Nihilisme; Ruang Belajar Tanpa Pikiran
Ruang belajar tanpa ruang pikiran proses pendidikan menjadi tidak berguna. Pikiran jika tidak terus menerus diasah ia akan tumpul. Lemahnya sudut pandang dalam menangkap suatu fenomena dikarenakan sempitnya wacana berfikir. Jika pikiran semakin sempit sementara manusia semakin komplek dan beragam maka yang muncul adalah konflik. Banyak jalan untuk mengasah pikiran. Salah satu cara mendasar dalam mengasah pikiran adalah melalui lembaga pendidikan. Pendidikan dini diperlukan sebab pikiran harus diasah sedari kecil. Jenjang pendidikan yang dilalui setiap anak akan membentuk pikiran, melalui metode pendidikan mempercepat dalam menajamkan pikiran.
Cara yang lain dalam mengasah pikiran dengan membaca. Membaca
yang tertulis maupun membaca yang tersirat. Membaca yang tertulis yang
dibutuhkan adalah ilmu alat; seperti bagaimana cara membaca teks-teks yang
telah ditulis. Belajar membaca diperlukan agar setiap orang mampu membaca
dengan baik teks-teks yang tersuguhkan pada publik. Dunia informasi hari ini
tidak terlepas dari teks-teks yang dijejar pada berbagai media; baik media
cetak maupun elektronik. Teks adalah pesan yang disampaikan tanpa bunyi, tanpa
suara, dan tanpa gerak tetapi pengaruhnya besar sekali bagi pengembangan kehidupan
kehidupan manusia.
Pikiran-pikiran terdahulu yang tersalin dalam teks masih
memengaruhi pikiran masa kini. Betapa jauhnya era Nabi Muhammad dari kehidupan
saat ini tapi terasa dekat oleh karena teks-teks kenabian yang disalin secara
turun-temurun. Karya-karya para pemikir; baik dalam teks keagamaan, sosial, politik,
budaya, science, dan berbagai macam teks lainnya terus memengaruhi kehidupan
umat manusia. Adapun pengaruh tersebut bisa bermakna positif maupun negatif. Sebab,
tidak semua teks baik diterima oleh suatu masyarakat. Ini disebabkan karena
budaya dan agama yang berbeda-beda.
Melatih pikiran, selain melalui lembaga pendidikan bisa
dilakukan lewat diskusi, mendengar, mengajukan pertanyaan, berdebat, rapat,
berargumentasi, berpidato, berbicara, seminar, menulis, menguraikan sesuatu, dan
lain sebagainya. Tetapi, mengasah pikiran secara sistematis hanya didapat
melalui lembaga pendidikan. Maka, diperlukan ada lembaga pendidikan berjenjang
agar potensi berfikir terus diasah pada level yang lebih tinggi.
Pada saat mendengar lembaga pendidikan pikiran tertuju pada
materi dan daya tangkap anak, di sini kecerdasan otak diperlukan. Pikiran seperti
ini benar, tetapi keliru dalam melihat masalah. Setiap anak yang normal membawa
potensi otak yang baik, maka untuk mengasah otak ini harus dilakukan secara
sistematis melalui lembaga pendidikan berjenjang. Pertama-tama yang harus
dipelajari adalah bagaimana membaca teks. Maka sekolah yang diwajibkan sembilan
tahun disinyalir bahwa selama masa tersebut setiap seorang dianggap mampu
bagaimana membaca teks.
Pikiran yang rusak ibarat air yang tergenang. Air yang
tidak mengalir akan mengeluarkan bau yang menyengat, apalagi banyak
sampah-sampah dan kotoran-kotoran dibuang di dalamnya. Air yang mengalir akan
terlihat bersih, walaupun ada sampah dan kotoran yang ikut bersamanya. Air yang
terus mengalir tahu bagaimana cara membersihkan dirinya dari sampah dan
kotoran-kotoran. Karena, bukan air yang terjebak dalam kubangan sampah tetapi
sampah yang terjebak bersama derasnya air.
Lamanya hidup banyak yang dirasa, jauh berjalan banyak yang
dilihat. Begitulah umpama pikiran manusia, lamanya hidup banyak fenomena yang
menyuguhkan pengetahuan, sementara jauhnya berjalan banyak hal yang dilihat. Pemikir
itu raganya sunyi sebab ia menyepikan dirinya tetapi pikirannya ramai sebab
jiwanya hadir dalam berbagai fenomena dan realitas. Pemikir itu raganya melemah
sebab banyak energi yang dibuang, tetapi pikirannya menajam sebab terus diasah dalam
menangkap sesuatu, bahkan pikirannya melewati pengalaman hidup yang dirasakan
bahkan melampaui batas usianya.
Seseorang yang terjebak dengan pikirannya sendiri sangat
sulit untuk diluruskan. Orang yang terjebak dengan pikiran sendiri diakibatkan
karena daya pikirnya lemah. Sehngga, apa pun yang ikut dalam pikiranny bisa
mengotori pikiran tersebut. Berbeda dengan sesuatu yang buruk terfikirkan dalam
pikiran yang sehat, maka dengan sendirinya pikiran buruk akan hilang. Maka,
orang yang menggunakan pikirannya dengan baik ia selalu menangkap nilai positif
dalam melihat apa pun. Walaupun yang dilihat adalah negatif sekalipun.
Seseorang yang memiliki daya tangkap yang lemah sering
mendapat perhatian yang tidak baik dari lembaga pendidikan. Ini problem yang
sedang berkembang saat ini. Lembaga pendidikan yang mengajarkan pikiran secara
sistematis menetapkan kriteria dalam mengasah pikiran. Sehingga tidak semua
orang berkesempatan mengikuti kelas asah pikiran. Anak yang daya tangkapnya
lemah jika terus menerus berada dalam kelas dan mengikuti mata pelajaran dan
terus membiasakan diri dengan proses pembelajaran walaupun daya tangkapnya
lemah yang namun pikirannya terus menajam.
Lembaga pendidikan bukan hanya sekedar menyampaikan mata
pelajaran, lalu secara instan dilakukan hanya kepada anak-anak yang memiliki
daya tangkap yang kuat saja. Cara berfikir seperti ini keliru, sebab yang
namanya pikiran berbeda dengan pengetahuan. Seseorang yang hanya memiliki
pengetahuan tetapi tidak mengasah pikiran maka pengetahuan tersebut hanya mampu
membaca teks saja dan tidak pernah mampu membaca konteks.
Sementara pesan iqra' bukan hanya membaca teks tetapi juga membaca konteks. iqra' yang diperintahkan kepada Nabi yang ummi juga bermakna menghimpun; seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks maupun konteks. Membaca dalam pengertian mengimpun dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian ilmiah, observasi, membenah melaboratorium, dan lain sebagainya.
Akibatnya, iqra' dipahami hanya untuk membaca teks maka umat ini terus mengulang pembelajaran masa lalu tanpa bersifat reflektif terhadap kehidupan saat ini. Pesan iqrak juga membangun dialektika secara historis untuk menjajaki realitas yang saat ini dihadapi. Dialektika ini dimunculkan oleh pikiran yang bersesuaian dengan pengetahuan yang telah dipelajar pada lembaga pendidikan.
Ahli di bidang agama maka dialektika yang dibangun menyangkut
dengan persoalan agama, ahli di bidang kimia maka dialektika yang dibangun
terkait dengan kimia, ahli di bidang teknik maka dialektika yang dibangun
terkait dengan teknologi, ahli di bidang sosial-budaya-dan politik maka
dialektika yang dibangun dengan kehidupan masyaratak dan negara, ahli di bidang
ekonomi maka dialektika yang dibangun menyangkut dengan ekonomi umat, ahli di
bidang hukum maka dialektika yang dibangun menyangkut dengan tatanan hukum, dan
sebagainya.
Iqra' adalah membangun pikiran teks dalam konteks yang dihadapi. Untuk membaca teks butuh pengetahuan sementara mebaca konteks butuh kecerdasan. Antara pengetahuan dan kecerdasan berbeda, pengetahuan diperoleh karena belajar, sementara kecerdasan diperoleh dari pikiran yang terus diasah. Maka, dalam konteks ini perlu diperhatikan bahwa menetapkan kriteria bagi seseorang untuk berada di ruang belajar adalah sebuah kekeliruan yang diputuskan di lembaga pendidikan.
Sebab, tugas lembaga pendidikan bukan menyaring orang-orang
untuk diajarkan melainkan menciptakan ruang untuk mengasah pikiran. Ruang belajar
akan berhenti disaat mata pelajaran selesai disampaikan dan berakhir dengan
penyerahan ijazah, sementara ruang pikiran tidak pernah berhenti sampai manusia
mengakhiri hidupnya. Lalu, bagaimana bisa lembaga pendidikan hanya mengajarkan
pengetahuan tetapi tidak mengasah pikiran.
Walupun seorang anak lemah daya tangkapnya di ruang belajar,
tetapi ia terus berada di ruang pikiran maka potensi berfikirnya terus terasah.
Dengan demikian, ruang kelas tidak hanya difungsikan sebagai ruang pembelajaran
melainkan dijadikan ruang pikiran. Tetapi, sesuatu yang lain berlaku, banyaknya
aturan di lembaga pendidikan sehingga waktu dan pikiran banyak dihabiskan untuk
menyusun keurikulum pendidikan dengan aturan ini dan itu, sehingga perangkat
pendidikan seperti guru dan dosen lebih disibukkan pikirannya menyelesaikan tugas
adminitratif. Menjamurnya lembaga pendidikan menandakan bahwa ruang belajar
semakin bertambah. Namun, ironisnya yang berkurang dari umat ini justru ruang
pikiran. Artinya, ruang belajar tidak mampu membangun pikiran yang terus
berkembang.
Jakarta, 7 Desember 2024.
Komentar
Posting Komentar