Waktu yang Ditentukan dan Waktu yang Hilang
Celakalah orang-orang yang melaksanakan shalat; (yaitu) yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya. Q. S. Al-Ma’un/107: 5-6.
Berbicara shalat dalam pelaksanaannya terkait dengan waktu. Dan kewajiban bagi orang yang melaksanakannya juga terkait dengan waktu, tiba waktu yang ditentukan (akhil baligh) maka seseorang hamba harus menunaikannya. Serta dalam pelaksanaannya juga terkait dengan waktu; yakni lima waktu yang ditentukan, “kitaban mauqutan”.
Pertanyaan mendasar yang mesti dipertanyakan ketika masuknya tahun baru; baik tahun baru Imlek, Masehi, maupun tahun baru Hijriyah adalah apa yang hilang dari hidup ini, lalu apa yang datang/ditunggu. Keduanya memiliki jawaban yang sama tetapi berbeda orientasinya. Yang hilang adalah waktu, dan yang ditunggu juga waktu.
Waktu yang hilang dan waktu yang ditunggu memiliki makna tersendiri bagi manusia. Yang hilang akan menjauh sementara waktu yang ditunggu selalu menghampiri manusia. Waktu yang ditunggu adalah waktu yang ditentukan untuk sujud kepada-Nya, sementara waktu yang hilang adalah waktu yang terus dilalui, ia akan terus hilang walaupun selalu datang. Semasih nyawa ada di badan maka waktu yang ditentukan dan waktu yang hilang selalu menghampiri manusia dalam berbagai momen.
Waktu telah ada sebelum manusia diciptakan, sebab waktu terlebih dahulu ada karena itulah manusia menerimanya secara given. Dengan waktu manusia mengatur hidupnya, dengan waktu pula manusia mengakhiri hidupnya. Waktu adalah sesuatu yang paradoks bagi manusia; waktu yang menghidupkan dan waktu pula yang mematikan. Tetapi manusia tidak pernah takut dengan waktunya. Bagi siapa yang tidak mengenal waktunya ia akan kehilangan banyak momen, dan bagi siapa yang tidak pandai mengatur waktunya ia akan kehilangan banyak kesempatan. Waktu juga memberi peluang banyak hal dan waktu juga yang menghilangkan banyak kesempatan.
Tuhan bersumpah demi waktu. Beberapa waktu memiliki keistimewaan tersendiri, karena itulah Tuhan memperkuat kalamnya dengan “waw qasam” setiap menyebut waktu-waktu tertentu. Tuhan besumpah dengan waktu fajar, waktu siang, waktu malam, waktu ‘ashar, waktu dhuha. Semua waktu yang disebutkan adalah waktu yang ditentukan Tuhan agar manusia bersujud pada Sang Penciptanya. Banyak waktu yang diciptakan untuk menjadi renungan bagi manusia, ke mana waktu itu digunakan dan bagaimana manusia memperlakukan waktunya.
Manusia tidak mampu menciptakan waktu, tetapi manusia diberi kemampuan untuk menentukan waktu berdasarkan tanda-tanda yang diberikan Tuhan melalui ayat-ayat yang tercipta. Sejarah kehidupan manusia ditandai dengan waktu; waktu dalam hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad dan milenium. Semua itu agar manusia memiliki batas waktu dalam menentukan era yang dilalui.
Waktu tidak pernah berubah, yang berubah adalah manusia itu sendiri dan cara manusia menghitung perjalanan waktunya melalui alat yang digunakan, semakin berkembang ilmu pengetahuan semakin berkembang pula cara manusia menghitung waktunya. Tetapi, walaupun demikian manusia tetap saja banyak yang kehilangan karena menyia-nyiakan waktunya. Artinya, dengan alat yang begitu canggih manusia tidak mampu mengatur waktunya dengan baik.
