberadaan siapa pun dilihat berharga jika ia memiliki banyak materi untuk diberikan.

Ketika materi-materi itu sudah tidak didapatkan lagi, maka keberadaannya tidak diperlukan lagi. Atau, pada saat sesuatu sudah didapatkan olehnya maka orang-orang yang telah mengantarkannya berada pada puncak politik akan ditinggalkan. Sikap matre dalam hal apa pun selalu mencari tempat yang lebih baik untuk dirinya. Ketika satu tempat sudah diperoleh ia ingin menduduki tempat yang lain yang lebih menjanjikan kemegahan untuk dirinya; tentunya dengan membayar orang-orang yang lain pula.

Menjelang pemilu kali ini, apakah budaya ini masih dominan dalam politik kita, jika masih maka jangan pernah bermimpi ada perubahan yang lebih baik. Budaya politik matre, melihat orang yang didukung dan nakhoda partai politik disorong orang-orang yang memiliki modal yang banyak dan rakus ingin berkuasa.

Apa yang dapat diharapkan dari keberadaan mereka. Kalo hidup ini hanya mengandalkan stok makanan dan keinginan saja, lalu apa bedanya manusia dengan binatang. Rakusnya binatang masih dapat diukur takarannya, binatang hanya mengambil untuk dimakan bukan untuk disimpan. Sementara manusia bukan hanya untuk makan, juga untuk disimpan, dan bahkan ingin menguasai banyak hal.

Padahal apa yang dimakan belum tentu baik untuk kesehatannya, dan apa yang disimpan belum tentu juga ia dapat menikmatinya, dan kekuasaan yang diperoleh pun terkadang tidak bermanfaat untuk dirinya dan tidak bermanfaat untuk orang lain. Gajah saja yang badannya besar tetap berhenti disaat ia telah kenyang.

Lalu mengapa manusia yang badannya malah menggadaikan kesehatannya hanya untuk dapat sekali makan. Bahkan ia rela menggadaikan kehormatannya hanya untuk kekuasaan yang tidak dapat dipegang selamanya. Terkadang, dengan kekuasaan itu pula seseorang terlaknat karena amanah yang diabaikan. Suara yang diperjual belikan sama dengan harga diri yang digadaikan.

Materialisme politik sangatlah berbahaya bagi umat ini, lebih-lebih lagi berbahaya bagi yang mendukungnya. Karena, kekuasaan yang diperoleh dengan mengeluarkan banyak modal tidak membawa kesetiaan bagi pelakunya. Dia hanya setia pada keinginan pribadinya. Para politisi; atas dasar apa kalian membangun daya bayang untuk memperbaiki negeri ini. Atas dasar intelektualitaskah atau karena banyak uang. Melalui jalan pikirankah atau jalan pencitraan.

Rusaknya pikiran politik masyarakat sebab dipengaruhi oleh politik uang, dan ini menjadikan pemerintah korup. Politik uang telah melahirkan pemimpin buruk. Pemimpin yang berpikir balik modal setelah demokrasi berlangsung lahir dari sistem politik uang.

Menjelang perhelatan demokrasi lima tahunan nuansa politik mengemuka. Sejak bergulirnya reformasi sistem politik terbuka membuka peluang terjadinya politik transaksional. Banyaknya partai politik pada satu sisi membawa pilihan politik beragam, namun pada sisi yang lain membingungkan masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya.

Politik transaksional menjadikan rupa demokrasi tercoreng dengan politik berbayar. Suara rakyat yang dipahami suara sakralitas kini berubah menjadi suara uang. Kekuatan politik tidak lagi dilihat dari elektabilitas tetapi dilihat berdasarkan popularitas. Kekuasaan dan popularitas, serta kekuasaan dan uang hampir tidak dapat dipisahkan dari pikiran politik kerakyatan.

Modal politik menjadi mahal. Politik yang sebelumnya dianggap sebagai jalan membawa kesejahteraan akhirnya khandas di antara kepentingan kapitalisme politik lokal. Power politik tidak lagi bertujuan pada kesejahteraan kolektif, melainkan untuk kepentingan personal dan kelompok. Kekuatan partai politik lebih dominan dibandingkan dengan kedaulatan rakyat itu sendiri.

Sebenarnya; jumlah partai tidaklah penting, yang penting adalah menambah jumlah politisi yang memiliki kapabilitas serta kemampuan diri yang baik. Baik dalam pengertian inward serta outward. Jumlah partai politik tidak membawa perubahan signifikan dalam menata kehidupan berbangsa. Tetapi, perubahan yang signifikan adalah dengan bertambahnya jumlah politisi yang memiliki kemampuan leadership yang baik.

Reformasi tidaklah hadir tanpa sebab. Pergerakan ini digerakkan oleh karena masyarakat sudah jenuh dengan sistem pemerintahan yang digerakkan secara otoriter. Sama seperti pembentukan aturan atau hukum dalam masyarakat, aturan dan hukum selalu diciptakan untuk menjawab problem keumatan.

Maka, dalam tatanan hukum agama adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat menimbulkan pikiran hukum (kaedah) untuk menetapkan aturan serta hukum baru. Begitu juga dalam konteks sosial politik, kondisi zaman yang digerakkan sangat memengaruhi keinginan pablik untuk merombak tatanan; dari tatanan yang dianggap buruk menjadi sebuah tatanan yang diinginkan.

Keinginan inilah digejawantahkan dalam sebuah sistem baru. Adanya gerakan reformasi pemerintahan menandakan bahwa masyarakat politik menginginkan adanya pola baru dalam pengelolaan pemerintahan. Sistem pengelolalaan pemerintahan dari hulu ke hilir ternyata tidak sepenuhnya membawa perubahan. Bahkan, pada tahap tertentu mengalami problem baru, terutama sekali masalah politik demokrasi.

Reformasi menuju perubahan total dalam sistem berdemokrasi bangsa Indonesia. Terbukanya kran politik terbuka mengaliri arus politik baru, banyak bermunculan partai politik sebuah tanda arus demokrasi terbuka pasca reformasi menempati ruang baru. Tokoh-tokoh politik yang sebelumnya tidak leluasa menerjemahkan pikiran politiknya, dengan hadirnya beberapa Partai Politik seperti membuka jalan menuju ruang ekspresi di ruang pablik.

Setelah hampir seperempat abad reformasi bergulir, ternyata jumlah partai politik tidak menjamin perubahan sebagaimana yang diharapkan. Dengan fenomena tersebut jumlah partai politik tidaklah penting dibandingkan dengan jumlah politisi yang baik secara mental, konsep, dan kinerja. Bahkan, dengan hadirnya partai politik yang banyak membebani keuangan negara.

Aceh; di samping peran partai politik nasional ditambah lagi dengan hadirnya partai politik lokal. Jumlah partai yang semakin banyak untuk ukuran provinsi semakin membebani keuangan negara, sementara kesejahteraan masyarakat tidak terjawab secara nyata. Pasca reformasi Indonesia dibanjiri partai politik, dan Aceh pasca MoU Helsingki mengharuskan pikiran politik lokal seperti menghadapi badai politik yang mengombang-ngambing.

Lebih-lebih lagi, kehadiran partai politik tidak menyelesaikan masalah utama bagi Aceh sendiri. Jumlah partai bertambah jumlah kemiskinan juga meningkat. Di sini, Aceh kembali memperkuat statement bahwa jumlah partai politik tidaklah penting jika tidak bertambah jumlah politisi yang baik ditinjau dari berbagai aspek.

Hadirnya politisi lemah analisa atau meminjam istilah Teungku Kasem “lemoh pikiran”. Ini salah satu penyebab yang ditimbulkan politik terbuka pasca MoU Helsingki hadirnya politisi paket bersamaan dengan hadirnya partai politik lokal. Walaupun; akhir-akhir ini partai politik dominan di Aceh mulai berbenah terkait dengan potensi politisinya. Walaupun, mulai berbenah tetap saja dipertanyakan kemerdekaan pikiran politisinya, sebab kekuatan politik selalu dipengaruhi oleh elit partai, bukan elit politik itu sendiri.

Politik uang adalah tantangan terbesar demokrasi pasca reformasi di Indonesia , dan demokrasi pasca perdamaian Helsingki di Aceh. Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan elit politik semakin hari semakin berkurang. Ini semua disebabkan karena kekecewaan politik yang tidak sesuai sebagaimana fungsi dan kerjanya.

Memorendum of Understanding (MoU) Helsingki adalah perdamaian politik. Naskah perjanjian damai dipahami sebagai naskah politik bukan naskah hukum. Dengan begitu, tugas elit politik lokal adalah bagaimana membawa perubahan naskah tersebut, dari naskah politik menjadi naskah hukum lalu dimasukkan dalam lembaran negara. Pemerintah Aceh tidak memiliki kapasitas eksekusi butir-butir perdamaian jika naskah tersebut belum disepakati oleh kedua belah pihak yakni; pihak Aceh Merdeka (elit politik lokal) dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Dilihat dari peran dan fungsinya; demokrasi politik pasca perdamaian bagi Aceh mendapati tantangan berat bagi elit politik lokal di Aceh. Keberadaan elit politik lokal tidaklah berhasil jika belum mampu membawa perubahan nyata pasca MoU Helsingki, terutama sekali terkait dengan status Aceh pasca perang atas hak-hak penentuan nasib dalam menjalankan pemerintahan sendiri (Self-Governance).

Tanggung jawab berikutnya adalah bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih (good-governance). Pemerintah yang bersih agak sulit untuk diterapkan jika proses politik yang berlaku penuh dengan kecurangan, intrik, dan politik uang. Money Politic yang berlaku dalam pesta demokrasi telah membawa Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya terpuruk sampai ke arus bawah.

Politik uang telah menghancurkan asa publik, bahkan pembodohan politik terjadi secara masif di tengah-tengah masyarakat. Sampai titik terendah dari keterpurukan dikala hari pencoblosan dipahami oleh rakyat sebagai jam kerja yang harus dibayar dengan harga tertentu, bukan dipahami sebagai suara perubahan dengan semangat memperbaiki masa depan bangsa. Materialisme politik merambas bak gayung bersambut antara kemiskinan rakyat dengan rakusnya elit politik yang ingin berkuasa. Selagi kemiskinan dan rakusnya elit memahami kekuasaan masih berlaku, maka sejauh itulah Aceh terus terpuruk.

Aceh Serambi Madinah, 25 Juli 2023



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA