ADA TIRANI MAKNA PADA SETIAP KATA
Nabi telah mengajarkan pada sahabatnya bagaimana cara
berkata dan cara mengucapkan kata-kata. Cara berkata masyarakat Arab tentunya
berbeda dengan masyarakat yang ada di luar Arab, walaupun diucapkan dengan kata
dalam maknanya sama namun nilai dan rasa yang diterima dari ucapan tersebut
oleh komunikan tetaplah berbeda.
Begitu juga kata yang sering digunakan oleh masyarakat
Nusantara, walaupun kata yang sama tetap berbeda rasa pada saat diterima oleh
orang lain. Belum diketahui secara detail apakah Nabi pernah mengucapkan kata
yang mempersoalkan kepribadian kepada sahabat-sahabatnya kecuali persoalan yang
menyangkut dengan perkara penguatan iman.
Misalnya; pertanyaan di mana kamu bekerja, gajinya berapa,
sudah punya rumah dimana, hari ini sudah mendapatkan uang sebanyak apa,
kenderaannya apa, sekolahnya dimana, pangkatnya sudah naik berapa, dan lain
sebagainya. Hal-hal yang demikian tidak dipersoalkan dalam sejarah kenabian.
Ketika seseorang bertanya tentang jumlah gaji yang
diperoleh oleh seseorang maka jawabannya secara psikologis tetap mengganggu.
Jika ia menjawab gajinya dengan jumlah sedikit maka sipenanya bersifat sinis,
begitu juga jika dijawab gaji dengan jumlah besar maka sipenanya merasa kagum
dan muncul keinginan untuk berusaha mendekati orang tersebut sebab ada harapan
baik jika berteman dengan orang yang uangnya banyak. Dan sebaliknya juga
berlaku, sipunya gaji besar menyimpulkan buruk ketika sipenanya bersikap baik.
Keduanya akan bersikap buruk dan saling mencurigai.
Inilah alasan tidak perlu mengucapkan kata yang tidak
penting dan tidak beradab saat kata itu gunakan dan diucapkan. Dalam berkomunikasi
tidak semua kata harus digunakan dalam berkomunikasi di ruang publik. Nabi
telah memilih kata yang baik ketika hendak digunakan di tengah-tengah para sahabatnya.
Kata yang tidak menyinggung perasaan secara umum. Memilih kata-kata saat
diucapkan mungkin juga bagian dari sunnah Nabi yang terlupakan dalam diri kita.
Mengingat, yang namanya sunnah adalah segala yang
menyangkut dengan qaul, fi'lun, dan taqrirun. Kata masuk dalam katagori qaul
sementara cara mengucapkannya dan situasinya termasuk dalam katagori fi'lun.
Sunnah inilah yang dipraktekkan oleh orang-orang Barat, "bagi mereka kata
yang sifatnya mengandung unsur tirani pada sifat pribadi di ruang publik bukan
bagian dari adab". Maka, tidak terbiasa bagi mereka bertanya berapa jumlah
gajimu. Cukup melihat keceriaan dan kebahagiaan saja pada diri seseorang sudah
cukup menandakan bahwa seseorang itu baik-baik saja.
Kita sering berlebihan dalam berkata dan kurang dalam
berbuat untuk orang lain. Seolah-olah dengan banyak berkata sudah cukup
menunjukkan hebat tanpa perlu terlibat dalam pencapaian seseorang. Sifat
seperti ini sama seperti setan, yang banyak menjerumuskan orang-orang dengan
bisikan lembutnya tapi tidak pernah ikut terlibat dalam memperbaiki kekurangan
orang-orang. Tujuan utama setan tetap menjerumuskan banyak orang dalam dosa. Komunikasi
seperti ini harus dihindarkan sebab tidak semua orang suka dengan hal-hal
demikian. Setiap orang butuh penguatan bukan kata-kata yang tidak penting
baginya.
Lalu bagaimana dengan kritik yang diucapkan di ruang publik
kepada pemangku kuasa. Ini agak berbeda, kritik terhadap kekuasaan kata yang
digunakan sesuai dengan kondisi masalah yang sedang dihadapi. Ada istilah kata beregen
dalam bahasa Aceh; bermakna sesuatu yang terjadi dan terus berulang-ulang
seperti tanpa upaya memperbaikinya. Dan, walaupun sudah masuk fase beregen,
namun kata yang dipilih masih bersifat sarkasme. Jika kata sarkasme tidak dapat
dipahami maka terpaksa digunakan kata yang mewakili perasaan dirinya dan
perasaan publik secara keseluruhan.
Kata yang diucapkan seseorang sesuai dengan pengetahuannya, dan cara ia mengucapkan sesuai pula dengan kebiasaan dirinya dalam keluarga atau lingkungan yang mendidik secara alami karakter dirinya "inilah yang disebut dengan adab" (civilization). Kebiasaan keluarga dan lingkungan yang suka melihat kekurangan orang lain atau suka menceme'eh maka kata yang sering keluar dari mulutnya adalah ucapan-ucapan yang merendahkan orang lain. Ini prilaku buruk yang banyak ditemukan dalam masyarakat.
Seseorang yang memiliki adab selalu
mengucapkan kata yang mempunyai karakter positif dan membangkitkan ghirah yang
lebih baik untuk orang lain. Bukan menyorot kekurang dan meng-zoom sesuatu
yang bersifat aib bagi yang lain. Sehingga, nampak buruk pikiran orang-orang
padanya.
Nasehat sering tidak berguna jika diucapkan dengan kata
yang buruk, komunikasi tidak akan membangun relasi yang baik jika diucapkan dengan
nada tak beradab. Sebaik apa pun kata yang dipilih untuk diucapkan jika buruk
nada dan mimik saat menyampaikannya tetap saja tidak berguna. Begitu juga
sebaliknya, kata yang buruk walaupun diucapkan dengan nada dan irama yang
sangat indah maka tetap saja buruk ditangkap oleh jiwa penerimanya.
Kata memiliki daya pengaruh yang kuat. Kata yang baik dan kata yang buruk memiliki pengaruh yang sama dalam ingatan seseorang. Ucapan dan tindakan para Nabi diingat sebagai narasi yang baik. Begitu juga dengan kata yang ditulis atau diucapkan oleh tokoh yang buruk sepanjang sejara pergulatan intelektual, maka akan dikenang sebagai ucapan atau ideologi yang buruk. Kata-kata yang ditulis oleh kelompok ateis sampai kapanpun tetap mengandung unsur keburukan walaupun ditulis dan diucapkan dengan kata-kata yang baik.
Setiap orang mampu mengucapkan ribuan kata dalam waktu yang singkat, tetapi tidak semua mampu mencernanya, dan juga tidak semua menerima kata-kata dengan baik. Ada yang selalu mempermasalahkan kata-kata yang diterimanya, dan tidak sedikit yang melepaskan kata tanpa kaedah tutur yang benar. Sebagian bercanda dengan kata-kata, sebagian yang lain sensitif mendengarnya.
Apa pun kata yang beredar pasti berefek baik dan buruk. Maka, Islam mengajarkan pada setiap orang agar memilih yang terbaik dalam berkata atau tidak pernah mengucapkan kata sama sekali. Sementara sipahit lidah menjadi kenyataan setiap kata yang diucap, “baginya lebih baik diam dari pada berkata sebab bisa berakibat buruk bagi orang lain”.
Islam mewanti-wanti terhadap kata, sebab dengan katalah ukuran keimanan seseorang diukur “man kana yukminu billahi wal yaumil aakhir fal yaqul khairan aw liyasmut” (bagi siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik atau diam). Tuhan lebih menekankan pada hambanya untuk diam. Sebab, diamnya seseorang adalah jawaban terbaik dalam merespon kata.
Diam juga bermakna menyembunyikan kemampuan pada orang-orang dengan merendahkan dirinya serendah-rendahnya. Sebagian orang tidak dapat memaknai sifat merendah karena keangkuhan watak. Maka, seseorang yang merendahkan dirinya sering dipandang sebagai orang lemah. Bagi sesiapa yang tidak tahu makna merendahnya jiwa seseorang adalah orang yang tidak mampu memaknai sebuah kata. Diam adalah cara terbaik dalam menangkap tirani dari sebuah kata.
Pilihlah kata yang baik dan ucapkan dengan nada dan mimik yang santun. Sebab kata-kata yang diucapkan sangat tergantung level mana pendidikan yang pernah ditempuh seseorang, dan lingkungan keluarga yang mendidiknya, serta tingkat kedalaman ia memahami agamanya. Karena, setiap kata yang digunakan ada nilainya. Kata yang baik akan dinilai sebagai kebaikan, kata yang buruk juga dipahami sebagai keburukan. Hindari menggunakan kata yang tidak penting untuk memperbaiki hidup seseorang.
Tirani sebuah kata dilihat dari makna dan cara seseorang mengucapkannya. Sebab, kalo sekedar berucap burung pun jauh lebih merdu suaranya dibanding manusia. Jika kata yang diucap sekedar untuk terlihat ada suara maka anjing pun jauh lebih keras gonggongannya. Setiap pengucap akan diminta pertanggung jawaban terhadap kata di dunia dan di akhirat.
Jakarta, 4 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar