MEMINTAS KARUNIA LEWAT JALAN PIKIRAN
Karunia atau kharisma; bahasa Yunani disebut dengan kharismata dalam istilah teologi kristen merupakan anugerah spiritual yang diberikan kepada semua orang untuk menjalankan pelayanan mereka di gereja. Secara etimologi kata kharisma atau charisma, berasal dari bahasa Yunani charis, berarti pemberian yang Cuma-cuma atau anugerah.
Istilah kharisma sangat jarang ditemukan dalam bahasa Yunani yang umum. Kata kerjanya adalah charizomai yang berarti memberi atau bertindak dengan baik. Dengan demikian, secara harfiah kharisma berarti pemberian anugerah. Sementar dalam pandangan Islam karunia adalah kemurahan dan pemberian Allah kepada manusia. Karunia yang dimaksud disini adalah berkaitan dengan qadha dan takdir.
Berjalanlah di muka bumi dan cari karunia dari Tuhanmu.
Potongan makna dari ayat ini dalam Alquran terkait dengan ibadah dihari jumat,
dan perintah bersegeralah mencari karunia dari Tuhan. Karunia bukan hanya
menyangkut dengan makanan melainkan juga dalam bentuk yang lain, seperti;
keindahan alam, menyelam ilmu pengetahuan, merenung arsitektur alam yang
dirancang oleh manusia di seluruh bumi. Bentuk-bentuk karunia yang diciptakan
Tuhan dapat dinikmati dengan cara apa pun.
Karunia selalu diidentikkan dengan sesuatu yang baik. Pada
saat seseorang menimpa keburukan sering disimpulkan sebagai bentuk kemalangan.
Manusia tidak dapat menukar kemalangan menjadi karunia. Padahal, kedua
peristiwa ini dapat berpotensi ganda. Sesuatu yang dianggap karunia bisa
menjadi malang pada hakekatnya. Butuh kesadaran bagaimana menukar kemalangan
dengan karunia dan bagaimana pula memahami karunia sebagai bentuk kemalangan.
Dua hal yang menimpa manusia selalu berakibat ganda.
Dunia penuh paradoks. Satu sisi udara menghidupkan, pada
sisi lain dengan udara pula manusia mengurai dirinya menjadi jenuh dan punah/mematikan.
Paradoks juga terjadi dalam transaksi apa pun yang dilakukan manusia. Menukar
benda dengan uang berpotensi paradoks, dalam upaya mendapatkan sesuatu; benda-benda
yang dijual berganti kepemilikan, dan berganti kepentingan. Kepentingan bagi
yang menjual agar barangnya laku sementara kepentingan bagi yang membeli untuk
dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Paradoks ini bertemu dalam satu kepentingan
berbeda. Satu pihak memerlukan untuk memperoleh keuntungan dementara pihak yang
membeli memenuhi kebutuhan dirnya.
Dunia dengan segala keputusannya tidak boleh dilihat dalam
bentuk karunia dan kemalangan. Sebab, dua kesimpulan ini menggiring makna
negatif. Tuhan tidak pernah menjadikan keburukan atas apa pun yang menimpa
manusia. Semua yang tersuguhkan dalam konteks kesemestaan berimplikasi baik.
Dan ini hanya dapat dimaknai oleh orang-orang yang telah menyelesaikan banyak
tahapan berfikir. Dengan menurunkan tensi berfikir realita ke potensi hakekat,
maka setiap yang berlaku adalah dimaknai sebagai karunia.
Tahapan berfikir dalam diri seseorang tidak hanya dilihat
berdasarkan pendidikan dan ilmu pengetahuan tetapi juga dilihat berdasarkan
pengalamannya serta penelitian yang berkepanjangan. Bagaimana menggunakan
pengetahuan yang dimiliki dapat menarik pengetahuan yang lain. Tujuannya adalah
agar setiap apa yang dikaji dapat dipakai sebagai pendapat ahli di bidangnya.
Dan jangan berlaku sebaliknya, menarik segala persoalan pada ranah keilmuan
yang dikuasai untuk menyerang pikiran-pikiran yang lain.
Banyak perjalanan yang dilakukan manusia di dunia ini. Ada
yang berjalan untuk mencari nafkah, ada yang berjalan untuk mencari ilmu, ada
yang berjalan dengan perniagaannya/mencari keuntungan bisnisi, ada yang
berjalan untuk menyelesaikan tugas negaranya, dan sedikit yang berjalan untuk menikmati
keindahan alam dan kemajuan arsitektur bangsa-bangsa dalam menata ruang dan
lingkungannya. Tentunya, setiap perjalanan harus dipahami sebagai ibadah. Sehingga,
apa yang dilihat, apa yang diperoleh, dan apa yang dipelajari menambah ketaatan
kepada Tuhan. Memaknai perjalanan hakekat adalah berjalannya pikiran manusia
dalam mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran.
Perjalanan inilah yang dilakukan oleh para ilmuan-ilmuan
dari berbagai bangsa. Rihlah pengetahuan telah dilakukan oleh ulama-ulama pasca
wafatnya Nabi. Perjalanan imam Bukhari telah mengumpulkan banyak hadis yang
dapat dibaca hingga sampai hari ini. Dan juga imam-imam yang lain. Literasi
keilmuan di dunia Islam telah mencapai banyak sisi; baik pengetahuan yang
menyangkut dengan teks Islam secara langsung seperti; kalam, syariat, hukum,
dan tasawuf maupun ilmu-ilmu eksakta lainnya yang melahirkan banyak pengetahuan
modern. Langkah inilah yang terus berjalan dalam kehidupan manusia membangun
peradabannya.
Perjalanan intelektual tidak hanya sampai di situ, banyak
tokoh-tokoh yang menggarap berbagai pengetahuan yang menghasilkan pengetahuan
bagi manusia hari ini dan masa yang akan datang. Di antaranya; Ibnu Battuta
(1325), Maroko, Marco Polo (1271) Italia, Bartholomeus Diaz (1486), Portugis,
Christopher Colombus (1492), Spanyol, Vasco da Gama (1497), Portugis, Alfonso
de Albuquerque (1503), Portugis, Ferinand Magellan (1519), Spanyol.
Para penjelajah ini telah menemukan banyak hal terkait
dengan alam semesta. Dari temuan merekalah ilmu pengetahuan alam tertulis
dengan baik; menyangkut dengan ilmu bumi, laut, serta pemetaan wilayah yang
hampir seluruh kawasan dunia berpatokan pada apa yang diungkapkan oleh para
penjelajah. Benua-benua yang dulunya asing dari jangkauan manusia akhirnya
ditempati, dan menjadi penting dalam sejarah kehidupan manusia; baik dalam
penataan politik, agama, dan budaya.
Perjalanan orang-orang yang dipilih Tuhan menghasilkan
maklumat penting bagi manusia. Manusia sebagai hamba tidak diciptakan tanpa
alasan; "tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-Ku". Jalan yang ditempuh manusia adalah jalan penghambaan.
Menyembah Tuhan sebab ia seorang hamba dan mempersembahkan karya kepada dunia
sebab manusia berkembang dengan peradabannya. Isra' Mi'raj adalah perjalanan
terbaik sepanjang sejarah perjalanan manusia di bumi. Karena, perjalanan isra
menunjukkan relasi penting antara manusia dan Tuhan. Dan pada tahap berikutnya
setiap manusia bermi'raj pada Tuhannya melalui ibadah shalat.
Shalat merupakan perjalanan jiwa manusia menuju Tuhannya.
Relasi keterhubungan ini dapat dibentuk dengan cara menghadirkan diri dalam
diri, dan menghadirkan diri dalam diri objek lain. Ketika seseorang
melaksanakan shalat dirinya tidak lagi utuh sebagai pribadi hamba, sebab jiwa
sudah dihubungkan dengan Tuhannya. Di sini, dapat dilihat bahwa seseorang yang
khusyu' dengan shalatnya sebagian yang utuh (jiwa) dari dirinya telah terhubung
dengan objek yang lain. Perjalanan jiwa dalam pengertian keterhubungan hamba
dengan Tuhan tidak lagi menyadari raga, sebab keutuhan diri sudah terhubung dengan
yang Maha Utuh.
Shalat tidak hanya dipahami sebagai perjalanan jiwa, tetapi
juga perjalanan raga. Keterhubungan jiwa dengan Tuhan aktivitasnya
diterjemahkan dengan relasi manusia dengan manusia dan alam semesta.
Kesemestaan adalah relasi keterhubungan global yang terbagi-bagi dalam banyak
wilayah, yang mana wilayah-wilayah ini saling mengembangkan diri. Pengembangan
diri adalah perjalanan setiap unsur untuk jenuh dan punah. Di sinilah, unsur
paradoks harus dipahami bahwa wilayah yang menghubungkan pada satu sisi
membangun banyak hal dan pada sisi lain melenyapkan.
