Dedikasi Politik Mesti Dimulai dari Rakyat
Sampai pada akhirnya prestasi apapun tidak akan berguna kecuali mengukir dedikasi yang baik. Politik hanya sebuah cara untuk mencapai tujuan. Dan pemilu adalah jalan menuju realisasi politik melalui parlemen. Untuk itu perlu diperhatikan agar mengantarkan orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi agar kelanjutan dari ekspresi politik dapat mengantarkan kesejahteraan untuk umat manusia. Menentukan pilihan politik tanpa dedikasi merupakan prilaku yang tidak bertanggung jawab.
Kebanyakan orang keliru memaknai politik, dikarenakan ilmu
terkait politik termasuk ilmu yang rumit dengan sejarah panjang dan metode
memahami yang selalu dilihat berdasarkan perspektif zamannya. Ilmu ini termasuk
dalam ilmu tertua sepanjang manusia mengatur hidupnya. Mungkin secara sistematis
ilmu politik mulai dibangun dikala sejarah pergulatan manusia terkait dengan
kekuasaan mulai dicari metode, teori, dan kajian-kajian terkait dengannya yang
menyangkut ilmu-ilmu sosial.
Masyarakat Aceh adalah makhluk politik yang tidak memiliki
kekuatan sebagai pelaku politik utama, dalam pengertian kekuasaan penuh
mengatur wilayahnya. Pasca perang melawan Belanda, dan bergabungnya Aceh dengan
Indonesia derivasi politik Aceh berlaku sentralistik dengan Pemerintah Republik
Indonesia. Aceh adalah sebuah bangsa yang melewati masa pelik, kondisi ini
seharusnya menjadikan masyarakat Aceh adalah bangsa yang dewasa dalam proses
politik.
Pasca perang Belanda, mengahadapi masa konflik di awal
kemerdekaan Indonesia, berlanjut dengan konflik pemberontakan. Pemberontakan ini
tidak serta merta hadir, melainkan adanya respons sentralistik yang dimainkan
pemerintah Orde Baru, dikala Aceh sebagai daerah penghasil Gas terbesar harus
pasrah dengan arogansi sistem pengelolaan pemerintahan dimasa Orde Baru
terhadap hasil bumi Aceh. Bukan hanya itu, sentralistik juga berimbas pada
pengekangan ekspresi dialektika politik masyarakat Aceh yang diputus hubungkan
dengan sejarahnya di masa lalu.
Pemilu seharusnya dipahami ekspresi politik dua pihak;
yakni masyarakat yang memilih dan calon legislatif atau eksekutif yang
mencalonkan diri, di sini juga termasuk partai politik. Kedua kelompok ini
harus membangun dedikasi politik yang kuat. Rakyat harus cerdas melihat calon
yang hadir, sebagai calon juga harus tahu kapasitas dirinya. Dan partai politik
sebagai instrumen utama mesti memperhatikan dengan baik orang-orang yang
dicalonkan. Partai politik tidak boleh seperti pabrik yang menyajikan makanan
instan, partai politik adalah pabrik kekuasaan. Dalam pengertian, melalui
partai politik pelaku kekuasaan akan dijalankan. Maka, partai politik harus
menjadi institusi yang melahirkan orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi.
Sejarah panjang yang telah dilalui oleh masyarakat Aceh
seharusnya memperkuat pikirannya tentang politik. Bahwa melalui jalur politik
kehidupan diatur. Hampir seluruh peran yang dilakoni manusia dipengaruhi oleh
politik. Kehadiran Nabi Muhammad harus dipahami, selain Nabi utusan Tuhan juga
sebagai inspirasi politik. Sebab, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sarat
dengan politik dalam pengertian mengatur kehidupan manusia yang harmonis; baik
di dunia maupun di akhirat. Jauh sebelum masyarakat Nusantara mengenal spirit politik
yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Aceh dalam sejarahnya adalah wilayah pertama mendirikan
negara di mana ketatanegaraannya dijalankan berdasarkan hukum Islam.
Artinya, sistem politik Islam telah terpatri dalam diri
masyarakat Aceh. Sistem ini tentu bersifat temporal pada sebuah bangsa, namun
spirit keislaman tidak harus hilang dari pikiran masyarakatnya. Apalagi Aceh
dengan penerapan syariat Islam seharusnya menjadi barometer utama dalam
menjalankan politik di era demokrasi dewasa ini. Demokrasi adalah kenyataan
yang dihadapi oleh umat hari ini, pemilu adalah jalan yang telah disepakati
bersama, bahwa setiap lima tahun sekali wakil di parlemen harus di re-schedul
ulang; baik orang yang dhadirkan maupun pikiran politiknya.
Hari ini, masyarakat Aceh khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya sedang mengahadapi pemilihan umum atau pemilu
legislatif. Pemilu ini harus dipahami sebagai reformasi pemerintahan ke arah
yang jauh lebih baik. Tentunya, reformasi ini harus dimulai dari dua pihak;
rakyat sebagai pemilih dan partai politik sebagai instrumennya. Partai politik
telah mengirim putra-putri terbaik bertarung untuk mendapatkan suara ambang
batas yang ditentukan oleh lembaga penyelenggara pemilu.
Calon terbaik versi partai politik tentu berbeda dengan
calon terbaik yang dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan. Sebab, politik
yang berlaku hari ini adalah politik rentan moral, di mana orang-orang yang
hadir pada kontestasi politik tidak sepenuhnya memiliki dedikasi yang di masyarakat.
Dedikasi ini dapat dilihat dari potensi akademis kontestan. Mengingat syarat
untuk menjadi politisi di negeri ini cukup terdaftar sebagai kader partai, dan
partai tidak menyeleksi anggotanya berdasarkan dedikasi akademis.
Ini tentu dikarenakan beberapa hal. Pertama,
semangat masyarakat kademis untuk menjadi politisi sangat rendah. Kedua,
bicara politik adalah bicara pengaruh. Ketiga, usaha untuk berperan
aktif butuh dan tenaga eksrtra. Keempat, kemungkinan terpilih sangat
rendah. Kelima, kontestasi politik sangat tinggi; baik dengan lawan
politik maupun sesama kader parta politik. Keenam, tidak mudah untuk
menjadi kader politik, kader politik harus memiliki mental yang kuat. Ketujuh,
kos politik sangat tinggi.
Kos politik menjadi perkara yang rumit dalam dunia politik
Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Padahal jika ditelusuri dengan baik,
maka akan ditemukan titik utama dari politik itu sendiri, bahwa kehadiran
orang-orang yang terlibat dalam proses politik; baik legislatif maupun
eksekutif sebagai penyambung aspirasi masyarakat menyangkut dengan
kesejahteraan hidup. Tetapi, yang berlaku di lapangan ternyata masyarakat
menentukan harga kepada pihak yang hendak menyampaikan serta mengakomodir
aspirasinya di parlemen. Politik uang telah meracuni pikiran publik, di mana
transaksi atas nasib rakyat harus dibayar dengan harga yang sangat murah.
Akhirnya, kontestasi politik tidak lagi murni sebagai ajang
penyaluran aspirasi, melainkan menjadi bisnis politik yang tidak menguntungkan
bagi negara ini; yakni kesejahteraan umat. Orang-orang yang mencalonkan diri tidak
lagi memahami bahwa pemilu sebagai jembatan reformasi politik, melainkan lapangan
bisnis dalam memperebutkan suara di lapak politik. Jika dikalkulasikan akan
didapatkan jumlah uang yang beredar sangat banyak disaat proses politik
berlangsung, dan peredaran uang seperti ini sama sekali tidak bermanfaat dalam
membangun kehidupan umat yang lebih baik.
Logika yang sederhana, jika seseorang banyak mengeluarkan
modalnya dalam meraih suara saat pemilu ketika ia terpilih tujuan utamanya
adalah bagaimana modal politik segera dikembalikan. Ini sangat lumrah dalam
dunia usaha, dan cara berdagang seperti ini dibenarkan dalam sistem perdagangan;
baik dalam aturan negara maupun agama. Tetapi, hukum dagang jika diterapkan
dalam dunia politik maka ini sangatlah keliru, bahkan cara seperti itu termasuk
menghidupkan sogok menyogok. Bukankah sogok menyogok dalam Islam dilarang. Dengan
sangat jelas disebutkan bahwa yang menyogok dan yang disogok sama-sama masuk
neraka. Rakyat yang memilih dengan menerima sogok saat pemilu sama dengan menjual
suara dengan harga yang murah.
وَاٰمِنُوْا
بِمَآ اَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُوْنُوْٓا اَوَّلَ
كَافِرٍۢ بِهٖ ۖ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۖوَّاِيَّايَ
فَاتَّقُوْنِ
Dan berimanlah kamu kepada apa (Alquran) yang telah Aku
turunkan yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada kamu, dan janganlah kamu
menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku
dengan harga murah, dan bertakwalah hanya kepada-Ku. Q. S. Al-Baqarah/002: 41.
Alquran melarang memperjual-belikan ayat-ayat Tuhan dengan
harga yang murah. Bicara politik adalah bicara kekuasaan, bicara kekuasaan
adalah bicara amanah, maka dengan demikian “amanah” dalam politik adalah ayat
Tuhan dalam konteks al-insaniyah yang berkembang di ruang sosial. Menjual amanah politik dengan harga tertentu
(money politic) sama dengan menjual ayat-ayat Tuhan dangan harga yang
murah. Maka, tindakan menjual ayat Tuhan adalah perbuatan yang rendah dan hina.
Dan praktik money politic sudah saatnya dihilangkan, sebab itu semua
merugikan rakyat secara politik, dan prilaku tersebut menjauhkan pelakunya dari
ajaran Islam.
Hadis tentang sogok-menyogok sangat populer di kalangan
masyarakat, tetapi sering diabaikan. Apakah diabaikan karena banyak yang tidak
tahu atau salah dalam memahami konteksnya. Sogok adalah pemberian sesuatu sebab
ingin mendapatkan sesuatu. Pengertian demikian bersifat umum, layaknya sebuah
pengertian dalam memahami sesuatu. Tetapi, jangan dilihat umumnya sebuah
pengertian kata, lihatlah prosesnya. Ketika proses politik ingin mendapatkan
suara dengan cara membelinya maka ini dipahami sebagai aktifitas sogok-menyogok.
Begitu juga sebaliknya, jika uang tidak diberi maka rakyat sebagai pemilih
tidak akan memberikan suaranya pada calon tertentu.
Informasi seperti ini tidak akan berpengaruh bagi
masyarakat politik dan pelaku politik itu sendiri jika cara memahami
sogok-menyogok tidak dilandasi berdasarkan pemahaman dan tingkat keshalehan
seseorang terhadap ajaran agamanya. Teks hadis yang sering disampaikan; baik
oleh ulama, guru, da’i, dan lainya hampir tidak ada yang tidak menghafalnya “ar-rasyi
wal murtasyi finnar” (yang menyogok dan yang menerima sogok sama-sama masuk
neraka).
Sekilas terlihat bahwa teks hadis ini tidak menyertakan
kata dosa, tetapi yang dimunculkan bahkan kata neraka. Artinya, aktifitas sogok
menyogok bukan hanya dipahami sebagai dosa bagi pelakunya, bahkan melebihi dari
itu; yakni pelaku sogok-menyogok tempatnya neraka. Tidak perlu harus menunggu
neraka di akhirat, setelah pemilu selesai legislatif terpilih dan dilantik maka
akan didapatkan neraka bagi dua pihak; rakyat yang memilih tidak mendapatka
wakil yang baik, dan yang terpilih tidak mendapatkan keberkahan dalam
menjalankan fungsinya. Neraka yang dimaksud di dunia adalah bobroknya tatanan
politik yang disuguhkan.
Perkara ini harus ternasehati dengan baik pada dua pihak;
pihak rakyat maupun calon legislatif dan eksekutif. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses politik harus meningkatkan kesadarannya dalam memahami politik,
bahwa politik adalah jalan membangun keejahteraan bersama, bukan membangun kesejahteraan
kelompok. Karena, politik bukanlah layaknya sebuah usaha yang dijalankan
seseorang yang memperoleh laba sepihak. Di dunia usaha ini berlaku bahwa modal
yang dikeluarkan seseorang untuk memperoleh laba secara pribadi.
Berbeda dengan politik, kekuasaan adalah usaha kolektif
untuk mencapai tujuan bersama. Jika orang-orang yang dihantarkan ke parlemen
merasa suaranya telah dibeli maka selanjutnya ia akan berfikir membangun
kesejahteraan pribadi dan kelompok. Dan inilah yang sepertinya berlaku dalam
kehidupan politik kekuasaan saat ini. Lalu di mana proses politik dengan tujuan
reformasi sistem pemerintahan ke arah yang jauh lebih baik akan diperoleh efeknya
bagi kesejahteraan masyarakat.
Bicara kekuasaan dalam Islam jauh lebih rumit, sebab
kekuasaan bukan hanya berbicara satu pihak berhasil menguasai pihak lain; yakni
rakyat. Bicara kekuasaan dalam Islam bukan hanya tanggung jawab melainkan juga
amanah. Tanggung jawab dan amanah politik tentunya diselesaikan dengan
cara-cara politik. Dengan demikian, politik yang dijalankan harus didasari
dengan rasa tanggung jawab dan amanah dua pihak; pihak rakyat sebagai pemegang
otoritas suara dan pihak calon legislatif yang berharap suara rakyat untuk mendapatkan
kekuasaan.
Aceh sebagai bangsa dan wilayah yang menerapkan syariat
Islam, semua pihak harus memberikan edukasi politik yang baik; calon legislatif
dan eksekutif mesti hadir sebagai pelaku utama dalam mendidik prilaku politik
masyarakat, dan masyarakat Aceh yang menjunjung tinggi syariat Islam mesti
memiliki dedikasi yang baik pula sebagai pemilik utama otoritas suara. Melalui proses
politiklah (pemilu) nasib rakyat ditentukan, maka dengan itu politik bersih
tanpa sogok menyogok harus dimulai dari rakyat sebagai pemilik kuasa.
Dedikasi politik sangat ditentukan dari pemahaman dan
kesadaran masyarakat terhadap politik itu sendiri. Di sini, peran penyelenggara
pemilu; Komisi Pemilihan Umum, Panwashlih, dan lain sebagainya harus benar-benar
turun dan memberi edukasi politik yang baik pada masyarakat. Dan tentunya yang
lebih utama adalah aturan pelaksanaan pemilu benar-benar diterapkan dengan
baik. Jika tidak, maka pada lembaga mana lagi proses politik tanpa kecurangan dapat
diharapkan berjalan dengan baik. Semoga proses politik tahun 2024 berjalan sebagaimana
diharapkan bersama, dan mengantarkan orang-orang yang jauh lebih baik di
parlemen.
Jakarta, 10 Desember 2023.
Komentar
Posting Komentar