Kalam Sosial: Tidak Semua Orang Dipandang Baik
Pesona merak selalu menampilkan keindahan. Kebaikan akan terus hidup, lalu menganggap baik semua orang juga satu kesalahan besar. Orang-orang baik tidak selamanya baik untuk semua orang. Di sinilah barometer hidup diperlukan. Sebab, tidak semua orang dipandang baik, tetapi berfikir positif diperlukan. Kapan berfikir positif dianggap perlu, ketika kita melihat orang lain tidak pada momen kepentingan apa pun. Jika sudah menyangkut dengan kepentingan, maka takaran kebaikan benar-benar harus dilihat, sebab semua orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kepentingan pribadi lebih penting dibandingkan dengan kepentingan umum. Setiap orang tidak diwajibkan untuk membantu banyak orang kecuali sudah diminta. Atas kebaikan yang diberikan Alquran mengharuskan membalas dengan kebaikan yang jauh lebih baik, atau kebaikan yang setala. Tetapi, dua kepentingan ini terkadang tidak dapat dipisahkan jika dilihat dari peran manusia yang mana keberadaannya saling membutuhkan. Namun perlu diingat, kepentingan umum hanya bisa dilaksanakan jika kepentingan pribadi telah terwujud. Seseorang benar-benar baik jika sudah tidak adalagi kepentingan atas dirinya.
Berdasarkan kepentingan inilah memikirkan pribadi-pribadi lebih utama. Tujuannya adalah untuk membangun kehidupan bersama. Lebih-lebih lagi kepentingan diri yang terkait dengan mental. Membentuk mental pribadi yang baik sangatlah utama sebelum membentuk mental umat. Apalagi mental umat yang terkait dengan politik. Jika saja pelaku-pelaku politik belum selesai dengan pribadinya sendiri, maka jangan harap ia akan baik pada pribadi yang lain.
Buruknya pribadi politik ketika mereka menggunakan kebaikan orang banyak untuk kepentingan dirinya. Tahun-tahun politik hal yang demikian sangat terlihat. Banyaknya secara tiba-tiba bermunculan orang baik. Bahkan bukan hanya itu, mereka hadir dalam momen apa pun dengan menampilkan baik tentang dirinya. Tanpa menyadari bahwa rekam jejak dirinya terlihat buruk. Kepribadian seseorang akan berubah dikala berhadapan dengan kepentingannya.
Orang seperti ini diibaratkan seperti burung merak oleh ahli sufi seperti Rumi. Burung merak selalu terbang ke mana-mana hanya ingin memperlihatkan keindahan bulu-bulunya. Padahal, keindahan merak hanya bisa dilihat saja sebagai wujud keindahan alam semesta, tanpa dapat dimanfaatkan untuk kebaikan apalagi digunakan untuk memperbaiki keburukan yang sedang berlangsung. Fenomena mental merak sering terlihat dikala kekuasaan baru saja diperoleh. Untuk menguji mental seseorang berikan ia kekuasaan dan uang. Jika tidak berubah sikap dan nada bicaranya itulah orang baik.
Begitulah orang-orang yang selalu menampakkan kebaikannya pada manusia, ibarat burung merak. Kehadirannya sebatas wujud keindahan saja tanpa mendatangkan kebaikan nyata dalam kehidupan sosial. Penampilannya sangat menarik, biaya-biaya untuk menunjang kinerjanya juga tinggi, chost oprasional kerja juga banyak. Biaya segala biaya terus diperbincangkan, termasuk biaya yang tidak penting sekali pun.
Para politisi banyak hadir tanpa membawa pikirannya, hadir hanya sebatas membawa dirinya. Performa dirinya menipu banyak mata, tetapi mereka tidak dapat menipu orang-orang yang menggunakan akalnya. Melihat dengan mata sering menipu diri, melihat dengan mata akal mampu menangkap jika ia sedang ditipu oleh orang yang bermental merak.
Kebaikan yang muncul ditahun politik adalah lakon seni keindahan yang menampilkan baik. Padahal, dibalik kebaikannya tersimpan kebringasan yang sangat jahat dengan tujuan ingin menguasai. Penampilan politik jahat dengan modal dari rakyat berhasil menipu mata-mata yang telanjang melihat fenomena. Mata akal mereka seolah-olah tidak berfungsi sama sekali. Disaat mata akal orang banyak tertutup dikala itulah peluang orang baik dimanfaatkan oleh orang yang berpura-pura baik.
Baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. Ini adalah hukum alam. Dunia ini diisi oleh kebaikan yang saling berseberangan. Pada dasarnya bukan keburukan yang muncul ke permukaan, melainkan karena kebaikan dianggap tidak penting. Akhirnya, karena yang berprilaku baik sedikit, maka kebaikan itu tenggelam. Orang baik, bukan karena ia baik, melainkan karena tidak adanya orang buruk. Ibarat gelap dikarenakan terang telah pergi. Pada dasarnya gelap itu tidak ada. Kenapa gelap bisa muncul sebab cahaya penerang telah pergi.
Berdasarkan yang demikian muncullah kriteria baik. Bagi sekelompok orang yang hidup penuh dengan keburukan tidak satu pun dari kehidupan mereka merasa buruk. Para bandit dan perampok, mereka selalu merasa baik di komunitasnya, dan semua di antara mereka malah saling mengapresiasi keburukan antar kelas yang mereka ciptakan.
Lalu sebagian yang lain merasa baik, selalu melihat buruk kelompok yang mengancam dirinya. Namun disaat orang baik bersama kebaikan maka tidak pernah terfikir adanya yang buruk. Begitu juga disaat orang buruk bersama keburukan maka tidak pernah terlihat pula orang buruk. Semua berjalan menurut pandangan masing-masing.
Dalam konteks sosial dan politik tidak dibenarkan memahami bahwa semua orang adalah baik. Kehidupan politik bukanlah membangun kehidupan personal, makanya kebaikan pribadi seseorang tidak cukup syarat untuk dipercaya mengelola kepentingan publik. Pesona politik saling curiga satu sama lain. Dan ini sangat terlihat di antara pelaku politik itu sendiri, antar partai politik dan antar politisi saling mendatangkan kecurigaan dan saling menjatuhkan. Kompetisi bertarung dominan di sini. Akhirnya, semangat berkontribusi hilang.
Jika saja di antara partai dan antara elit politik saling curiga mencurigai, maka rakyat sebagai pemilik penuh kuasa atas proses demokrasi politik wajib juga tidak mempercayai elit-elit yang saat ini berkuasa. Rakyat mesti membangun pandangan bahwa seluruh elit politik yang saat ini berkuasa adalah orang buruk. Sampai mereka menutupi keburukannya dengan upaya mengantarkan kesejahteraan atas umat.
Buruk yang paling mendasar dipahami adalah mereka sangat berani menampilkan dirinya melalui legitimasi politik. Lalu memamerkan baik pada masyarakat. Pamer kebaikan hanya satu tujuan yakni ingin mendapatkan kekuasaan. Lalu kapan, statement buruk ini dihilangkan, ketika akhir masa tugas dari kekuasaan yang diperoleh benar-benar mengantarkan kesejateraan atas umat manusia.
Dilihat dari hal yang demikian, maka tidak perlu mengapresiasi kinerja elit publik. Sebab, kekuasaan yang mereka peroleh adalah hasil dari kerelaan umat menyerahkan kekuasaan penuh pada mereka bersamaan dengan konpensasi yang banyak. Mereka digaji untuk melaksanakan kekuasaan tersebut.
Jika, setelah berkuasa dan digaji oleh rakyat kerja mereka hanya menampakkan kebaikan seperti merak yang terbang ke mana-mana hanya ingin menampakkan keindahan dirinya saja tanpa membawa manfaat bagi orang banyak melalui politik kebijakan. Keberadaan elit lebih banyak terlihat sekedar memamerkan pesona diri saja. Ke mana-mana yang dibawa adalah pesona dirinya, bak merak yang suka memamerkan keindahannya.
Pesona baik dilakoni dengan berbagai cara. Bahkan, ucapan-ucapannya sering dipoles menurut selera dan kepentingannya. Bersikap munafik pun dianggap hal yang biasa. Bukan datangnya pemimpin bodoh yang harus ditakuti oleh umat hari ini, tetapi yang perlu diwasdai adalah lahirnya pemimpin yang yang mudah bersilat lidah. Mereka yang bersilat kalam sering plin plan dalam berbicara dan plinplan dalam bersikap. Pemimpin yang bodoh masih bisa bekerja ketika ia menurunkan egonya, dan mengajak banyak orang pintar untuk membantu pekerjaannya.
Elit yang yang rusak kalamnya dalam bebicara dan bersikap menjadi malapetaka besar bagi umat hari ini. Bagaimana tidak, ucapan dan tindakan mereka tidak dapat dipercaya. Hari ini mereka berbicara tentang sesuatu masalah dan besoknya mereka berkata dan memutuskan berbeda terhadap perkara yang sama. Berbicara sembarangan seolah-olah tidak merasa bersalah sedikit pun saat mereka mengutarakan sesuatu yang mereka sendiri tidak melakukannya. Setiap sesuatu hanya dilihat pada kepentingan, bukan pada komitmen.
Rusak tatanan sebuah negeri jika sikap buruk dipandang biasa-biasa saja. Bahkan jauh lebih buruk menjadi patologi sosial. Rakyat dibuat seperti kelinci percobaan; baik dengan ucapnnya maupun dengan program-program kebijakan yang hanya mengakhomodir kepentingan. Kehadiran politisi yang cenderung membangun pesona diri selalu membawa isu tidak penting bersamaan dengan politik kebijakan, dan sama sekali tidak membawa aspirasi kerakyatan.
Kondisi seperti ini rakyat mesti marah pada elitnya, sebab memanfaatkan kekuasaan untuk membangun potensi dirinya. Untuk itu rakyat mesti memperkarakan pikiran-pikiran elit di tempanya masing-masing. Jika, pesona diri semata yang ditonjolkan, maka rakyat perlu memutuskan rantai agar tidak memilih lagi mereka dimasa yang akan datang. Keburukan tetap terlihat buruk walaupun dilakukan oleh orang yang baik. Begitu juga sebaliknya, kebaikan tetap menjadi baik walaupun dilakukan oleh orang yang buruk.
Aceh Serambi Madinah, 29 Mei 2024
Komentar
Posting Komentar