Berjalan adalah upaya menatap banyak wilayah di muka bumi.
Semakin jauh tempat-tempat yang didatangi maka semakin banyak yang dilihat.
Jauh dan luasnya dunia ini tidak dapat ditelusuri oleh mata indra manusia
kecuali dilihat dengan kaca mata ilmu. Sebab, pandangan mata sangatlah
terbatas. Dan daya tangkap mata pun dalam jarak yang pendek. Kemampuan daya lihat
penyerapan objek yang rendah maka dibantu dengan perangkat yang lain; yakni
pikiran. Dengan pikirannya manusia dapat melihat apa pun, bahkan dengan daya
bayang pikiran manusia mampu menghadirkan pengetahuan masa lalu untuk
menerawang pengetahuan masa depan. Walaupun pikiran juga terbatas tapi sangat
membantu manusia menemukan hal-hal baru.
Perkembangan pengetahuan manusia saat ini dapat mencapai
banyak penglihatan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia mana pun
dapat dihubungkan melalui perangkat digital. Sehingga banyak wilayah dapat
dijangkau melalui indra penglihatan tanpa harus dihubungkan dengan raga; dalam
pengertian raga harus berjalan pada wilayah-wilayah tertentu. Tetapi, berlaku
sebaliknya, di era digital malah peristiwa yang dihantarkan pada setiap orang
yang berjauhan wilayah, dan terpisah dari tempat peristiwa itu terjadi.
Namun, menyatakan dengan kehadiran juga sangat penting.
Hadir langsung mendapatkan dua hal. Pertama, kehadiran raga membuktikan
bahwa seseorang benar-benar mempersaksikan. Dan ini penting, sebab muslim
mengajarkan konsep "liyuballighusysyahid min-kumul ghaib" (hendaklah
di antara kamu mempersaksikan pada yang tidak menyaksikannya). Mempersaksikan
di sini bukan hanya tempat, tetapi juga pikiran, dalam pengertian ilmu
pengetahuan. Sebagian orang yang tidak mengetahui bahwa hendaknya yang sudah
tahu menyampaikan kembali pengetahuannya. Kedua, dapat menjalin
silaturrahim. Semakin jauh perjalanannya maka semakin banyak pula yang dapat
ditemui dan dilihat.
Perjalanan isra mi’raj adalah jalan menuju Tuhan. Sepanjang
jalan yang ditempuh Nabi; baik berjalan di bumi (isra) maupun berjalan menuju
al-muntaha (mi’raj) adalah jalan menuju Tuhan. Manusia tidak akan sampai menuju
Tuhannya jika tidak beriringan jalan dengan manusia atau makhluk-makhluk yang
ada di bumi. Dalam pengertian “bumi adalah datar menuju jalan transendental”.
Berjalan secara horizontal tidak cukup dijalankan hanya menggunakan raga semata
tanpa menggunakan jala pikiran. Maka, sebab itulah manusia mesti membangun
pikirannya melalui lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan adalah perangkat jalan di bumi untuk memahami
jalan dilangit. Manusia tidak akan mampu menempuh perjalanan langit jika jalan
yang dibangun di bumi tidak sempurna. Sempurna yang dimaksud adalah berdasarkan
petunjuk-petunjuk. Alquran telah memberi petunjuk bagi manusia untuk membangun
perangkat-perangkat di bumi. Berjalan menelusuri wilayah-wilayah di bumi butuh
jalan yang baik, terjangkau, dan terhubung dengan baik ke seluruh wilayah. Di
sini, pemerintah berperan penting membangun jalan transportasi yang
menghubungkan wilayah-wilayah.
Zaman yang telah berlalu manusia mencapai wilayah-wilayah
dengan menjelajahi laut, kemudian berkembang dengan jalan darat, lalu
ditingkatkan dengan menggunakan langit sebagai jalur tempuh dengan kecepatan
tinggi. Tiga jalan ini hanya dapat menggerakkan raga menuju ke berbagai
wilayah-wilayah. Lalu masuk era digital, manusia tidak lagi harus berjalan raga
untuk melihat perkembangan dunia; baik agama, budaya, dan prilaku-prilaku yang
membentuk karakter masyarakat suatu wilayah. Perangkat-perangkat yang digunakan
manusia hari ini telah mengantarkan peristiwa pada setiap raga.
