RUJUK POLITIK RUANG MANIPULASI PUBLIK
Cerai dimasa pileg, rujuk saat pilkada. Begitulah proses politik yang dikedepankan adalah kepentingan; “tidak ada musuh yang abadi dalam politik kecuali kepentingan”.Kekuasaan ibarat pernikahan, dikarenakan adanya akad yang diikrarkan oleh seseorang untuk mengurus dunia. Pernikahan tidak boleh ada unsur rekayasa. Jika rekayasa yang dilakukan maka pernikahan tersebut batal karena telah menipu banyak orang; seperti menipu mempelai wanita, keluarga, saksi, dan para undangan yang ikut menyaksikan. Pernikahan yang berujung konflik; rujuk adalah solusi. Rujuk politik selalu dilakukan agar relasi kuasa dengan kebijakan selalu harmonis dalam hal mengantarkan kesejahteraan.
Begitu juga dengan kekuasaan. Kekuasaan ibarat ikrar akad
nikah yang tidak hanya pengakuan mulut tetapi juga berkomitmen terhadapa sikap
dan tindakan. Merekayasa kekuasaan sama dengan menipu banyak orang untuk
kepentingan pribadi dan kelompok. Rekayasa kekuasaan dapat dilihat dari cara
seseorang memainkan peranan politknya. Politik tipu daya dalam memengaruhi
opini publik dalam meraup dukungan sering dilakukan. Terlihat kepermukaan
sangat baik padahal tujuannya ingin berkuasa untuk kepentingan diri dan
kelompok.
Merekayasa sesuatu untuk kepentingan sesuatu bagian dari
tindakan yang tidak baik. Orang baik akan tampil apa adanya dalam momen apapun;
baik momen politik, sosial, budaya, dan agama. Sesuatu yang direkayasa bukan
lagi akhlak namanya melainkan sebuah kepentingan yang sedang diperankan. Dalam
hal ini, Ibn Maskawaih mengutarakan bahwa yang disebut dengan akhlak adalah”
tindakan refleks tanpa membawa misi apa pun”. Jika kebaikan yang dibawa dengan
tujuan kepentingan maka tidak disebut akhlak.
Sebuah proses; mengubah entertaint diri menjadi situasi populer saat ini untuk memengaruhi pikiran orang-orang seperti gaya, penampilan, pakaian, dan sikap ditampilkan lebih soft dari kenyataannya; itu hanya dilakukan oleh pembohong. Mengelabui situasi untuk memantik pandangan orang-orang merupakan tindakan yang buruk. Semakin palsu cara seseorang menampilkan diri semakin ia merubah diri aslinya.
Menjelang perhelatan politik bakal muncul orang-orang yang
merubah penampilan diri agar terlihat merakyat. Daya dengan segala tipunya
berusaha mengelabui banyak orang. Seseorang yang dulunya nampak bergaya elit
baik dari pakaian yang digunakan, cara berbicara, sikap diri, dan lainnya telah
berubah, maka itu adalah pertanda ada yang disembunyikan dari sorotan publik
untuk dirinya. Semakin dekat dengan perhelatan pilkada maka semakin terlihat
sederhana dalam bersikap. Dan ini prilaku buruk.
Proses politik masih berjalan pada tahap di mana calon sedang berusaha memperoleh dukungan partai politik. Tetapi, di lapangan sudah terjadi perubahan sikap. Orang-orang (masyarakat) sudah digiring pada disclaimer kepentingan calon. Visi-misi politik belum disampaikan tetapi opini publik sudah digiring pada pembenaran terhadap calon tertentu. Ini kebodohan publik yang dicoba bentuk. Pendukung digiring membenarkan sesuatu yang belum jelas apa dan kenapa harus mendukung salah satu bacalon.
Upaya seperti ini merupakan pembodohan publik yang dilakukan
oleh orang-orang yang ingin berkuasa. Tujuan politik mengantarkan kesejahteraan
bagi banyak orang, malah yang dilakukan membenarkan pihak tertentu layak
dipilih atau tidak dilihat berdasarkan performa diri. Tujuan rakyat memilih
calon pemimpin untuk melanjutkan visi kesejahteraan yang semakin hari semakin
konpleks adanya. Bukan membenarkan seseorang layak dipilih. Hal inilah yang
terjadi di lapangan, opini pembenaran politik tidak dibangun berdasarkan
visi-misi bacalon melainkan digiring pembenaran pada sosok yang harus dipilih.
Bagaimana bisa rakyat terpengaruh pada penggiringan opini
pada pendewaan terhadap sosok yang akan bertarung di pilkada. Penggiringan ini
tanpa melihat program apa yang akan dilakukan dikemudian hari. Seharusnya,
publik mendukung visi-misi yang dibawa oleh bacalon. Bukan mendukung opini
sepihak pada sosok tertentu tanpa memajangkan program yang baik. Tahap politik
masih berusaha mendapatkan dukungan partai tetapi penggiringan opini publik
terhadap sosok telah dilakukan jauh hari.
Pada pesta demokrasi, rakyat mesti mendukung visi-misi bukan
mendewakan sosok yang merekayasa pada banyak hal. Merekayasa banyak hal
merupakan tindakan kotor. Istri bacalon yang terlihat baik di ruang publik
belum tentu harmonis di lingkup keluarga. Terkadang atas kepentingan politik merekayasa
romantis di ruang publik. Perempuan yang melibatkan diri dalam memengaruhi
dukungan politik untuk pasangannya patut ducurigai. Sebab, perempuan yang ikut
memengaruhi kebijakan pimpinan tidak dapat dipercaya sama sekali.
Rakyat mesti berhati-hati dengan pihak yang terlibat dalam
proses pilkada yang melibatkan perempuan saat memengaruhi orang-orang. Pada
kenyataannya; penyatuan misi politik pasangan suami sering mencelakakan
kebijakan publik. Mengingat kebijakan publik terkait dengan bagaimana mengatur
insentif pada banyak orang, maka patut dicurigai perempuan yang ikut melibatkan
dirinya secara aktif dalam memengaruhi dukungan pada pasangannya. Mungkin
inilah salah satu alasan kenapa pasangan suami istri tidak boleh dipekerjakan
pada satu perusahaan Bank; baik milik negara maupun bank swasta, sebab ini
perkara mengelola keuangan.
Jelilah dalam melihat situasi politik, menajamlah pikiran
dalam memantau pergerakan yang sedang dimainkan oleh orang-orang yang ingin
berkuasa. Publik seharusnya menghindar diri dari proses politik kepentingan
elit. Pilihlah seseorang berdasarkan visi-misinya bukan, seseorang yang
membangun citra pendewaan diri seoalah-olah baik. Padahal mereka sedang
memainkan misi bisnis. Jika ini terjadi maka sungguh rakyat akan menjadi korban
dikemudian hari.
Rujuk munakahat harus berbanding lurus dengan rujuk politik.
Inilah kekuasaan yang sesungguhnya. Kekuasaan mesti dimaknai sebagai ikatan
pernikahan antara pemimpin dengan rakyat. Menikah bukan hanya menjadikan raga
menyatu melainkan mengikat batin pada kedua belah pihak. Pemimpin yang
menikahkan dirinya dengan rakyat maka tidak akan terjadi jarak sedikit pun
antara gaya hidup pemimpin dengan cara hidup rakyatnya.
Sebagaimana Umar bin khattab berkata "jika rakyatku
lapar maka aku yang pertama kali merasakannya, jika rakyatku kenyang maka aku
yang terakhir merasakan kenyanga". Tetapi, pada kenyataannya disaat rakyat
susah mendapatkan modal usaha malah pemimpinnya mendirikan usaha dengan
kapasitas mewah. Disaat rakyat tidak memiliki lahan untuk bertani malah
pemimpinnya membuka lahan yang terhampar luas sejauh mata memandang, terkadang
menabrak aturan penguasaan lahan dengan luas tertentu. Karena tugas pemimpin
mendesain insentif. Hampir di berbagai sudut wilayah orang-orang mempertanyakan
kinerja pemimpinnya terkait dengan desain insentif.
Lapangan pekerjaan sulit, biaya pendidikan mahal, pendapatan
rakyat rendah. Dan, jauh lebih berbahaya rakyat hilang kepercayaan terhadap pemimpinnnya.
Dikarenakan penangan pemerintahan yang tidak baik, kecurangan dapat dengan
mudah ditemukan. Pengutipan fii di mana-mana. Lalu, dengan congkaknya dimusim
pilkada mereka pun datang kembali meminta pada rakyat untuk didukung dan
dipilih kembali pada level kekuasaan yang lebih tinggi agar bisa menguasai dan
mengelabui kembali banyak anggaran. Detrust, mendaur ulang kepercayaan
publik pada pemimpin tidak semudah itu dapat dilakukan.
Akad kekuasaan ibarat akat munakahat. Menikah bukan hanya
persoalan aku, juga bukan persoalan dia (istri), tetapi nikah adalah persoalan
Tuhan. Menikah karena persoalan aku hanya sekedar ingin melampiaskan hawa nafsu;
pada momen yang lain ia juga melampiaskan nafsunya pada wanita lain. Sementara
menikah karena dia (istri), ada kasih sayang yang wajib diberi dan dibagi. Dan
menikah persoalan Tuhan ada tanggung jawab yang harus ditegakkan. Dengan
demikian, pernikahan adalah ikatan tiga kewajiban; kewajiban diri, kewajiban
istri, dan kewajiban atas nama Tuhan.
Begitu juga dengan kekuasaan; menjadi pemimpin bukan karena
aku, tetapi juga karena dia, dan Tuhan. Kekuasaan karena aku hanya
mensejahterakan diri sendiri dan kelompok. Melainkan kekuasaan karena dia
(rakyat), ada kekuasaan yang harus diturunkan dalam bentuk kesejahteraan. Dan
kekuasaan karena Tuhan ada tanggung jawab politik yang harus dijalankan.
Tanggung jawab ini dipikul di dunia dan akhirat. Maka dengan itu publik mesti
menghindarkan diri dari orang-orang yang merekayasa banyak hal atas akad
kekuasaan yang diikrarkan di ruang publik. Bukankah merekayasa sesuatu pertama
kali dilakukan oleh iblis; saat menggoda Adam iblis berani membawa dan
mengatasnamakan Tuhan untuk menjalankan misinya.
Peradaban Politik, 29 Juli 2024
Komentar
Posting Komentar