Pilkada: Pesta Rakyat Bukan Eforia Politik Kandidat
Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat bukan eforia politik kandidat. Pilkada kali ini berbeda dengan pilkada sebelumnya; pelaksanaan pilkada serentak seluruh Indonesia membawa eforia politik yang sama. Tetapi, eforia ini semakin hari semakin mengikis kepercayaan publik pada calon pemimpinnya, terjadi karena kinerja pemimpin yang tidak memuaskan rakyat di berbagai bidang.
Persoalan bangsa ini semakin hari semakin rumit, semetara kepercayaan publik terhadap pemimpin dan calon pemimpinnya semakin menurun. Ditambah lagi calo yang mesti mendapat dukungan partai politik yang beragam menjadikan kepercayaan rakyat semakin rendah dalam pelaksanaan politik demokrasi.
Aceh merupakan daerah yang tidak hanya memperoleh otonomi khusus dari segi anggaran, melainkan juga mendapat kekhususan politik. Kekhususan politik yang dimaksud adanya partai lokal. Namun, otonomi anggaran tidak menyelesaikan polemik perkembangan ekonomi masyarakatnya. Begitu juga dengan keberadaan partai lokal tidak menyelesaikan polemik politik, melainkan muncul konflik kepentingan internal Aceh sendiri.
Tetapi, proses politik harus tetap berjalan, pergantian kekuasaan harus berlanjut. Strategi politik berkembang dari keputusan politik partai politik lokal hingga partai politik nasional. Polemik politik parlok dan parnas seolah-olah menjadi coagulan konflik baru. Tentunya, konflik kepentingan tidak dapat dihindari, dan selalu yang menjadi korban adalah masyarakat bawah yang tidak melek politik. Masyarakat bawah korban politik kepentingan elit. Penggiringan opini sampai penggiringan massa; selalu yang dijebak adalah masyarakat. Melempar opini liar, menggiring massa tanpa mereka tahu tujuannya apa.
Masyarakat dikumpulkan hanya untuk mendengar curhat politik di antara mereka. Konflik yang diciptakan sesama elit politik, dan masyarakat dijebak ikut mendengar curhat-curhat yang disampaikan melalui silaturrahmi politik. Masyarakat bukan diajak memaparkan program kerja tetapi malah membicarakan isu politik yang diciptakan oleh mereka sendiri. Elit di sini seperti dukun yang mengirim penyakit pada seseorang dan dia pun datang bak super-hero ingin menyembuhkannya. Dan, tentunya tidak layak calon pemimpin cara berpikirnya seperti dukun santet; mengirim guna-guna dan ia pun datang menyembuhkan.
Pilkada adalah pesta rakyat, bukan pesta kandidat. Maka, rakyat sebagai pemilik pesta jangan mau diajak sebagai panitia di pesta sendiri. Untuk memengaruhi pikiran politik diperlukan tim sukses atau timses. Perlu dipahami, timses ini untuk pemenangan calon bukan untuk mendesain kesejahteraan rakyat. Timses hanya bekerja untuk memenangkan kandidat bukan memperjuangkan keinginanan rakyat. Biasanya, timses bergerak berdasarkan anggaran yang disediakan, banyak anggaran maka geraknnya tajam.
Rakyat sebagai pemilik pesta jangan berlagak bodoh. Prilaku yang sangat bodoh adalah pemilik pesta sekaligus jadi panitia di pestanya sendiri. Pilkada disebut juga pesta rakyat yang dilaksanakan dalam masa lima tahun sekali, bukan pesta para kandidat. Namun, para kandidat merasa bahwa pilkada adalah pesta mereka dalam meraih kekuasaan. Sehingga, dalam pelaksanaannya rakyat sering diajak sebagai panitia yang disinyalir sebagai pesta mereka (para calon kandidat kepala daerah).
Rakyat dijadikan sebagai panitia pemenangan yang dikemas dalam bahasa timses, relawan, dan sebagainya. Relawan disematkan dengan berbagai macam nama; seperti inong ceudah, agam behe, muda bersatu, muruwa, buya, hantu belahu. Kelompok ini dimanfaatkan untuk sayap pemenangan para calon. Biasanya terdiri dari anak-anak muda pemilih pemula, dewasa, tua, bapak-bapak serta kaum perempuan, dan yang lainnya.
Cara seperti ini merupakan pembodohan terhadap rakyat yang dilakukan dalam bungkusan pesta demokrasi. Rakyat sebagai pemilik pesta tidak boleh jadi panitia pemenangan kandidat mana pun. Justru kandidat sendiri yang harus menjadi panitianya bersama beberapa orang yang dibentuk sebagai timses pemenangan mereka.
Bukan malah mengajak rakyat secara besar-besaran untuk bekerja sebagai panitia penangan untuk mereka, tanpa ditentukan berapa upah yang harus mereka terima. Bukan hanya bertanya tentang upah kerja tetapi juga mempertanyakan apa program-program progresif menuju kesejahteraan umat jika anda nanti terpilih menjadi pemimpin.
Panitia pesta walihamahan saja sebelum pekerjaan dilaksanakan mereka sudah ditentukan berapa ongkos kerja selama satu hari menjadi panitia saat pesta berlangsung. Lalu, kenapa plikada sebagai pesta rakyat kalian rela menjadi panitia tanpa jelas ongkos yang harus kalian terima, dimulai sejak dibentuk sebagai panitia sampai akhir proses pemilihan ditetapkan. Dan, sampai rela menghabiskan waktu untuk berkumpul serta mendengar bayolan politik, terkadang mereka datang dengan cerita-cerita curhat.
Rakyat tidak perlu jadi panitia pada pestanya sendiri. Jika ingin mendapatkan fidback dari kekuasaan setelah dilantik sebagai kepala daerah tidak perlu harus menjadi panitia pemenangan pada kandidat. Sebab, anggaran yang digunakan oleh kepala daerah adalah uang rakyat. Sesuatu yang sangat riskan terjadi hari ini, untuk memperoleh distribusikan kekuasaan hasil dari pesta rakyat harus menjadi relawan terlebih dahulu.
Relawan adalah pekerjaan suka rela dengan harapan adanya pengembalian upah rela setelah kekuasaan diperoleh. Jika calon yang didukung menang, jika tidak maka calon yang lain lebih cenderung pada timses dan relawannya pula. Berdasarkan kajian ini maka timses dan relawan pekerjaan gratis dalam pelaksanaannya juga memecah persatuan umat. Rakyat akan terpecah belah efek dari sentimen politik di pestanya sendiri. Sentimen politik yag diciptakan oleh sesama kandidat. Dilihat dari perspektif sosiologis sentimen seperti ini adalah prilaku kebodohan yang dipelihara setiap pemilihan kepada daerah.
Rakyat mesti berdaulat di pestanya sendiri. Para calon kepala daerah dan anggota-anggotanya harus dipahami sebagai pendatang di pesta kalian (rakyat), yang namanya pendatang bisa jadi tujuan mereka bukan menjadi bagian terlaksananya pesta demokrasi yang bersifat jujur, dan adil. Melainkan mereka datang hendak merampok menu-menu yang tersaji di prasmanan politik dalam bentuk anggaran. Rakyat harus berpikir ulang dan berhentilah jadi panitia dalam pesta kalian sendiri. Justru para kandidatlah yang seharusnya menjadi pantia dalam pesta kalian (rakyat) bersama partai pendukung yang mengusung pencalonan kandidat. Sebab, ada kos yang harus dibayar untuk para panitia.
Mulai hari ini bukalah mata hati kalian (rakyat). Jangan pernah mau digiring untuk menjadi panitia di pesta kalian sendiri. Jangan tergoda dengan nama yang sifatnya gerakan sementara; seperti timses dan relawan, sayap pemenangan, sel pemenangan, dan yang lainnya. Setelah selesai kandidat meraih tujuannya (kekuasaan) kalian sebagai timses dan relawan akan dibubarkan, dan tinggal menunggu kekecewaan.
Rakyat mesti berdaulat di pestanya sendiri. Tunggu di tempat-tempat kalian masing-masing disaat hari pencoblosan tiba. Saat itulah rakyat benar-benar menetapkan pilihannya pada calon yang dipercaya. Melihat bakal calon yang maju adalah orang-orang sudah menfameliarkan dirinya di tengah-tengah masyarakat maka sangat mudah menilai sosoknya. Apalagi jika sebuah daerah calon yang maju adalah mereka-mereka yang pernah berkuasa dan saat ini sebagai pejabat, maka tidak perlu lama-lama menilai kinerja mereka; cukup lihat rekam jejak, sikap, tindakan, moral, adab, akhlak, dan komunikasi politiknya.
Berpikirlah lebih baik, pahamilah lebih cerdas. Panitia politik bukanlah pemilik kuasa. Oleh karena itu, biarkan mereka yang ingin berkuasa sekaligus menjadi panitianya. Rakyat harus menjadi pemilik rumah atau bos di tempat pesta sendiri. Jika pemilik pesta juga dijadikan sebagai panitia maka setelah pesta selesai kalian akan dijadikan menu empuk oleh mereka yang berkuasa, dengan alasan program kerakyatan.
Padahal, menu-menu anggaran telah dijualnya pada pihak asing/pengusaha dengan bayaran/fi yang ditetapkan oleh yang berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Pilkada adalah pesta rakyat, maka rakyat berhentilah jadi panitia di pesta sendiri. Pilkada menentukan pemimpin bukan memilih peramal atau dukun santet yang sengaja datang menawarkan obat dari penyakit yang diciptakan olehnya sendiri; yakni penyakit kemiskinan akibat salah urus.
Membangun Peradaban Politik, 31 Juli 2024
Komentar
Posting Komentar