Perjalanan dunia adalah jalan yang singkat. Mengarungi
jalan singkat ini manusia telah menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaga sangat
banyak. Kesibukan masing-masing telah membawa pikiran manusia bergerak jauh
melewati fitrahnya. Tanpa disadari oleh manusia batas ini telah melupakan
menuju jalan panjang. Perangkat-perangkat menuju jalan singkat diciptakan
sedemikian rupa; ini disebut dengan peradaban manusia. Akhirnya, peradaban
dunia tidak membangun peradaban akhirat. Betapa ruginya manusia menyibukkan
diri menempuh jalan singkat tanpa membawa dirinya menuju jalan panjang.
Berjalanlah di muka bumi sejauh mampu manusia
menjelajahinya. Tetapi, mesti memperhatikan jalan yang dilalui tidak menempuh
jalan murka bagi banyak orang. Hedonisme yang ditunjukkan oleh orang-orang yang
tersentuh dengan kekuasaan sering melukai jalan banyak orang. Menggunakan
banyak anggaran yang diserap melalui hasil olah-olahan anggaran negara hanya
untuk menjelajahi jalan dunia. Jalan yang tidak mendapatkan pengetahuan apa pun
kecuali jalan foya-foya. Sungguh merugi jalan yang ditempuh oleh sebagian orang
yang tidak mampu mengambil ibrah dari apa yang dilihat sebagai petunjuk yang
hadir.
Sementara jalan yang ditempuh oleh pikiran tidak diberi ruang kesejahteraan. Penempuh jalan ilmu tidak dikelola dengan baik; baik prosesnya, anggarannya, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan. Pendidikan sebagai perangkat jalan menempuh jalan pikiran sering dibuat rumit. Jika, orang-orang tertentu saja yang diberi ruang menempuh jalan pikiran, maka sebagian wilayah akan mengalami kemunduran jalan pikir.
Ini dapat dilihat dari perkembangan
di berbagai negara, akibat jalan pendidikan tidak terurus dengan baik maka
kebodohan suatu wilayah terbiarkan bahkan terus meningkat. Sementara dunia
membangun peradaban ilmu mencapai puncak keegoannya. Masayarkat yang tidak
mendapatkan jalan pikiran yang baik dianggap dunia tanpa peradaban dan
dibiarkan musnah dengan peradan yang lain.
Perang, pembantaian, pembunuhan, dan penghapusan etnis
terjadi akibat manusia menempuh jalan pikiran yang singkat. Inilah jalan
kehancuran bagi peradaban manusia. Islam tidak membenarkan jalan pikiran menuju
keegoan. Pengetahuan yang dimiliki manusia tidak berguna jika jalan yang
ditempuh tidak menyadarkan pikiran untuk taat kepada sang Pencipta. Jalan dunia
yang ditempuh jika tidak membawa peradaban ganda maka jalan yang ditempuh
selalu paradoks. Akhirnya, manusia tidak lagi memaknai jalan karunia.
Melalui
jalan ma’rifah manusia memahami Tuhannya, melalui jalan hakekat manusia menuju titik
absolut. Titik di mana pikiran telah berhenti bekerja. Sampai pada titik ini jalan
pikiran yang ditempuh manusia juga memiliki keterbatasan. Tiba waktunya pikiran
tidak lagi dapat dipercaya sebab ia akan musnah bersama musnahnya raga. Jalan pikiran
yang ditempuh orang-orang terdahulu jika hanya disimpan dalam pikirannya, maka
ia akan hilang bersama hilangnya raga. Literasi kehidupan jalan pikiran yang
ditinggalkan oleh pemikir zamannya menerangi pikiran zaman berikutnya.
Berjalanlah di muka bumi untuk menggelindingkan literasi
zaman. Dan janganlah tergesa-gesa dalam menjelajahi banyak hal. Sejauh apa pun
raga berjalan jika jalan pikiran tidak mampu menangkap gejala-gejala kehidupan
maka apa pun yang dilihat dengan pandangan mata tidak akan membawa jalan
pikiran menemui hakekat batas absolut diri. Raga yang bergerak tanpa berjalan
pikir maka manusia tidak akan pernah mewarisi literasi apa pun pada generasi. Penempuh
jalan pikiran telah melukis dan menginformasikan banyak hal. Baik dan buruk yang
menimpa harus dipahami sebagai karunia tanpa paradoks. Berjalanlah,
berfikirlah, dan ambillah ibrahnya, serta warisi jalan pikir untuk membangun peradaban.
Kuala Lumpur, 8 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar