IBU: JANGAN PERNAH MENGUTUK ANAKMU
Seburuk apa pun sikap dan perangai anak terhadap seorang ibu jangan pernah mendoakan buruk atasnya, apalagi mengutuk anak sehingga menjadi anak durhaka di dunia dan akhirat. Lapangkanlah hatimu wahai ibu, berikan ruang maaf di hati mu ibu melabihi kesalahan yang dilakukan oleh anakmu. Mengutuk anak bukanlah solusi, mendoakan buruk terhadap anak bukanlah sifat yang baik. Setan akan tertawa lebar jika anak durhaka pada orang tuanya, dan setan pun bergembira jika ibu mengutuk anaknya hanya karena kekecewaan yang didapat dari sikap dan prilaku anaknya yang buruk. Baik jadi pujian dan buruk jadi hinaan adalah rumus dunia. Tetapi, antara yang baik dan buruk adalah ujian.
Perjalanan hidup yang terus berlanjut dari generasi ke
generasi tidak pernah jauh dari cerminan generasi sebelumnya. Seorang anak yang
lahir ibarat buah jatuh dari pohonnya. Artinya, bagaimana orang tuanya maka
begitulah anaknya. Dalam agama posisi orang tua lebih utama dibandingkan anak. Ini
telah masyur dibicarkan dalam banyak momen. Tetapi, perlu diingat bahwa
tanggung jawab orang tua jauh lebih besar dibandingkan tanggung jawab anak
kepada orang tuanya. Karena, begitu besarnya tanggung jawab orang tua pada anaknya
maka Tuhan mengajarkan kepada anak agar membaca doa ampunan kepada orang
tuanya. Allah berfirman “Qulirham-huma kama rabbayani shaghiira (Katakanlah;
kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka mengasihaniku sejak kecil).
Anak sebagai cerminan dari orang tuanya berlaku pada dua hal;
baik biologis maupun psikologis/sifat. Pertama, secara biologis fisik
anak akan mirip dengan orang tuanya; baik postur tubuh, wajah, serta lainnya. Kedua,
secara psikologis; anak juga berpotensi mengikuti perangai atau sifat orang
tuanya. Bagaimana sifat orang tuanya maka begitulah sifat anaknya. Dan ini juga
berlaku bagaimana seseorang memperlakukan orang tuanya maka ia akan
diperlakukan sama oleh anaknya. Hukum alam sebagai cerminan diri ini tidak
dapat dihindari oleh manusia sepanjang sejarah hidupnya.
Keutamaan keduanya; antara ayah dan ibu tidak dapat dibandingkan, walaupun pada satu sisi agama lebih mengutamakan ibu tetapi peran ayah sangat menentukan, sehingga nasab dikembalikan kepada ayah. Nasab yang dikembalikan kepada ayah dalam konteks biologis bukan konteks psikologis. Maka, perlu diketahui bahwa sifat bagi seorang anak terwarisi dari seorang ibu. Maka, dari peristiwa bahwa Nabi Muhammad hanya tersisa anak perempuan; yakni Sayyidah Fathimah mengindikasikan bahwa sifat lebih dominan turun dari ibu, bukan dari ayah. Dan ini sesuai dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw tidak lain dan tak bukan untuk memperbaiki akhlak. Maka, seorang ibu bertanggung jawab atas akhlak/prilaku dan sifat anaknya. Nasab berasal dari ayah, sementara nasib sangat ditentukan dari doanya ibu.
Ibu adalah makhluk yang memiliki perasaan yang lembut/kasih
sayang. Dan ini sesuai dengan bentuk fisik yang diciptakan Tuhan yang lemah
gemulai. Dan pada diri seorang ibu diciptakannya perangkat kasih sayang yakni; “rahim”.
Di dalam rahim inilah anak dibentuk fisiknya dan ditempa sifatnya oleh ibu. Tidak
semua perempuan diberikan rahim yang baik. Bersyukurlah bagi seorang ibu yang
diberikan rahim yang sempurna sehingga ia melahirkan generasi. Bagi yang tidak
diberi keturunan tidak perlu bersedih, sebab mendapatkan pasangan hidup/menikah
merupakan anugerah, sementara anak/keturunan adalah bonus; yang namanya bonus
boleh ada dan boleh tidak.
Dari alam rahim inilah proses pendidikan pada anak dimulai “tarbiyatul
ula qablal wiladah”. Artinya, pendidikan pertama sebelum anak itu lahir. Lalu,
setelah anak itu lahir dimulainya pendidikan kedua “tarbiyatul ula ba’dal
wiladah”. Artinya, pendidikan pertama setelah anak lahir. Peran seorang ayah sangat
menentukan di sini, ayah sebagai pihak yang menafkahi perlu memperhatikan
makanan/nutrisi yang baik pada anaknya. Baik di sini dalam dua hal; baik
makanannya dan halal cara mendapatkannya. Karena, makanan yang diberikan pada ibu,
dan apa yang dimakan oleh ibu akan memengaruhi bentuk biologis dan psikis anak
yang sedang dibentuk di alam rahim. Sehingga, banyak nasehat yang diberikan
pada seorang ayah jika istrinya sedang mengandung anaknya agar memperhatikan
banyak hal, dari nasehat nafkah sampai cara bertutur dan bersikap.
Cara bersikap ini tidaklah dapat dibuat-buat, ini adalah
bawaan dari hidup seseorang. Jika sejak kecil seseorang sudah dididik dengan
baik maka sepanjang hidupnya ia akan berlaku baik dalam banyak hal. Begitu juga
sebaliknya, jika seseorang tidak dididik dengan baik maka sepanjang hidupnya
akan tidak baik. Dan inilah cerminan yang tidak dapat ditukar alurnya. Dari sini
dapat dilihat bahwa seseorang yang bersikap baik akan melahirkan generasi yang
baik pula. Karena, cermin yang rusak tidak akan memantulkan bayangan yang
indah. Jika ayah ibarat cermin kecil maka ibu adalah cerminan yang besar.
Dikarenakan ibu adalah cerminan besar maka menjadi ibu tidak boleh mudah baper dengan sikap dan prilaku anaknya. Ibu harus menjadi wahana yang luas untuk menampung kenakalan anaknya. Walaupun prilaku anak telah melewati batas baik namun sebagai ibu harus memberi ruang yang lebih luas dalam menyikapi buruknya perangai anak. Rahim yang mana pada dasarnya adalah Rahman bermakna kasih sayang yang disuguhkan berbatas hanya di dunia, maka siapa pun dan apa pun agamanya akan memperolehnya.
Mengingat pengertian Rahim adalah
kasih sayang tanpa batas maka seorang ibu harus memberikan kasih-kasing pada
anaknya dari dunia sampai akhirat. Maka, seorang ibu tidak dibenarkan menjerumuskan
anaknya pada hal-hal yang buruk, apalagi mengutuknya di dunia dan akhirat. Sehingga
anak itu durhaka di dunia dan mendapat siksa di akhirat. Di dunia anaknya
mendapat kesusahan di akhirat masuk neraka. Lalu, jika hanya untuk menerima
kutukan dari seorang ibu untuk apa anak itu dilahirkan ke dunia dengan susah payah.
Seorang anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke
dunia, dan tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari seorang ibu mana pun. Lahirnya
anak ke dunia melalui ibunya adalah peristiwa given yang dialami secara
otomatis sebagai takdir Tuhan atas setiap anak manusia. Takdir ini harus
dipahami sebagai amanah oleh orang tua. Karena anak adalah amanah, maka amanah
tersebut akan diminta pertanggung jawaban di akhirat. Alih-alih mempertanggung
jawabkan amanah malah anak sebagai amanah dikutuk menjadi anak durhaka. Akhirnya,
atas kutukan tersebut keduanya mendapat imbas buruk; orang tua yang diminta untuk
mempertanggung jawabkan amanah dan anak menjadi durhaka. Jika, keduanya disidang
di akhirat lalu pihak mana yang harus dibenarkan. Orang tua/ibu yang tidak
menjaga amanah atau anak yang dikutuk sehingga menjadi anak durhaka oleh karena
sempitnya cara berfikir seorang ibu.
Hidup ini adalah ujian, maka manusia akan diuji pada dua
hal; diuji dengan kebahagiaan dan diuji dengan mendapatkan keburukan/malapetaka.
Semarah apa pun seorang ibu jangan pernah mengutuk anakmu dengan perkataan yang
buruk. Jadi ibu jangan cepat baperan dengan anak sendiri. Anak adalah aset
terbaik di dunia dan di akhirat. Keberadaan anak bisa mendapatkan dua hal;
menyenangkan/kebahagiaan dan juga malapetaka/keburukan bagi orang tua. Keduanya
harus dipahami sebagai ujian. Jika anak itu baik maka mendatangi kebahagiaan
bagi orang tua, dan jika anak itu buruk perangai dan sikapnya maka mendatangkan
malapetaka/keburukan. Kebahagiaan dan malapetaka disebabkan dari cara orang tua
mendidiknya.
Dilihat dari dua sisi tersebut; mendatangkan kebahagian dan
malapetaka/keburukan bagi orang tua; dua-duanya sama saja. Walaupun keberadaan
anak mengecewakan orang tua tetap saja anak itu aset berharga bagi keduanya.
Bahagia dan malapetaka yang dialami orang tua dari prilaku anaknya pada
dasarnya adalah ujian. Terkadang orang tua hanya bertahan saat diuji dengan kebahagiaan
atas kehadiran anaknya, dan tidak menerima diuji dengan keberadaan anak yang
mendatangkan malapetaka. Akhirnya, saat anak tidak membawa kebahagiaan dalam
peristiwa apa pun pada orang tua lalu anak itu dikutuk. Saat seorang ibu
mengutuk anaknya maka celakalah anak itu di dunia dan akhirat. Jika sudah
celaka maka aset terbaik orang tua serta merta hilang.
Peristiwa kutukan ibu pada anaknya telah diceritakan dalam
kisah Malinkundang. Cerita Malinkundang dapat diambil dua pelajaran. Pertama,
jadi anak jangan bersikap buruk pada siapa pun, lebih-lebih lagi pada orang tua/ibu.
Kedua, jadi ibu jangan baperan, sedikit-dikit marah lalu anaknya
dikutuk. Ingat, kutukan ibu adalah kutukan Tuhan. Artinya, ibu mendapat
negosiasi yang baik dengan Tuhan terhadap anaknya; baik untuk kebaikan maupun
untuk kebururkan. Berhasil dan tidaknya seorang anak sangat ditentukan dari
upaya ayah dan ibu mendidik dan mendoakannya. Dalam hal ini, hati ibu harus
lapang dan luas, melebihi luasnya dunia ini agar anak mendapatkan ruang
ekspresi yang baik.
Ibu Malinkundang telah tergesa-gesa mengutuk anaknya hanya
karena persoalan Malinkundang belum mengaku bahwa itu adalah ibunya. Padahal,
jika dilihat dari kejadiannya, sang anak belum memastikan dengan baik apakah
benar itu ibunya, sebab posisinya masih jauh dari pinggir pantai lalu ia
mendengar ada wanita tua mengaku-ngaku ibu dari Malinkundang yang sudah lama
berpisah dengannya. Melihat sambutan Malinkundang dingin terhadap ibunya maka
ibunya pun mengutuk Malinkundang, akhirnya jadi batu. Tamatlah cerita
Malinkundang terkutuk oleh karena ibu yang memiliki hati yang sempit pada anak
yang telah ditakdir Tuhan lahir dari rahimnya.
Cerita imam Syafei yang disuruh ibunya untuk merantau dan
mencari ilmu mesti diambil pelajarannya. Ibu Syafei telah rela anaknya
meninggalkan dirinya sampai ia benar-benar menjadi ahli ilmu yang dibutuhkan
oleh umat. Selama imam Syafei menuntut ilmu ia jauh dari ibunya, tentunya imam
Syafei tidak dapat mengurus ibunya dengan baik. Namun, ibunya Syafei tidak
pernah baper dengan anaknya yang larut dalam mencari ilmu sehingga Syafei
menjadi ulama terkemuka dan ilmu-ilmunya masih dipelajari sampai hari ini. Tidak
hanya itu, sebagian besar umat Islam di dunia menjadikan mazhab Syafei sebagai
patokan dalam beribadah dan muamalah. Dan tentunya masih banyak cerita wanita-wanita
yang lain memiliki cerita sendiri terhadap anaknya.
Bukankah sangat sedikit cerita tentang seorang ibu yang mengutuk anaknya sehingga menjadi anak durhaka. Peristiwa yang sedikit ini tentunya tidak boleh menjadi contoh bagi ibu-ibu saat ini. Dalam suatu kaedah disebutkan “yang sedikit itu dianggap tidak ada”. Maka, bagi seorang ibu tidak dibenarkan sebab menerima kekecewaan dari sikap dan prilaku anaknya lalu mengikutui sesuatu yang sedikit terjadi; yakni mengikuti aliran ibu yang mengutuk anaknya.
Merasa ada contohnya dimasa lalu seorang ibu merasa mendapat legitimasi untuk
mengutuk anaknya. Ditambah lagi dengan memahami bahwa Tuhan yang sangat dekat
dengan doa dan kutukan seorang ibu. Lalu, ibu pun tergesa-gesa memanfaatkan legitimasi
tersebut. Sikap seperti ini tidak baik dianut oleh seorang ibu, apalagi untuk
zaman kini seorang anak dihadapkan pada kehidupan yang sangat kompetitif. Realitas
hidup yang dialami oleh anak saa ini lebih berat sebagaimana yang dihadapi oleh
kedua orang tuanya.
Perintah untuk memuliakan orang tua pada anaknya tidak hanya dilihat dari keutamaan orang tua saja, tetapi mesti juga dilihat dari tanggung jawab yang berat orang tua pada anaknya. Karena beratnya tanggung jawab orang tua maka orang tua butuh sokongan dari anaknya; yaitu sokongan doa. Doa khusus yang diperintahkan kepada anak yang masyhur di kalangan kita adalah sebagaimana yang disebutkan di atas.
Makna dari “kama rabbayani shaghira”
sebagimana aku dididik/dijaga oleh orang tuaku maka seperti itulah Engkau (Tuhan)
menjaganya. Jika, orang tua buruk dalam mendidik anaknya tentu juga keburukan
akan menimpa atasnya, tetapi jika dididik dengan baik maka kebaikan akan
menimpa atas perlakuan anaknya. Doa ini berlaku timbal balik yang setimpal. Maka,
orang tua/ibu jangan pernah baperan dengan sikap dan prilaku anaknya, sehingga
anak itu mudah untuk dikutuk oleh karena buruk perangai dan sikapnya.
Negosiasi ibu sangat menentukan atas keputusan Tuhan, jika ibu mendoakan anaknya untuk kebaikan maka baik dan sukseslah anak itu. Jika, ibu mengutuk anaknya dengan sesuatu yang buruk, maka terkutuklah anak itu. Maka, jadilah ibu yang lapang dadanya dan luas hatinya serta tidak pernah baperan dengan sikap dan prilaku anaknya, apalagi mengutuknya, walaupun anak itu sering membuat kecewa. Dalam kondisi apa pun berdoalah yang baik-baik untuk anakmu, sebab hidup ini pada dasarnya adalah ujian.
Ujian akan hadir pada dua hal; baik diuji dalam kebahagiaan maupun diuji dalam malapetaka/keburukan. Ibu; lapangkanlah hatimu dalam mengahadapi tingkah-polah anakmu yang beragam bentuk. Mengutuk bukanlah solusi atas kekecewaanmu terhadap sikap dan prilaku anakmu sendiri. Dalam keadaan apa pun teruslah berdoa pada anak-anakmu sehinggu pintu ridha Tuhan benar-benar terbuka untuk anakmu. Mengutuk anak sama dengan menghilangkan aset terbaik bagi orang tua; baik di dunia maupun di akhirat.
Jakarta, 5 Desember 2023.
Komentar
Posting Komentar