Membangun Ekspektasi Diri Bentuk Keangkuhan
Menginginkan banyak hal atas orang lain bukan tindakan yang
baik, sebab tidak semua orang sama kemampuannya dalam menjalani hidup. Alasan menginginkan
hidup yang lebih baik pada orang lain tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi
keinginan yang ditunjukkan hanya berdasarkan ekspektasi dirinya. Merasa
bertanggung jawab atas orang lain sering menjadi masalah ketika tanggung jawab
yang ditunjukkan mengarah pada tanggung jawab yang dimiliki oleh diri orang
lain.
Dalam ajaran moralitas selalu diajarkan agar menjadi diri
sendiri, dalam pengertian sesuai dengan gaya dan kemampuan diri masing-masing. Tetapi,
dalam realitasnya manusia selalu berkeinginan menjadi orang lain. Merasa hidup
orang lain lebih baik, lebih indah, lebih mapan, lebih sukses, dan lebih merdeka
dalam segala hal. Padahal, realitas yang dilihat sering menipu. Keinginan yang
penuh tipu daya sering dijadikan sebagai patokan hidup. Sikap demikian
menjauhkan seseorang dari orientasi hidup yang sesungguhnya.
Manusia suka menipu dirinya sendiri dengan hal-hal yang
tidak mungkin diperoleh, dan jika diperoleh pun tidak mungkin akan bertahan
lama. Demi masa depan selalu menjadi alasan utama bahwa hidup ini harus
diperjuangkan, tanpa disadari masa depan yang diangan-angankan terkadang
menjadi sejata makan tuan. Dunia adalah perangkat angan-angan yang menjanjikan
banyak hal, di mana banyak orang terperangkap dengan angan-angannya sendiri. Angan-angan
akan mencelakakan manusia itu sendiri jika terus-menerus dikejar. Sebab, jalan yang
ditempuh angan-angan tidak pernah ada finishnya. Angan-angan yang sesungguhnya
adalah keinginan untuk menggapai kebahagiaan di akhirat.
Angan-angan tentang masa depan tidak pernah ada batasnya,
dan tidak akan ada finishnya. Banyak orang mengumpulkan angan-angan, padahal
angan-angannya saat masih kecil ketika guru di sekolah bertanya tentang cita-cita
belum terwujud hingga ia dewasa, tetapi dikala sudah tua malah menambah
angan-angan dengan keinginan yang lain. Dunia ini adalah angan-angan yang tidak
pernah dimiliki dengan baik, sebab angan-angan yang sederhana saja butuh waktu
untuk mewujudkannya apalagi angan-angan yang besar.
Menginginkan hidup seperti yang diangankan berarti
menginginkan hidup yang tidak dapat dirasakan. Dunia ini adalah ruang kosong
yang diadakan, berasal dari ada yang tidak terlihat wujudnya. Benda-benda apa
pun yang ada di dunia pada dasarnya adalah gaib. Kemudian ia hadir dalam bentuk
materi, dan benda-benda ini akan kembali menjadi gaib ketika perannya hilang,
atau perannya dihilangkan. Apa pun yang ada di dunia ini pada dasarnya adalah gaib,
lalu dihadirkan, dan kemudian kembali hilang. Benda yang telah nyata dilihat
saja pada dasarnya adalah gaib lalu bagaimana lagi dengan angan-angan yang belum
diketahui wujudnya.
Menyederhanakan diri dalam banyak hal itu penting. Sehingga,
setiap manusia tidak perlu menginginkan bentuk pada orang lain sesuai
ekspektasi dirinya. Sebab, ini merupakan suatu upaya menjadikan manusia satu
arah dan satu tujuan hidup. Menginginkan orang lain sama dengan diri kita adalah
upaya melawan sunnatullah yang mana manusia diciptakan dalam perbedaan. Perbedaan
ini bukan untuk dikonfrontasikan, apalagi dikontestasikan. Tujuan yang beragam agar
manusia selalu menciptakan ruang kontribusi antar sesama.
Perbedaan adalah ruang kontribusi dalam mendesain kehidupan.
Orang yang memahami hidup adalah ruang kontribusi ia akan berupaya mendesain kehidupan
(profit sharing). Berbeda dengan orang yang memahami bahwa perbedaan
adalah ruang kompetisi, angan-angannya selalu cenderung ekploitatif terhadap
kemampuan yang dimiliki secara beragam. Ekploitasi kepentingan sering mencipta
konflik di ruang sosial, dan menciptakan hidup yang individualis.
Kompetisi, dan ditambah dengan angan-angan yang tidak ada batasnya
akan membawa kehidupan pada jalan tanpa arah. Karena, hidup yang dipahami selalu
pada ekspektasi diri pada satu arah. Ekspektasi diri sering membentuk ego dalam
diri masing-masing. Jika saja, ekpektasi ini dituju pada orang lain maka ego
tersebut tidak hanya pakaian dirinya melainkan juga hendak ditanam pada diri
orang lain. Betapa buruknya cara cara membangun kehidupan dengan cara
menanamkan ego pada diri orang lain.
Menginginkan sesuatu pada orang lain sesuai dengan ekspektasi
diri kita sama dengan menanamkan ego pada diri orang lain. Hidup ini simpel
jika dijalankan dengan cara yang sederhana. Tetapi, manusia tidak pernah mau
untuk belajar bagaimana menjalani hidup yang demikan, yang berlaku malah
sebaliknya; manusia selalu berkeinginan menjalani hidup melebihi kemampuan dirinya.
Bahkan, lebih buruk lagi menginginkan orang lain agar sama seperti dirinya.
Belajarlah untuk menyederhanakan diri, agar apa pun yang
dimiliki dan diperoleh tidak menjadi jembatan untuk menginginkan angan-angan
yang lain. Jika dengan memperoleh makanan saja sudah bisa menjalani hidup, lalu
kenapa masih menunggu tercapainya angan-angan yang lain baru bisa untuk menikmatinya/besyukur.
Tidak perlu harus menunggu punya rumah mewah, kenderaan keluaran terbaru; baik
motor, mobil, kapal, dan jet pribadi baru bisa bersyukur.
Syukur yang demikan adalah angan-angan yang tidak pernah diraih.
Bukankan ketikan tidak punya apa yang dimakan dapat membuat manusia kehilangan
energinya bahkan bisa mati, lalu kenapa dunia yang telah memberi hidup tetapi
manusia masih enggan menunjukkan syukurnya hanya karena sebuah angan-angan yang
belum diperoleh. Tuhan telah menetapkan qadha-Nya atas makhluk apa pun di bumi
termasuk manusia, maka tugas manusialah mendesain kebutuhan pada makhluk sesuai dengan kemampuannya. Bukan menghukumi takdir atas kehidupan orang lain.
Jangan pernah menginginkan ekspektasi pada orang lain
sesuai dengan keinginan diri kita. Biarkan hidup ini dijalani dalam bentuk keberagaman,
dan ini mesti ditunjukkan dalam berbagai hal. Yang patut diinginkan pada orang-orang
adalah rasa keadilan dalam berbagai bentuk. Keadilan inilah yang perlu
diterapkan pada orang lain.
Perintah untuk menanamkan keadilan atas manusia sesuai
dengan apa perintah Alquran, “Fahkum bainan naas bil 'adil”, tegakkanlah keadilan atas
manusia. Adil yang dimaksud di sini termasuk keinginan dan ekpektasi diri pada
diri orang lain. Tidak perlu menginginkan orang lain memiliki dan memperoleh banyak
hal sesuai dengan apa yang kita miliki dan diperoleh. Tetapi, yang perlu
dilakukan adalah bagaimana menjadikan apa yang kita miliki dan apa yang kita peroleh;
baik harta, pangkat, jabatan, kedudukan, pengaruh, kekuasaan, dan sebagainya menjadi
profit bagi orang lain. Sehingga, dengan profit tersebut setiap orang saling
mendesain pendapaan.
Keinginan yang berlebihan pada orang lain akan menjadi
sumber konflik antar manusia. Sikap seperti ini akan menimbulkan konflik sosial.
Kontribusi yang tidak sesuai dengan keinginan bisa menyebabkan tindakan memaksa
kehendak tanpa memberi manfaat pada orang lain. Dan ini juga akan mengarah pada
sikap merendahkan orang lain, sebab pada diri orang lain tidak didapati apa
yang dimiliki oleh diri kita. Sikap seperti ini jauh dari rasa menegakkan keadilan.
Berbuat dan berfikir adillah kepada orang lain dalam
berbagai bentuk dan berbagai hal. Kehadiran setiap kita bukan untuk menghakimi
orang lain dengan sesuatu yang yang kita miliki. Tetapi, manusia dihadirkan
untuk memberi manfaat bukan hanya pada manusia tetapi juga untuk segala makhluk
dan alam semesta. Manusia tidak dutugaskan untuk menjadi yang terbaik dengan
yang lain, melainkan untuk menebar manfaat. Karena, dunia ini digerakkan oleh
orang-orang yang bermanfaat, bukan merasa terbaik dari siapa pun. Menyuguhkan manfaat
agar semua menjadi baik. Jangan pernah menginginkan orang lain sesuai dengan
ekspektasi yang dimiliki. Belajarlah untuk menyederhanakan hidup agar setiap
ada reunian tetap terasa indah dan harmonis tanpa menunjuk ekspektasi diri hebat pada yang lain.
Jakarta, 9 Desember 2023.
Komentar
Posting Komentar