Kecerdasan Pemimpin Merancang Kesejahteraan Umat
Pada tulisan sebelumnya penulis telah menyatakan “intelektual mendesain pikiran kekuasaan mendesain insentif”. Kesejahteraan rakyat tidak boleh pudar akibat dari persekongkolan elit. Ghaniyul Mughni “Tuhan Maha Kaya dan Maha Memperkaya”. Tuhan adalah Dzat yang memiliki segalanya. Tuhan tidak pernah menampakkan diri-Nya di dunia. Maha memiliki atas apa pun yang ada di semesta; terbentang antara Timur dan Barat, menguasai tujuh lapis langit dan bumi. Dan tidak ada satu elemenpun yang ada di alam ini; baik yang nampak maupun yang tak terlihat indra luput dari-Nya. Bahkan manusia dan segala macam makhluk yang ada di jagat ini dalam genggaman Tuhan.
Kekayaan yang dimiliki Tuhan bukan untuk dipamerkan pada siapa pun dan pada apa pun yang ada di alam ini. Tetapi, yang dinampakkan adalah wujud ke Maha Kayaan itu sendiri agar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Alam yang terbentang luas ini menjadi bukti adanya Tuhan. Gerak kesemestaan menandakan adanya sang Maha Penggerak. Semua ada sebab dan akibatnya. Kelompok yang tidak percaya adanya Tuhan tetapi ia percaya bahwa adanya gerak di dunia sebab ada yang menggerakkannya. Dunia ini dari tiada menjadi ada, diadakan oleh yang Maha Ada, lalu kembali tiada. Begitulah sebab akibat yang terus bergulir jika ditarik sampailah pada sang Penyebab Utama yakni Allah.
Tuhan Dzat yang memiliki segalanya, jangankan untuk menyombongkan diri menampakkan diri saja tidak pernah, dan tidak akan ada peristiwa Tuhan menampakkan dirinya di dunia; baik dalam bentuknya, mimpi, dan media apa pun namanya. Sebab terlalu kecil dunia ini untuk menanmpung penampakan Tuhan. Padahal Tuhan memiliki otritas untuk menyombongkan diri.
Berbeda dengan manusia suka menampakkan apa yang ia punya. Bahkan menyombong diri pada yang lain sebab sudah menguasa beberapa hal saja; baik harta, pangkat, jabatan, kekuasaan, ilmu, akses, dan yang lainnya. Kepemilikan yang sedikit saja dan terbatas waktunya manusia jadi lupa diri.
Kekayaan Tuhan di alam ini dapat dimiliki dan dikuasai oleh siapa pun. Dengan catatan tidak menyerobot, mengambil, dan mencuri sesuatu yang telah menjadi hak milik orang lain. Selagi masih belum ada kepemilikan maka apa pun yang ada di dunia adalah milik kesemestaan yang boleh dimanfaatkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Negara menjadi pihak yang menjaga hak-hak kepemilikan atas manusi. Ini dikarenakan susahnya mengatur manusia, susah dikarenakan manusia dikarunia dua hal yang berlawanan; yakni akal dan nafsu.
Pada saat manusia mengelalo dirinya dengan berbagai aturan yang dibuatnya sendiri gerak menjadi sempit. Manusia mempersempit gerak di antara mereka. Padahal Alquran sendiri memerintahkan agar manusia saling melapangkan diri dalam berbagai hal.
Tuhan sebagai pemilik alam ini “Maha Kaya” memerintahkan kepada manusia aga dalam memanfaatkan kekayaan-Nya di dunia untuk saling melapangkan tempat, bukan mempersempit gerak sehingga saling mengijak. Awalnya pengelolaan kekayaan alam melalui konstitusi negara melahirkan beberapa hal; di antaranya.
Pertama, kehidupan manusia diatur secara konstitusional. Namun, undang-undang yang diberlakukan dalam suatu negara tidak menjamin warganya bertindak dan bersikap baik. Kedua, kehidupan perseorangan dibatasi oleh hak orang lain. Dalam perjalanannya malah terjadi kesenjangan.
Hak sebagian orang dibatasi pada sebagia yang lain disebabkan sebagian dari manusia menjadi penguasa bagi manusia yang lain. Dalam kondisi seperti ini sebagian masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan rentan kehilangan haknya. Ketiga, negara sering membatasi kepemilikan warganya tetapi tidak pernah membatasi kepemilikan penguasa dan pejabatnya atas kekayaan negara.
Berdasarkan ini seolah-olah negara hanya hadir memperkaya sebagia orang saja dengan alasan kepemilikan. Apa pun yang dimiliki manusia (warga negara) ada hak negara yang harus dibayar berupa pajak; baik pajak usaha, badan, bangunan, tanah, dan lain sebagainya. Bahkan masih membatasi kepemilikan atas manusia melalu sektor Pendapatan Negara Bukan Pajak. Akhirnya, negara tidak lagi hadir sebagai penjaga kekayaan alam semesta dan meretribusikan kekayaan tersebut secara merata, melainkan hadir sebagai pihak yang ikut merampok kekayaan yang notabene adalah milik Tuhan dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan tertentu pula.
Tuhan Maha Kaya yang menguasai seluruh penjuru dunia, dan Maha Memperkaya kepada siapa yang dikehendaki. Sementara negara menguasai sumber daya alam dalam batas wilayah tertentu tetapi memiskin siapa saja yang dikehendakinya oleh pengelolanya. Seharusnya, kekayaan negara sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan warganya; terutama anak yatim dan fakir miskin wajib dikelola oleh negara. Negara ini sudah kaya, dan banyak memperkayakan pejabatnya. Artinya negara ini kaya tetapi memiskinkan rakyatnya.