Ritme peradaban waktu diciptakan oleh manusia sendiri untuk menentukan sepanjang manusia menciptakan peradabannya. Akhirnya, lahirlah tiga peradaban yang cukup familiar dalam menentukan waktu; tahun Imlek/tahun Tionghoa, Masehi, dan tahun Hijriah. Ketiga jenis tahun ini menandakan peradaban manusia yang dilahirkan dari karya-karsa berdasarkan kemampuan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Tahun Imlek adalah peradaban waktu tertua. Artinya, masyarakat Tionghoa/Cina telah mencapai kejayaan dalam perhitungan waktu, pada tahun 2024 tahun baru Imlek diperingati yang ke 2575. Mencapai seribu tahun lebih dibandingkan tahun Hijriyah dalam hitungan peradaban waktu umat Islam.
Manusia selalu bergelut dengan dua orientasi waktu. Waktu yang ditentukan dengan waktu yang ditunggu. Dua-duanya mengancam manusia dalam segala bidang. Waktu yang telah berlalu tidak dapat lagi diulang sementara waktu yang ditunggu terus datang. Dan manusia selalu kecolongan dalam memanfaatkan waktu yang ditentukan. Atau sering melalaikannya oleh karena kesibukan dalam banyak hal. Manusia lupa bahwa takdir hidup yang dijalani pada hakikatnya adalah menunggu waktu yang ditentukan; yakni waktu shalat.
Waktu yang ditentukan ini pelaksanaannya ditandai dengan masuknya waktu shalat; seperti waktu shalat isya, subuh, dhuhur, ashar, dan magrib. Di antara waktu-waktu yang ditentukan, ada waktu untuk melepaskan hajad manusia sebagai makhluk memenuhi kebutuhannya. Dua katagori waktu secara umum dibagi dalam aktivitas manusia; yakni waktu terang dan waktu gelap. Waktu terang digunakan manusia untuk bertebaran di buka bumi/mencari nafkah, dan waktu gelap/malam digunakan untuk beristirahat.
Waktu yang ditentukan agar manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhannya sebanyak mungkin. Lima waktu shalat fardhu dan ditambah lagi dengan waktu-waktu shalat sunat adalah kesempatan bagi manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Shalat adalah sarana komunikasi hamba dengan Tuhan, manusia dapat membangun ketersambungan rasa dengan Tuhan melalaui waku-waktu yang ditentukan itu.
Bagi siapa yang tidak mengenal waktunya maka ia tidak pernah menyambung rasa dengan Tuhannya melalui waktu-waktu yang ditentukan. Dan begitu juga, bagi siapa yang tidak mengenal waktu yang hilang seseorang tidak akan mampu menyambung rasa dengan sesamanya, alam, dan makluk yang lain. Ibadah yang ditentukan kepada hamba dalam dua katagori. Ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berhubungan langsung dengan Tuhan, seperti shalat, dan beberapa yang lainnya. Ibadah ini juga disebut dengan hablumminallah. Sementara ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang dilakukan seseorang di luar dari shalat. Ibadah ini juga disebut dengan kerja muamalah manusia. Dan ini menyangkut dengan hubungan manusia dengan sesama manusia, alam, dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Ibadah ini juga disebut dengan hablumminannas.
Ibadah mahdhah (shalat) bermakna menjalin kesinambungan rasa dengan Tuhan, maka ibadah ghairu mahdhah (muamalat) juga dipahami menyambung kesinambangan rasa dengan manusia yang muaranya juga pada Tuhan melalui kegiata-kegiatan yang baik dan bermanfaat. Tuhan telah menentukan banyak waktu agar manusia selalu membangun komunikasi dengan diri-Nya. Jika Tuhan yang menciptakan waktu maka tidak berlebihan untuk disimpulkan bahwa Tuhan selalu menginginkan agar diri-Nya selalu mendapat kontak dari hamba melalui waktu-waktu yang ditentukan tersebut. Waktu yang lainpun juga demikian, ketika seseorang melaksanakan ibadah muamalat dengan berpatokan pada apa yang diperintahkan Tuhan dan apa yang dilarang maka dalam praktik apa pun bentuknya dipahami menyambung rasa dengan Tuhannya.
Shalat (ibadah mahdhah) adalah aktifitas yang dilakukan manusia dalam rangka menghambakan diri pada Allah, yang mana peroses pelaksanaannya dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sementara muamalat (ibadah ghairu mahdhah) adalah kegiatan sosial seorang hamba dalam menjalani hidup di dunia, yang mana pelaksanaannya diawali dengan salam dan diakhiri dengan takbir.
Begitulah waktu itu digilir pelaksanannya. Walaupun rasa yang dibangun dengan sesama makhluk, tetapi disaat manusia mengikuti perintah dan larangan Tuhan dalam pelaksanaannya, maka pada dasarnya bukan hanya menyambung rasa dengan sesama makhluk melainkan juga membangun kesinambungan rasa dengan Tuhan.
Berdasarkan penjelasan yang demikian dapat dipahami bahwa ketika pelaksanaan kedua ibadah tersebut dilaksanakan (ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah) menjadi ajang bagi manusia menyambung rasa dengan Tuhannya. Dengan itulah, tiada waktu; baik waktu yang ditentukan maupun waktu yang dhilang luput dari upaya membangun kesinambungan rasa Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia terkadang tidak menyadari bahwa setiap waktu yang dilalui adalah kesempatan untuk terus bertemu dengan Tuhan. Jika manusia selalu rindu ingin berkomunikasi dengan Tuhannya, maka Tuhan telah terlebih dahulu menentukan waktunya. Dari sini dapat dilihat bahwa bukan hanya manusia yang rindu pada Allah, tetapi Allah juga demikian, sehingga setiap waktu Allah memberi peluang pada hambanya untuk membangun kesinambungan rasa.
Ibadah shalat, dalam pelaksanaannya menentukan syarat dan rukun, agar kesempurnaan shalat terlaksanakan. Begitu dengan ibadah muamalat, Allah menentukan perintah dan larangannya. Perintah untuk dilaksanakan dan larangan untuk ditinggalkan. Perintah dan larangan ini agar terciptanya keharmonisan dan keadilan di tengah-tengah manusia.
Disaat seseorang dalam pelaksanaan muamalahnya memperhatikan apa yang diperintah dan apa yang dilarang, maka sesungguhnya manusia sedang menyambung rasa dengan Tuhannya, walaupun aktifitas tersebut dilakukan pada makhluk. Dengan demikian, ibadah apa pun dan akifitas apa saja yang dilakukan manusia, pada dasarnya adalah membangun kesinambungan rasa dengan Tuhan.
Waktu terus berjalan, waktu yang ditentukan terus datang, dan waktu yang hilang terus berlalu. Keberadaan manusia pada hakikatnya adalah menunggu waktu yang ditentukan untuk melakukan ibadah. Disela-sela waktu yang ditentukan itu manusia diberi kesempatan untuk mengisi waktu yang hilang; yakni aktifitas keduniaan. Antara waktu subuh dengan waktu dhuhur manusia berkesempatan mengisinya dengan berbagai aktifitas dan pekerjaan.
Disaat manusia melaksanakan perintah dan larangan dalam melakukan aktifitas dan pekerjaan tersebut, maka sepanjang aktifitas dan pekerjaan itulah manusia terus menyambung kesinambungan rasa dengan Tuhannya. Artinya, manusia terus memanfaatkan waktu untuk menghadapkan wajah pada Tuhannya. Kesinambungan rasa dengan Tuhan dalam aktifitas muamalah bukan dilihat dari pekerjaannya melainkan dilihat dari patuh terhadap apa yang diperintah dan apa yang dilarang oleh Tuhan.
Waktu yang ditentukan banyak diabaikan oleh manusia, sehingga ia tidak lagi sempurna ketika menghadap pada Tuhannya. Mengulur-ngulur waktu shalat sama dengan mengabaikan kesinambungan rasa dengan Tuhan. Dan banyak pula waktu yang hilang berjalan begitu saja, tanpa perenungan dan tanpa mewarisi ibrah bagi generasi yang terus menyambut waktu berikutnya.
Manusia tidak mampu menciptakan waktu tetapi manusia diberi kemampuan untuk menentukan perjalanan waktunya sehingga lahir peradaban waktu bagi manusia. Sambutlah awal tahun peradaban waktu dengan penuh perenungan dan ibrah untuk waktu yang akan datang. Walaupun waktu terus hilang dan tahun terus datang, kesinambangan rasa tetap dibangun dengan Tuhan, dan bukan berharap nasib pada tahun.
Purwakarta, 1 Januari 2024.
Komentar
Posting Komentar