Teuku Badruddin Syah: Membangun Politik Aceh Melalui Pikiran Ulama

 

Teuku H Badruddin Syah Paduka Yang Mulia Sultan Malik Samudra Pasai Zhillullah  fil Alam Aceh Darussalam,  menyatakan bahwa Tu Sop bukan hanya dikenal sebagai ulama tetapi juga pemikir; seorang pemikir yang memiliki ghirah untuk memajukan Aceh. Bagaimana memajukan Aceh; tentunya dengan melakukan sesuatu. Tanpa melakukan sesuatu maka Aceh tidak akan pernah berubah ke arah yang lebih baik. Lebih baik dari saat ini tidak mungkin diperoleh apalagi mencapai kejayaan seperti era kesultanan.

Apa pun yang dikerjakan akan sukses bila ada dua hal mutlak. Pertama, niat baik; nawaitunya seperti apa, jika niatnya sekedar mencari kekayaan maka apa pun yang dilakukan tidak ada artinya, yang dicari dari niat baik dalam melakukan sesuatu adalah asas manfaat untuk masyarakat. Kedua, tahu cara melakukannya. Niat baik tetapi tidak tahu cara melakukannya, maka niat yang baik tidak pernah berguna sama sekali; baik untuk pribadi maupun masyarakat secara keseluruhan.

Niat yang baik walaupun terlihat mulia, tetapi salah dalam melakukannya maka pelakunya bisa dituntut dan dijeblos ke penjara. Niat yang baik tetapi cara melakukannya keliru maka tidak akan berhasil apa pun yang dikerjakan meskipun niatnya mulia. Dalam membangun Aceh khususnya, maka dua hal ini harus dipahami dengan baik. Niat baik di sini semata-mata karena Allah. Dalam berniat perkara yang mudah dilakukan, yang sulit adalah tahu cara melakukannya. Masyarakat Aceh secara keseluruhan sangat banyak orang baik, tetapi sedikit yang tahu bagaimana cara melakukan perbaikan-perbaikan di ruang sosial; sedikit yang tahu pun tidak memiliki akses secara politik dan juga struktur birokrasi.

Mundurnya perpolitikan Aceh hari ini karena banyak orang baik tapi tidak memiliki kemampuan dalam berkomunikasi; dalam pengertian membangun komunikasi politik pasca perdamaian dengan pusat. Membangun apa pun tidak cukup dengan modal baik tanpa dibarengi dengan kemampuan (cara melakukannya). Dua hal tersebut wajib dimiliki oleh siapa pun di Aceh; bukan hanya untuk pemerintah, pemimpin, ulama, pengusaha, pemuda, dan juga berbagai lapisan harus memiliki dua hal tersebut; menjadi baik dan tahu cara melakukannya. Jika niat baik tidak punya, dan tidak tahu pula cara melakukannya maka apa yang diperoleh secara politik, mau dibawa ke mana arah membangun Aceh. Tentunya, Aceh Serambi Mekah harus dihidupkan dengan cara niat baik dan tahu cara melakukannya.

Di sebagian tempat nama Aceh mulai diperbincang buruk. Aceh di samping viral dengan narkoba juga terkenal sebagai penjual obat-obat terlarang. Ini preseden buruk bagi Aceh saat ini. Mengembalikan Aceh ke titahnya harus dimulai dari niat yang baik, prilaku yang baik, dan cara melakukannya juga baik. Hal yang riskan hari ini, Aceh tidak punya kemampuan dalam melobi Pemerintah Pusat, dalam pengertian komunikasi vertikal pemimpin di Aceh sangat lemah. Ditambah lagi buruknya komunikasi horizontal. 

Pasca perdamaian Helsingki, berakhirnya konflik perang dengan Pemerintah RI tidak menjadikan konflik ide di tataran bawah berhenti, bahkan konflik horizontal pasca perdamaian semakin hari semakin tumbuh antara pihak[1]pihak yang berkepentingan secara politik. Dan ini harus dicari jalan keluarnya. Berkonflik dengan musuh mudah untuk didamaikan, sementara berkonflik dengan sesama sangatlah sukar dicari jalan keluarnya. Memperbaiki hal buruk harus dimulai dari merubah prilaku.

Automatically, di pusat tidak adalagi tokoh yang membawa kepentingan untuk Aceh, sehingga Aceh saat ini seperti orang yang berjalan sendiri “sempoyongan”. Dengan hadirnya Tu Sop dan ulama-ulama yang lain dapat membawa perubahan nyata bagi Aceh; baik di dunia pendidikan maupun di dunia politik. Persoalan agama tidak menjadi masalah bagi Aceh hari ini, yang menjadi soal adalah persoalan moral publik, terutama sekali elitnya. 

Suksesnya pendidikan di Aceh juga berpengaruh dengan kesuksesan politik. Tentunya politik yang bermartabat melahirkan tokoh yang tidak hanya mengerti persoalan negara tetapi juga memiliki moralitas yang baik. Tokoh yang memiliki dedikasi tinggi mesti dikader dari Aceh, sehingga Aceh tidak seperti katak dalam terpurung, giliran di Aceh garang seperti singa namun lemah saat berhadapan dengan Pemerintah Pusat dalam perkara lobi anggaran dan lobi politik pasca perdamaian Helsingki.

Pendidikan di Aceh harus berjalan dua arah; ilmu agamanya tinggi ilmu dunianya memadai. Sehingga, tidak hanya lahir sebagai ahli agama tetapi juga mampu memahami ilmu-ilmu yang dibutuhkan dunia hari ini. Lulusan pendidikan agama dengan jumlah ribuan orang tidak mampu diserap oleh satu Departemen Agama. Mencetak generasi hanya tahu bagaimana memulai niat yang baik tanpa tahu cara melakukannya, sama dengan mengkader orang baik tetapi tidak memiliki kemampuan kerja dalam lintas bidang keduniaan. 

Akhirnya, orang baik hanya bisa berkata baik tidak mampu berbuat baik. Lebih-lebih terkait dengan pemerintahan, orang baik tidak mendapat akses. Akhirnya, pemerintahan diurus oleh sekelompok orang yang tidak memiliki niat baik ditambah lagi dengan kinerja buruk. Realitas seperti ini adalah fakta terjadi di dunia pemerintahan. Sementara, sebagian yang memiliki akses dengan niat yang baik tetapi tidak tahu cara melakukannya.

Politik tanpa moral, maka wilayah kekuasaan akan terlihat seperti kandang binatang buas; yang muncul adalah kompetisi tanpa batas, bahkan nyawa pun tidak ada harganya. Dan ini dalam dekade terakhir sudah berlaku di Aceh, memandang politik adalah segalanya hingga nilai-nilai kemanusiaan hilang. Ini terjadi sebab politik tanpa moral diperankan oleh orang-orang yang tidak memiliki niat baik dan tidak tahu pula bagaimana cara memerankan politik yang baik.

Peran politik hanya mengandalkan pengusaha maka yang berjalan adalah profit politik bukan sharing politik moral, sebab pengusaha tidak dapat dipisahkan dari peran transaksi, yang dikejar hanyalah laba dari modal yang telah dikucurkan. Transaksi politik moral tentunya berbanding terbalik dengan politik transaksional. Dan transaksional kelompok pengusaha tidak sepenuhnya dapat disalahkan, sebab peran pengusaha adalah bagaimana mencari keuntungan dari bisnis yang dilakukan dalam bentuk apa pun. Namun, jika bisnis dibarengi dengan moralitas maka akan jauh lebih baik. Di sini, peran ulama yang mana sumber moralnya berasal dari Alquran dan hadis, maka akan lebih terjaga prilakunya. Dari sinilah, niat yang baik dan tahu cara melakukannya peran ulama di ruang publik akan membangkitkan harapan perbaikan untuk Aceh ke depan.

Kemajuan dan kemakmuran yang pernah diraih Aceh di era kesultanan sebab sistem pemerintahan ditopang oleh empat tiang. Pertama, sultan, penguasa, atau pejabat tinggi yang menjalankan pemerintahan bersama mentri-mentri kerajaan yang berfungsi sebagai eksekutif. Kedua, ulama menduduki posisi penting sebagai Qadhi Malikul ‘Adil, keberadaan ulama memberi nasehat-nasehat kepada raja, bahkan ulama bisa membatalkan keputusan raja apabila bertentangan dengan syariat Islam. Ketiga, pembuatan undang-undang atau pihak yang melahirkan qanun[1]qanun. Keempat, adalah resam; yakni pihak pengelola adat dan budaya serta kebiasaan yang berlaku di wilayah kekuasaan kerajaan. Empat peran serangkai ini jika tidak difungsikan dengan baik untuk Aceh hari ini maka peran apa pun tidak akan berjalan maksimal, lebih-lebih lagi peran pemerintahan dalam mengisi ruang publik.

Era kemerdekaan Republik Indonesia Aceh memasuki era kegelapan, setelah lama hidup dalam kungkungan penjajah disambut dengan era konflik integrasi antara Pemerintah Pusat dengan Darul Islam Aceh. Dan pada tahap berikutnya Aceh masuk fase konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Dua peristiwa ini telah membawa Aceh mundur jauh ke belakang. Struktur sosial masyarakat Aceh hancur, pendidikan terpuruk, hukum tidak berjalan, adat dan resam tak tahu kiblatnya, dan sampai pada titik terendah yakni Aceh masuk fase kemiskinan dan kebodohan.

Apakah fase ini yang harus diulang kembali dan ditampilkan ke ruang publik secara fulgar pasca perdamaian Helsingki. Tentunya, fase kegelapan harus dikubur dalam[1]dalam; baik dalam ingatan masyarakat Aceh juga dalam tindakan elit-elitnya. Ironisnya; masyarakat Aceh diajak menguburkan permusuhan serta menanam luka konflik sedalam-dalamnya dengan Pemerintah Pusat, sementara elitnya menampakkan prilaku buruk di tengah-tengah umat terutama sekali dalam mengelola pemerintahan.

Inilah yang terjadi dikala ulama tidak diberi peran penting dalam menata moral publik. Ulama telah berhasil mendidik akhlak di lembaga pendidikan, tetapi seperti gagal mendidik moral publik di ruang politik. Maka, hadirnya ulama di ruang politik mendapati dua hal; ulama mengajarkan moral dimulai dengan niat yang baik, dan ulama juga mengajarkan bagaimana cara melakukannya. Dengan demikian, membangkitkan semangat kemajuan melalu peran empat tiang era kesultanan sangatlah penting dilakukan untuk Aceh hari ini. Maka, dalam hal ini pikiran[1]pikiran ulama sangat dibutuhkan.

Kehadiran Tu Sop di ruang publik dalam menata pikiran-pikiran politik masyarakat Aceh harus disambut positif. Sebab, ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu agama sangat banyak, tetapi yang berbicara pikiran[1]pikiran politik sangat sedikit bahkan tidak ada, apalagi ulama yang terlibat langsung ikut terjun dalam kontestasi politik praktis. Kehadiran Tu Sop bersama ulama lainnya adalah salah satu jalan mengembalikan sistem politik Aceh dengan nilai-nilai politik masa lalu. Empat tiang politik era kesultanan yang mana peran ulama sangat menentukan dalam mengintervensi kebijakan sultan, dan menata ruang publik seperti bergairah kembali ketika ulama mulai terjun dalam politik praktis.

Fungsi ulama harus dijadikan central dalam segala peran. Artinya, secara konseptual ada sebuah lembaga yang memiliki kekuatan penuh bagi ulama dalam rangka melahirkan aturan-aturan yang merancang ke mana Aceh dibawa ke depannya. Pikiran ulama sebagai kompas politik pembangunan benar-benar memengaruhi kebijakan politik Aceh. Lalu secara prakteknya, pikiran ulama menjadi dasar atau patron sistem kerja birokrasi pemerintahan di segala lini. Jika ini berjalan maka korupsi pada level atas tidak akan terjadi, jika level atas sudah terbebas dari kebijakan yang buruk maka pada level berikutnya akan baik dengan sendirinya.

Pemikiran-pemikiran Tu Sop yang dipaparkan dalam buku yang ditulis Dr. Mukhtar, S.Fil.I., MA, diharapkan mampu merubah persepsi masyarakat Aceh terkait dengan politik, birokrasi, dan pemerintahan. Substantifnya adalah eksistensi pemikiran politik ulama diranah publik seyogyanya diterima dengan tangan terbuka, karena ulama hadir mengawal moral umat. Dari itulah, pemikiran-pemikiran ulama Aceh perlu dihidupkan kembali dalam narasi politik kontemporer serta memerlukan dukungan pemerintah baik secara moril maupun materil. Membuka ruang literasi (center epistimologis) bagi intelektual Aceh yang tidak hanya memaparkan perkara ibadah seperti shalat, puasa, haji, zakat tetapi juga perlu menyalakan literasi pemikiran politik ulama Aceh klasik dalam konteks gagasan prospektif. Untuk lebih lengkap pemaparannya membaca buku ini sangatlah penting dalam mengahadapi politik demokrasi yang sedang berjalan di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Jakarta, 23 November 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA