Geucik: Bangun Kedaulatan Politik dari Gampong
Aceh memiliki jumlah kecamatan sebanyak 289 dari 6.497 gampong seluruh Aceh. Sementara Aceh Barat Daya memiliki 9 kecamatan dari 152 gampong dengan jumlah penduduk yang terus bertumbuh. Wilayah dengan potensi laut, perkebunan, dan pegunungan. Sementara julukan Aceh Barat Daya sebagai kota dagang terdengar kabur akhir-akhir ini. Kepemimpinan tertinggi Aceh Barat Daya dipimpin oleh bupati, sementara di tingkat gampong dipimpin oleh geucik; beda wilayah kekuasaan tetapi memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun daerah. Karena, kemajuan sebuah negara dimulai dari majunya kepemimpinan di tingkat desa.
Wilayah kekuasaan paling bawah dipimpin oleh Kepala Desa/gampong
atau geucik. Berdasarkan ketentuan yang ada desa memperoleh anggaran khusus,
atau dana desa. Dengan anggaran yang ada geucik tidak hanya berpikir bagaimana
membangun gampong dalam bentuk fisik melainkan jauh hari telah terlibat banyak di
wilayah sosial, agama, dan budaya; baik kerja hidup maupun kerja mati.
Kiprah geucik membangun gampong dimasa konflik Aceh
mendapatkan dilema. Disaat anggaran desa tidak ada, geucik bekerja di bawah
tekanan, dan gaji aparat desa tidak jelas asalnya dari mana; tetapi pemerintahan
gampong berjalan dengan baik. Walaupun adanya ketimpangan, disebabkan potensi
manusia, disamping banyak kurangnya juga anggaran yang tidak mendukung.
Walaupun demikian, pemerintahan gampong tetap berjalan; buktinya sampai saat
ini gampong masih ada dan terus berkembang.
Kepemimpinan geucik mulai membaik dari segi anggaran pasca
reformasi sampai saat ini terus menjadi target pembenahan. Gampong mulai
berdaulat secara anggaran, dan keberadaan pemimpin di level bawah pun mulai
merambas pada pembangunan fisik. Ini disebabkan gampong sudah memiliki anggaran
mandiri. Dari sinilah akomodasi aparat desa diperoleh. Walaupun masih dalam
katagori tidak layak namun roda pemerintahan sudah digerakkan dengan anggaran
yang telah ditentukan.
Gampong telah mandiri dengan anggaran yang diplotkan
langsung dari Pemerintah Pusat. Artinya, geucik punya otoritas penggunaan
anggaran. Dari anggaran tersebut banyak hal bisa dibangun di gampong-gampong.
Kedaulatan gampong berdasarkan anggaran; keberadaan geucik sebagai bapak
membangun gampong wajib ditunjukkan. Pada kepemimpinan level bawah inilah
seorang geucik berhadapan langsung dengan problem masyarakat; mulai dari
problem sosial, agama, dan budaya.
Lalu, masuknya bantuan dari luar gampong, apakah dalam
bentuk santunan, bantuan sosial perseorangan, pokir dewan, dan yang lainnya.
Seolah-olah peran geucik sebagai bapak membangun gampong seperti tidak mendapat
apresiasi lagi oleh karena masuknya sedikit anggaran dari luar. Terkadang
gecikpun ikut mengpresiasi orang lain yang sekedar menitipkan program kerjanya.
Gampong yang terlihat asri jangan dikotori dengan polusi politik yang tidak
menjamin kesejahteraan bagi warganya.
Ini terlihat disaat musim politik pileg dan pilkada. Orang
luar yang sekedar menitipkan program kerja diapresiasi sebagai pihak yang
berpikir membangun gampong dan layak didukung untuk menduduki posisi pemimpin
lebih tinggi, dengan alasan telah membangun gampong. Sementara pimpinan di
tingkat gampong lupa mengapresiasi dirinya sebagai bapak membangun gampong.
Geucik tidak perlu mendeklarasikan dukungan pada bacalon tertentu dalam politik
pilkada, sebab kepemimpinan sifatnya struktural vertikal.
Deklarasi dan dukungan politik sering membawa jalan
perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Apalagi deklarasi secara terbuka
dilakukan oleh pemimpin yang membawahi banyak orang di dalamnya. Sifat politik
kita sering mengabaikan pihak-pihak yang tidak ikut mendukung pencalonan dipihak
yang menang. Kalah hitungan suara bisa menjadi preseden buruk dalam hal
perhatian pimpinan. Apalagi calon yang dideklarasikan secara terang-terangan
gagal dalam meraih pucuk kepemimpinan. Dan ini akan berdampak buruk dalam
membangun komunikasi gampong di kemudian hari dengan pimpinan.
Pemimpin di tingkat gampong harus memahami bahwa dirinya
adalah bapak membangun gampong. Adapun pihak luar yang menitipkan programnya
belum tentu dapat sepenuhnya disebut bapak membangun gampong. Apalagi
kecurigaan kita hari ini terhadap banyak program dari atas, sebelum program dijalankan
terindikasi adanya jual beli pekerjaan.
Ini sudah menjadi kecurigaan publik di tengah-tengah
masyarakat yang sangat berharap pembangunan dilanjutkan. Jika indikasi jual
beli paket nyata adanya, maka betapa rugi dukungan politik diberikan hanya
karena terkecoh dengan sebutan telah membangun gampong. Nyatanya adalah
memanfaatkan suara dari orang-orang di gampong untuk mendorong seseorang
terpilih.
Mendukung calon tertentu pada pileg dan pilkada adalah hak
semua orang. Akan tetapi, mengatasnamakan pimpinan gampong dalam dukungan yang
terikat dengan kepentingan gampong ini keliru. Deklarasi demikian berpotensi
terjadinya konflik komunikasi di tingkat bawah. Tentunya, menjaga komunikasi di
tingkat bawah jauh lebih penting diperhatikan dari pada mendeklarasi dukungan
pada calon-calon tertentu di pilkada. Pimpinan gampong telah menjalin
komunikasi yang baik dengan masyarakat, tentunya komunikasi ini harus dijaga
dengan baik agar keharmonisan yang telah terwujud tidak diopok-opok oleh
kepentingan pihak tertentu yang ingin berkuasa.
Akhir-akhir ini beredar informasi di media sosial; terindikasi
pemimpin di tingkat gampong mendeklarasi dukungan pada bacalon tertentu. Kepemimpinan
gampong telah berdaulat dengan aturan dan anggaran. Karena itu, dukungan politik
tidak perlu digerakkan oleh pemimpin dari gampong, sebab tindakan ini berakibat
buruk bagi komunikasi masyarakat di gampong yang memiliki keragaman dan kemerdekaan
hak dalam menentukan pilihan; tentunya setiap individu memiliki pandangan
tersendiri dalam menilai potensi calon pemimpinnya.
Dilihat berdasarkan dalam konsep kekuasaan pemimpin gampong selevel dengan pemimpin yang lain dengan wilayah kekuasaan dan tanggung jawab yang berbeda. Artinya, bertanggung atas berjalannya pelayanan pada rakyat; baik agama, sosisl, dan budaya. Kekuasaan kedaulatan gampong mesti dipelihara dengan baik, sebagimana kedaulatan kekuasaan di tingkat mana pun. Bagi bacalon tertentu yang mencalonkan diri di pilkada tidak etis menggiring dan memanfaatkan kepemimpinan gampong untuk kepentingan politik sepihak dan sesaat. Beri kemerdekaan penuh pada pemimpin gampong untuk menentukan pilihan politiknya sebagaimana warga secara umum tanpa penggiringan. Kembalikan keasrian gampong sebagaimana rindangnya politik kejujuran tanpa kecurangan.
Membangun Peradaban Politik, 2 Agustus 2024
Komentar
Posting Komentar