MENATA TANGGUNG JAWAB TANPA MEMBEBANI
Tuhan tidak pernah menitip masalah apa pun kepada seseorang terkait dengan urusan hambanya, Tuhan cuma menyuruh bantulah sesama jika ada yang membutuhkan. Membantu orang lain juga bukan kewajiban, dalam pengertian seseorang harus mengabaikan kewajiban atas dirinya. Tuhan cuma mewajibkan atas apa yang setiap orang punya maka bantulah orang lain; seperti kepunyaan materi, pikiran, tenaga, dan waktu. Tidak semua orang memiliki materi, tidak semua orang memiliki pikiran dalam pengertian ilmu pengetahuan, dan tidak semua orang memiliki waktu. Atas kepemilikan inilah manusia dituntut untuk saling mengisi. Saling menata ruang adalah tanggung jawab tanpa membebani.
Selebihnya; Tuhan tidak memberi beban kepada manusia dalam
hal urusan orang lain, kecuali dalam bentuk tanggung jawab; baik tanggung jawab
seorang ayah pada anaknya, guru pada muridnya, pemimpin pada rakyatnya, dan
segala urusan yang diberi beban tanggung jawab atas tugas kesemestaan. Pemimpin
dalam konteks politik dan pemerintahan tentunya memiliki batas waktu memikul
tanggung jawab. Berbeda dengan pemimpin dalam konteks personal manusia sebagai
Khalifah.
Manusia sebagai Khalifah akan terus berlaku sepanjang akal
dan nuraninya masih utuh. Sebab, keberadaan manusia di bumi sebagai penjaga
dipertanggung jawabkan berdasarkan kemampuan akal yang dimiliki. Manusia tidak
dibebankan sesuatu kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan ini juga berlaku
dalam penguatan akal, tanggung jawab terhadap terlaksananya kehidupan dunia
dengan baik sangat ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki seseorang atau
sekelompok orang.
Ketetapan Tuhan atas hambanya berlaku absolut. Manusia
hanya menjalani takdir yang ditetapkan secara azali. Adapun ungkapan “pikiranmu
adalah takdirmu”, ini hanya sebatas usaha yang diberikan pada manusia.
Ternyata, tidak semua yang dipikirkan manusia dicapainya, apalagi merubah
takdirnya. Atau, pencapaian atas apa yang dipikirkan adalah takdir yang lain
berlaku atasnya, disebabkan karena usaha yang gigih dan doa-doa banyak pihak.
Perubahan ini pun juga dipahami sebagai takdir lain yang harus dijalani.
Manusia tidak diperintahkan untuk menghidupi orang lain,
tetapi ruang dunia menginginkan manusia saling membantu sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Kehidupan sudah ditetapkan atas makhluk hidup, ada pun manusia
tinggal mejalaninya saja. Semua sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hanya
satu, yang mana manusia suka mengaturnya sendiri; yakni lidahnya, suka berkata
sesuka hati atas apa yang dilihat dengan matanya, tanpa melihat dengan
pikirannya, dan tidak memasukkan rasa dengan hatinya.
Mencari makna sendiri atas atas apa yang dilihat dengan matanya awal keangkuhan yang berlaku di bumi. Polah tingkah manusia dengan keterbatasan diri suka menangkap paham pada sesuatu yang ia sendiri pada dasarnya tidak mengerti sama sekali. Keangkuhan inilah yang menyebabkan hubungan manusia tidak lagi harmonis.
Merasa dapat melakukan banyak hal,
sehingga sesuatu yang bersifat takdir pun digugatnya dengan ujung lidahnya.
Manusia sering tidak menyadari jika kemampuan yang beredar di bumi harus
dibagi-bagi dengan peran masing-masing, sehingga dengan peran tersebut
mempersempit ruang keteledoran dalam urusan apa pun. Jika masing-masing dari
manusia lebih menonjolkan kemampuannya, maka keberadaan manusia tidak dapat
mengurus dunia, dikarenakan masing-masing kemampuan yang ada saling
berkompetisi.
Templat dunia tidak dipahami sebagai ruang kontribusi
dengan kemampuan masing-masing. Kompetisi telah terjadi di ruang mana pun. Dan
tidak hanya sampai di situ, ruang ini telah memecah belah antar individu dan
kelompok. Ruang sosial yang seharusnya saling mengisi tidak lagi membawa banyak
faedah kecuali kehancuran di mana-mana. Perang kepentingan menggiring ruang
sosial sulit diatur, bahkan kehancuran manusia berawal dan berakhir atas
kepentingan-kepentingan yang diatur oleh manusia sendiri. Kepentingan satu
pihak setelah diraih menghancurkan kepentingan pihak yang lain.
Tuhan tidak membebankan sesuatu kepada manusia kecuali
sesuai dengan kemampuannya. Namun, manusia suka memilih untuk mengurus banyak
hal, walaupun ia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Dalam
perjalanannya banyak yang terbaikan dari urusan-urusan tersebut. Asas
keseimbangan hanya berlaku pada konsepnya, dan tidak berlaku dalam realitas
sosial. Letakkan sesuatu pada tempatnya bukan hanya sekedar jargon di ruang
profanitas, bahkan sudah ditekankan secara sakralitas, di mana Nabi sendiri
mengabarkan bahwa “jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka
tunggulah kehancuran”. Hadis ini terkait dengan amanat.
Banyak amanat yang dibebankan kepada manusia. Banyak amanat
yang dimaksud di sini adalah ruang ekspresi dunia yang beragam sesuai dengan
perkembangan zaman. Urusan dunia diserahkan kepada manusia bagaimana cara
menjalaninya. Perintah ini telah bersifat umum dan tanpa batas zaman. Kehidupan
manusia yang terus berkembang maka bertambah pula urusan yang harus dijalani.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlalu dari masa ke masa menuntut banyak
hal yang harus dipelajari dan banyak ahli yang harus dicetak.
Perkembangan dunia yang bergerak sangat cepat memperlambat
kemampuan manusia, satu pengetahuan belum dikuasai dengan baik pengetahuan baru
sudah muncul. Maka, jika kompetisi yang diutamakan oleh masing-masing orang,
maka mustahillah segala urusan dapat diselesaikan dengan baik. Akhirnya,
kemampuan manusia secara beragam tidak lagi menyelesaikan urusan manusia secara
kolektif. Berkompetisi dengan kemampuan masing-masing menyebabkan suatu kaum
terus mundur dengan peradabannya sendiri. Dikala musuh semakin kuat; baik kuat
ilmu pengetahuannya maupun kuat kontribusinya disaat itu pula sebagian kaum
berkompetisi dengan kemampuan masing-masing.
Aceh adalah sebuah bangsa yang memiliki hak untuk merdeka dalam konteks apapun, sebagaimana termuat dalam mukaddimah Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan “kemerdekaan adalah hak semua bangsa”, oleh sebab itulah penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan keadilan. Aceh sebagai bangsa memiliki hak untuk merdeka dalam konteks peran di ruang sosial. Tentunya, merdeka dalam urusan keduniaan.
Pertama, setiap bangsa berhak menuntut sesuai
keinginannya. Kedua, keinginan membentuk negara baru. Ketiga,
melepaskan diri dari suatu negara. Keempat, menentukan nasib sendiri.
Dalam konteks Aceh hari ini tentunya kemerdekaan yang dimaksud adalah poin
pertama dan keempat; yakni setiap bangsa berhak menuntut sesuai keinginannya
dan berhak menentukan nasib sendiri sesuai dengan kapasitas yang telah
diberikan dalam poin-poin peramdaian, dalam rangka menegakkan hak kodrat dan hak
moral dari setiap bangsa dari sebuah kemerdekaan.
Mengatur banyak hal; manusia telah terjebak dalam peran
yang tidak sesuai dengan kapasitas dan keahliannya. Dari sinilah biang
kehancuran di ruang publik secara politik terjadi. Sehingga, hak atas diri, kelompok,
dan bangsa terabaikan. Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
tujuannya satu; yakni untuk saling mengenal. Mengenal secara, suku, dan bangsa
telah diikat berdasarkan konsep politik. Sementara mengenal secara pribadi
diatur dalam konsep hak-hak individu yang harus dijaga sebagai hak asasi. Tuhan
telah memberi hak hidup pada masing-masing makhluk, dan manusia sebagai makhluk
yang berakal memperoleh kekuasaan penuh atas dirinya, dan makhluk kesemestaan.
Tugas yang diemban manusia hanya berlaku untuk diri
sendiri. Sebagai Khalifah setiap orang mempertanggung jawabkan secara
pribadi-pribadi. Setiap dari diri adalah pemimpin, dan pemimpin akan diminta
pertanggung jawabannya. Dua bentuk Khalifah; Khalifah sebagai personal telah
dinobatkan pada penciptaan Adam, ada pun Khalifah dalam konsep komunal telah dinobatkan
kepada Daud sebagai pemimpinan dalam konsep politik kenegaraan yang ditugaskan
untuk menegakkan keadilan atas manusia. Dari sini dapat memperkuat kesimpulan
bahwa manusia dalam konsep Khalifah secara personal tidak dibebankan untuk
mengurus banyak pihak. Ada pun beban secara komunal hanya dipikul oleh Khalifah
dalam peran komunal.
Jangan pernah berharap apa pun atas keberadaan manusia,
kecuali adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Relasi ini
dalam bahasa Alquran disebutkan sebagai kebaikan timbal balik. Kebaikan yang
diperoleh dari seseorang harus dibalas dengan kebaikan yang lebih baik, atau
kebaikan yang setara. Alquran hanya membatasi balasan yang setara, bukan balasan
yang lebih rendah. Sebab segala sesuatu ada hitungannya. Tuhan Maha Menghitung
atas segala sesuatu. Jika Tuhan saja Maha Menghitung, lalu bagaimana dengan
manusia. Tentunya, manusia juga menghitung atas apa yang diterima; baik dan
buruk dari seseorang.
Berharap banyak hal dari manusia menjauhkan diri dari
banyak orang. Sebab, hukum dunia berlaku timbal balik, sementara akhirat tertuju
pada satu pihak; yakni setiap orang mempertanggung jawabkan secara pribadi-pribadi
atas apa yang diterima. Dengan demikian, keberadaan manusia bukan untuk menjadi
beban satu sama lain, melainkan saling menopang. Setiap yang diterima ada
hitungannya, dan setiap yang diberi ada balasannya. Menghitung-hitung lebih
untuk diri sendiri, dan menghitung kurang untuk orang lain termasuk tindakan
yang mencelakakan. Celakah orang-orang yang menghitung lebih laba untuk dirinya
dan menghitung kurang laba untuk orang lain. Profit sharing adalah peran
keseimbangan dalam tugas kesemestaan.
Jakarta, 16 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar