Jaa al Haq: Kebathilan Politik akan Hilang

  

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُۖ اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. Q. S. Al-Isra'/017: 81.

Ayat ini mengabarkan tentang kebaikan yang diperoleh dikala datangnya sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik telah datang disaat Allah mengutus Nabi Muhammad Saw yang membebaskan manusia dari kesyirikan menuju ketauhidan. Nabi Muhammad Saw tidak hanya datang membawa fisik melainkan juga membawa ideologi. Islam telah datang membawa ideologi pembebasan yang dibangun atas dasar ide dan pembebasan. Islam membebaskan manusia dari kesyirikan menuju tauhid, dari kedhaliman menuju keadilan.

Katakanlah jika datang yang baik maka yang bathil akan hancur. Ayat di atas diawali dengan kata perintah untuk mengatakan yang benar, bermakna manusia benar-benar harus datang membawa perkataan yang baik. Perkataan tentunya lahir dari niat dan tujuan seseorang mengungkapkannya. Berkatalah dengan penuh keyakinan, bahwa jika telah datang sesuatu yang baik maka yang bathil akan hancur dengan sendirinya. Lalu, apa itu kebaikan. Kebaikan adalah sesuatu yang diterima oleh akal, pikiran, dan hati, dan mendatangkan manfaat bagi manusia. Baik belum tentu bermanfaat tetapi sesuatu yang membawa manfaat tentu ia mendatangkan kebaikan; baik untuk manusia maupun untuk makhluk lainnya.

Ayat di atas membicarakan kebenaran mutlak yang datangnya dari Tuhan (الْحَقُّ), diteruskan oleh Nabi Muhammad Saw agar disebarkan ke seluruh penjuru bumi. Dalam ayat di atas tidak disebutkan objek dari kebenaran itu sendiri, dan ini dapat dipahami bahwa kebenaran bukanlah suatu peristiwa melainkan aktivitas dari banyak peristiwa. Dunia ini terdiri atas peristiwa-peristiwa; baik peristiwa yang datang bersama masanya maupun peristiwa yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Banyak peristiwa yang disepakati oleh manusia untuk menunjang hidup dalam berbagai konteks. Salah satu peristiwa yang rumit bagi manusia adalah persoalan politik. Politik dalam sejarah berkembangnya ilmu pengetahuan Yunani disebut dengan the mother of the science (induk dari segala ilmu).

Puncak dari Ilmu pengetahuan adalah membangun peradaban atas manusia. Peradaban yang diciptakan berdasarkan karya karsa lahir dari pengetahuan yang dimiliki manusia, dengan karya karsa lahirlah berbagai kreasi yang kemudian mengisi dimensi spasial dan temporal dalam berbagai wilayah. Ilmu yang tidak membangun kebudayaan hanya menjadi pengetahuan semata, dan tidak membangun peradaban. Dengan demikian, al-adabu fauqa ‘ilmi, adab lebih baik dari ilmu dipahami bahwa ilmu yang dimiliki seseorang atau suatu kaum jika tidak mampu mengisi ruang dan waktu dalam laku hidup, dengan begitu ilmu pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan hanya mengisi ruang akal saja, tidak mengisis ruang spasial. 

Nabi Muhammad Saw diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak (innama bu’itstu li utammima makarimal akhlak). Nabi tidak diutus untuk memperbaiki adab. Sebab, bicara adab adalah bicara ruang spasial yang mengisi ruang temporal dan berlaku sepanjang matahari dan bulan masih digunakan untuk mengukur waktu. Islam sangat serius ketika berbicara dengan waktu, ini ditandakan dengan beberapa momen dalam Alquran Allah bersumpah dengan waktu. Tidak diutusnya Nabi untuk memperbaiki adab bukan berarti peran Nabi dalam membangun peradaban tidak ada, bahkan Nabi sendirlah yang telah menetapkan pundi-pundi peradaban yang dimulai dengan peristiwa hijrah. 

Melalui peristiwa hijrah Nabi peradaban waktu dimulai dengan dietapkannya tahun hijriyah yang dimulai dengan bulan Muharram. Peradaban waktu ini dimulai dari berpindahnya Nabi dari Mekah ke Madinah. Artinya, peradaban waktu dimulai dari proses perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu keadaan pada keadaan yang lain, dari satu pikiran ke pikiran yang lain, dari satu pengetahuan ke pengetahuan yang lain. Nabi memulai perpindahan tempat dari Mekah ke Madinah. Dengan berdirinya negara Madinah maka peradaban politik dalam Islam dimulai.

Nabi tidak diutus untuk membangun peradaban, tapi diutus menyempurnakan akhlak. Akhlak yang dimaksud di sini diwali dengan akhlak kepada Tuhan, manusia, dan segala makhluk yang ada di muka bumi. Sementara adab atau peradaban berbicara hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan semesta. Kata akhlak derivasinya dari kata khalaqa, khalq, khulq, Khalik, dan makhluk. Artinya, akhlak yang dibangun dalam diri seseorang (makhluk) menyambung rasa kepada Khalik (Allah Swt). 

Kompleksitas beragam dari manusia maka untuk membangun akhlak tidak cukup hanya dengan nilai-nilai yang ditawarkan agama semata tetapi juga diperlukan adanya aturan yang mengikat, aturan yang mengikat ini dituangkan dalam sistem hidup bernegara. Sebagaimana pernyataan agama merupakan nilai dan politik (negara) sebagai penyangganya. Dan negara Madinah menjadi prototipe di mana peradaban politik yang mengikat relasi antara manusia dan kesemestaan dimulai.  

Berakhlak mesti punya iman, beradab mesti punya ilmu pengetahuan. Dari akhlak lahirlah uswatun hasanah, dari adab lahirlah budi pekerti yang luhur. Suatu bangsa di dunia melahirkan peradaban yang tidak dimulai dari akhlak maka ia hanya membangun relasi antara manusia dengan makhluk yang lain, tidak membangun relasi makhluk dengan Khalik. Negara-negara maju hari ini membangun peradaban dalam pengertian budi pekerti tetapi tidak membangun akhlak dalam pengertian Iman. 

Membangun peradaban, pondasi awalnya adalah pendidikan; proses meraih pengetahuan yang terus dikembangkan dalam berbagai bentuk, dan sistem, serta metode merupakan upaya karya karsa dan kreatifitas manusia yang dituangkan dalam berbagai narasi melalui proses membaca, riset, artikel ilmiah, buku, opini, dan lain sebagainya. Ini perangkat yang harus dilakukan untuk mencapai adab. Dan kemudian lahirlah lembaga pendidikan di berbagai level.

Korelasi ayat di atas dengan peradaban politik sangat ditentukan oleh pelaku politik itu sendiri. Setiap manusia adalah pelaku peradaban, tetapi tidak semua orang menjadi pelaku peradaban politik. Ini terkait dengan ruang dan waktu yang diisi secara lintas bidang oleh setiap orang. Ruang atau dimensi spasial merupakan tempat terlaksananya banyak peristiwa dalam proses perjalanan waktu. Sedangakan waktu atau dimensi temporal konsep penting yang berjalan secara kontinue dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, ruang spasial politik yang harus diisi secara kontinue adalah bagaimana menghadirkan orang-orang baik yang tidak hanya berakhlak tetapi juga berperadaban, tidak hanya beriman namun juga memiliki ilmu pengetahuan.

Peradaban politik memengaruhi peradaban ekonomi. Peradaban ekonomi abad ini masuk fase sama sekali baru. Di era peradaban baru yang melimpah informasi tetapi minim transformasi. Sistem ekonomi global yang dikelola oleh mesin, artificial intelligence merubah secara totalitas peradaban ekonomi. Ruang produksi tidak lagi dimiliki manusia tetapi sudah dimonopoli oleh mesin. 

Hukum ekonomi dasar, jika barangnya sedikit permintaannya banyak maka harganya akan mahal. Begitu juga sebaliknya, jika barangnya banyak, permintaannya sedikit maka harganya akan murah. Mesin telah memproduksi banyak hal, jika idak dibarengi dengan permintaan yang banyak, maka hasil produksi yang melimpah tidak akan membawa kesejahteraan bagi manusia itu sendiri. Maka di sini, perlu ada keseimbangan antara yang diproduksi dengan yang dikomsumi.

Dimensi spasial yang dilalui manusia saat ini masuk era of abbandons; era keberlimpahan. Ruang spasial hari ini adalah ruang keberlimpahan banyak hal; keberlimpahan informasi, makanan, produk elektronik, alat-alat pertanian, rekayasa pertanian, perikanan, berbagai jenis hasil bumi, minyak, gas, tambang, dan lain sebagainya. Bagaimana mengelola era keberlimpahan ini, tentunya dengan membangun peradaban baru, yang diawali dengan pendidikan baru, merubah cara berpikir, membangun paradigma baru. Menelusuri peradaban baru dengan membuka ruas dominasi sistem kerja mesin dalam berbagai bidang. Sementara, manusia mengatur retribusi hasil produksi mesin secara menyeluruh dan mapan.

Dominasi mesin ini tidak bisa dihindari oleh manusia, dan membangun kesadaran baru bahwa banyak pekerjaan yang selama ini dilakukan manusia melawan fitrah kemampuan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, pertumbuhan harus diserahkan kepada mesin. Lalu, tugas manusia dalam peran etik; yakni membagi keberlimpahan tersebut secara adil dan setara kepada seluruh manusia. 

Pertumbuhan dijalankan oleh mesin, sedangkan kesetaraan, kesejahteraan, dan keadilan mesti didesain secara apik oleh manusia. Sehingga, manusia tidak perlu merisaukan banyak pekerjaan yang hilang dikarenakan dominasi sistem kerja mesin. Peradaban yang dicapai manusia hari ini sudah sampai pada memanfaatkan tenaga mesin untuk menyelesaikan banyak problem kehidupan; serperti industri, pertanian, perkebudanan, pertambangan, kelautan, pertahanan, musik, mesin pengolah makanan, minuman, dan lain sebagainya.

Ayat di atas jika dilihat dalam kontek peradaban politik mesti hadir dua kelompok sekaligus; berakhlak dan beradab. Berakhlak ia adalah seseorang yang teguh imannya, dan beradab ia adalah seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan terkait dengan kepememimpinan, politik, dan pemerintahan. Jika telah didatangkan orang baik yang berakhlak dan beradab, maka bentuk kebathilan apapun yang terjadi; baik dalam proses politik, kepemimpinan, dan dalam menjankan pemerintahan akan lenyap dengan sendirinya. Sebab, tidak mungkin menyatu kebathilan pada pribadi yang berakhlak, atau pribadi yang mana dalam pikirannya cebderung pada kebenaran sebagaimana yang Tuhan harapkan; yakni al-haq (الْحَقُّ).

Waqul jaa al-haqqu wadha haqal bathil inna al-bathilakana dhahuqa, jika telah datang yang benar (haq) maka yang bathil akan hancur. Kata jaa-a (جَاۤءَ) pada ayat di atas adalah fi’il dalam bentuk lampau, yang bermakna datang lebih dulu. Artinya, seseorang yang yang benar (al-haq) harus didatangkan lebih dulu. Dalam konteks politik demokrasi, yang mana kekuasaan ada di tangan rakyat mesti selektif melihat dan memilih orang yang dianggap baik dan benar (al-haq). Jika ingin mendapatkan kebaikan untuk negara ini baik pada level kepemimpinan tertinggi maupun kepemimpinan terendah, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif maka terlebih dahulu yang dilkukan adalah mendatangkan orang baik dan benar; baik secara akhlak dan tepat pula secara adab. Sebagaimana upaya Tuhan untuk menyempurnakan akhlak manusia, maka terlebih dahulu mengutus Nabi Muhammad Saw pembawa kebenaran di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah.

Bangsa Indonesia mayoritas muslim, tentunya Alquran adalah pedoman utama dalam berbagai momen. Ayat di atas sangat populer bagi umat Islam, namun hanya dibaca sebagai kalimat dzikir tanpa memahami maknanya. Menghadapi tahun politik rakyat sebagai pemiliki kekuasaan mesti melihat dua hal pada orang-orang yang akan dipilih. Pertama, melihat sosok yang berakhlak. Artinya, seseorang yang menjalankan perintah Tuhan dengan baik dan meninggalkan larangannya. Kedua, sosok yang beradab. Artinya, orang yang berpendidikan, berpengetahuan (pengetahuan agama dan umum), terutama sekali terkait dengan ilmu pemerintahan, ketatanegaraan, dan kepemimpinan, serta memiliki visi misi yang mampu melihat berbagai potensi untuk masa yang akan datang.

Syahdan, empat keteladan yang diwariskan Nabi Muhammad Saw kepada umatnya adalah barometer utama dalam melihat potensi kepemimpinan. Di antaranya; shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Shiddiq secara umum diketahui bahwa sosok tersebut adalah orang memiliki sifat jujur dan tidak curang, manipulatif, munafik, dan lain sebagainya. Amanah adalah dapat dipercaya; yakni seseorang yang memiliki komitmen dengan kebenaran, walaupun berhadapan dengan tantangan yang berat sekalipun. Fathanah adalah memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang harus dimiliki oleh pemimpin dalam melihat segala persoalan umat. Sementara tabligh adalah mampu menjelaskan dengan baik visi-misinya, dan perbaikan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak; yakni masyarakat yang berhajat atas kepemimpinnannya.

Waqul jaa al-haqqu wadhahaqa al-bathil innal bathilakana dzahuqa. Jika masyarakat menginginkan kebaikan dan kemajuan atas bangsa ini maka datangkanlah orang baik; yakni orang yang berakhlak dan beradab. Datangkanlah orang baik di parlemen dan lembaga pemerintahan agar kebathilan dalam bentuk apa pun; seperti kecurangam, sogok menyogok, korupsi, manipulasi data, pengutipan fii, dan lain sebagainya. Sebab, tidak akan menyatu kebaikan dan kedhaliman dalam diri orang-orang yang dalam hatinya telah tertanam kebenaran yang dibawa dari Tuhannya (al-haq).

Dengan demikian, perlu membangun fikir agar menjadikan pesan kebenaran dan kebathilan berdasarkan ayat di atas sebagai pedoman dalam membangun peradaban politik yang bermartabat tanpa kecurangan; fraudiktif, koruptif, dan manipulatif. Dalam melihat sosok yang akan dipilih mata rakyat harus seperti mata elang, mata yang tajam melihat potensi seseorang yang akan dipilih; melihat potensi baik dan potensi buruk. Karena, fungsi pemimpin bukan hanya menjalankan pemerintahan tetapi juga memberantaskan kebathilan yang selama ini disinyalir marak terjadi di berbagai lembaga pemerintahan. Jika tidak dihadirkan orang baik (al-haq) maka jangan pernah berharap kebathilan politik akan hancur binasa.

Jakarta, 17 Januari 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA