Hapus Pagelaran Seni/Konser sebagai Barometer Maksiat
Sudah saatnya stigma pagelaran seni dan konser adalah ajang maksiat dihapus dalam ingatan masyarakat Aceh. Dunia sudah melampaui jalan yang sangat panjang dan begitu jauh. Konser yang identik dengan pagelaran musik juga menjadi perdebatan pemikiran seni dalam Islam. Beberapa ulama terkemuka juga pencinta musik dimasanya. Dan, ditambah lagi dengan hadirnya banyak genre musik akhir-akhir ini, termasuk genre musik yang bernuansa islami dan genre musik bernuansa etnik.
Aceh dekade
terakhir telah banyak melahirkan pelaku seni dalam beraneka performa. Dan seni
budaya di Aceh telah masuk fase perubahan total, dari seni budaya ekpresi
terbatas dan klasik kini memasuki era modern dan terbuka melalui media sosial. Kalimat-kalimat
nasehat dan kalimat juang yang dulunya diucap dalam pagelaran seni debus, pegah
haba, saman, seudati kini ditampilkan dalam berbagai jenis musik di Aceh. Bahkan,
hikayat yang digunakan untuk membangkitkan semangat perang saat melawan
penjajahan Belanda pun sudah dinyanyikan dalam bentuk syair dengan iringan
musik modern (hikayat prang sabi).
Fase kini Aceh sudah menjamur para pelaku seni modern dalam berbagai jenis musik; baik secara solo maupun group band, dan juga pelaku seni lawakan. Tetapi ruang ekpresi mereka seperti dikekang oleh stigma maksiat. Karena kurangnya panggung hiburan maka penyanyi dan pelawak ikut meramai bursa pencalonan legislatif (caleg). Jika ingin adanya keseimbangan antara agama, budaya, politik dan seni maka hilangkan stigma pagelaran seni/konser sebagai barometer maksiat dalam pikiran masyarakat Aceh.
Ruang bagi mereka cuma media- media online yang hanya membuat mereka terkenal
di layar kaca, tetapi tidak dengan ekspresi langsung yang bersentuhan dengan
masyarakat secara terbuka. Untuk itu, ke depan pemerintah perlu memberi ruang
ekspresi terbuka kepada pelaku seni dengan membuat konser satu bulan sekali di
setiap kabupaten atau satu minggu sekali. Para pelaku seni seni yang mencalonkan diri menjadi legislatif sama dengan memaksa diri mengubah tupoksi kerja.
Beberapa pelalku
seni telah menduduki posisi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPD) dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI),
keterwakilan mereka dua periode belum mampu membuka wacana ruang ekspresi
terbuka bagi pelaku seni di Aceh. Dan pemilu kali ini malah ikut diramaikan
oleh penyanyi dan pelawak yang lain. Dua periode perwakilan pelaku seni duduk
di parlemen namun tidak berhasil menciptakan ruang ekspresi seni malah terpilih
lagi menuju Senayan. Karena konser sudah dianggap maksiat maka keberadaan
penyanyi dan pelawak dianggap sebagai pelaku dosa. Akhirnya ruang ekspresi
mereka di ruang publik seperti dihukumi haram.
Adanya media
ekspresi seni yang masif terjadi di media online seperti youtube, instgram, tiktok
penyanyi dan pelawak masih merasa belum cukup ruang untuk menumpahkan ekspresi
seninya. Dengan alasan demikian, maka Pemerintah Aceh ke depan perlu
mengevaluasi cara berpikir dalam
memahami hiburan dengan pelaksanaan syariat Islam. Hapus barometer bahwa
konser adalah maksiat, sebab masyarakat butuh hiburan. Apalagi Aceh pasca
perang, ekonomi sulit, ditambah lagi kepercayaan pada pemerintah mengalami
degradasi maka hiburan diperlukan agar tercipta keseimbangan pikir dan emosi
masyarakat.
Hiburan di zaman
dahulu. Disaat masa panen sudah berakhir rakyat zama dulu di Aceh perlu
mendapatkan hiburan. Maka lahirlah sandiwara, rapai debus, pegah haba, sedati,
saman, dan yang lainnya. Bentuk-bentuk seni tersebut bagian dari ekspresi seni
dan hiburan di ruang publik jaman dulu. Manusia dalam fase tertentu butuh yang
namanya hiburan. Hiburan dalam pengertian positif. Dan ini juga terkait dengan
perputaran keuangan di Aceh. Jika masyarakat Aceh justru menghabiskan uangnya
untuk mendapat hiburan di luar daerah, maka ini sangat memprihatinkan gejolak
ekonomi di Aceh.
Tugas anggota
dewan terpilih di Aceh periode berikutnya; baik di tingkat I, II dan juga
diperkuat oleh DPR-RI memprovokasi melalui parlemen bahwa konser bukan
barometer maksiat yang mana keberadaannya harus dihapus total. Bicara maksiat
barometernya harus dimulai dari lembaga pemerintah; seperti korupsi, kecurangan,
kebijakan yang salah, pengutipan fii terhadap proyek-proyek, program
pembangunan tidak tepat sasaran, sangat tergantung pada orang dalam, dan
berbagai bentuk keburukan yang bersumber dari dalam instansi pemerintah
sendiri; baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dengan adanya
hiburan memang tidak menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat tetapi dapat
membawa kebahagiaan. Sudah saatnya elit Aceh dari berbagai kalangan termasuk
pemuka agama mengevaluasi cara berpikir terkait dengan hiburan terbuka untuk
rakyat. Antara pendapatan dan hiburan harus berimbang. Dengan adanya
hiburan terbuka di Aceh dapat mencegah masyarakatnya dari melakukan prilaku
buruk yang jauh lebih besar. Sebab, hiburan yang diperoleh lewat perbatasan Aceh
banyak yang tidak sesuai dengan sikap, prilaku, dan budaya Aceh.
Jakarta, 18 Februari 2024
Komentar
Posting Komentar