Dilihat dari sumber daya alamnya negara ini mesti dikelola berdasarkan sumber daya manusia, bukan berdasarkan sumber kekayaan pengelolanya. Maka dengan itu, negara mesti dipimpin oleh orang yang memiliki sumber daya manusia yang baik; baik pengetahuan, agama, sikap, dan tindakan. Bukan orang yang memanfaatkan sumber daya alam (materi) lalu menampakkan diri seolah-olah manusia yang bersumber daya. Tuhan sebagai sumber segalanya tidak pernah menampakkan dirinya di dunia. Manusia yang tak bersumber daya suka memamerkan diri di ruang publik agar ia terlihat bersumber daya, dan merasa layak mengatur sebagian manusia.
Layaknya seseorang menjadi pemimpin bukan karena kemapanan secara ekonomi, juga bukan soal kemampuan memengaruhi orang lain. Pemimpin itu soal kemampuan berpikir dalam mengelola banyak hal. Jika pemimpin hanya karena sudah merasa memiliki sumber daya dianggap lebih berhak menguasai sebagian yang lain. Apalagi seseorang yang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ia miliki, dan merasa ingin menguasai banyak hal di dunia ini. Percayalah, sekaya apa pun manusia maka ia tidak akan pernah mampu membeli dunia. Karena tidak mungkin ada manusia di dunia ini yang mampu menyamai kepemilikan Tuhan. Dan ini sepadan dengan ilmu pengetahuan, hanya dibatasi kepemilikannya dalam jumlah yang sedikit.
Mentak kepemimpinan adalah orang yang memiliki pemahaman kuat bukan terkait pemerintahan melainkan terkait dengan kenyataan yang dihadapi oleh umat hari ini. Pemahaman terkait tata kelalo pemerintahan sifatnya baku dan tertulis secara baik, siapa pun yang menjadi pemimpin dapat menjalankannya. Sementara situasi yang dihadapi umat manusia dalam satuan waktu terendah terjasi perubahan. Bahkan perubahan dunia hari ini bergerak masif. Apa dan bagaimana tatakelola kehidupan hari ini sangat terkantung dengan situasi global.
Dengan demikian, diperlukan pemimpin yang memiliki sumber daya manusia. Pemimpin adalah kemapanan berpikir bukan kemapanan ekonomi. Bagi yang mengukur ekonomi berperan penting secara berlebihan dalam mengelola kehidupan umat maka dunia ini hanya digerakkan berdasarkan materi bukan berdasarkan daya pikir.
Sesuatu yang buruk telah berlaku pemanfaatan sumber daya alam (materi) telah berembes pada bagaimana mengelabui hukum dalam suatu negara untuk kepentingan tertentu. Ini terjadi karena daya pikir tidak dikedepankan. Akhirnya, daya alam (materi) memperok-porandakan tatanan yang dibangun sejak awal berdasarkan daya pikir.
Negara ini sudah kaya, dan tidak butuh orang yang menampakkan kaya sehingga merasa layak untuk memimpin. Itupun jika dilihat secara detail, sebagian orang yang ingin berkuasa rata-rata adalah orang-orang yang terlibat dalam upaya memiskinkan masyarakatanya. Di mana kekayaan yang diperoleh juga dari hasil olah mengolah uang negara.
Seharusnya, pemangku kebijakan merasa malu mengatakan telah kaya di tengah-tengah masyarakat yang ia pimpin mayoritasnya miskin. Kesadaran pada tahap ini belum dimiliki oleh masyatakat kita. Mereka hanya tahu jika negerinya adalah negeri yang kaya, tidak pernah peduli harus diserahkan pada siapa pengelolaannya. Calon pemimpin hanya dilihat dari penampialan, viral, dan eksis di berbagai media, bukan dari kemampuan pikirnya.
Di zaman kini banyak terlihat seseorang setelah menjadi pemimpin atau bagian dari kekuasaan menjadi kaya-raya dan mapan secara ekonomi. Padahal, jika saja dihitung dari segi pendapatan dari memangku kuasa yang ia pimpin maka akan didapati banyak kejanggalan dari perolehan kekayaan yang dimiliki. Tidak perlu juga seseorang setelah diberi kekuasaan lalu ia menjadi miskin.
Paling tidak ia tetap kaya, atau menjadi kaya. Seyogianya, pemimpin kaya ikut memperkayakan rakyatnya. Jika pemimpin adalah bayang-bayang Tuhan di bumi “the shadow of God in the earth”. Sebagaimana Tuhan ghaniyul mughni, demikian juga pemimpin jika tidak mampu memperkayakan rakyatnya minimal mengantarkan kesejahteraan untuk umat manusia dalam berbagai konteks.
Ironisnya; negara ini sudah kaya tapi masih butuh orang kaya mengelalonya. Semestinya, negara yang dianugerahi pendapatan dari berbagai sumber dikelola oleh orang yang memiliki daya pikir yang kuat dalam merancang pendapatan bagi warga. Bukan pemimpin yang hanya sekedar mengoleksi segudang ijazah tanpa pola pikir yang kuat dalam rangka mensejahterakan rakyatnya.
Disaat rakyat dikatagorikan miskin tetapi penguasa dan pejabatnya kaya dan juga menguasai aset di mana-mana. Lalu bagaimana umat ini memberi kekuasaan pada mereka yang sekedar memapankan dirinya, keluarganya, dan kelompoknya. Seseorang yang layak memimpin umat ini adalah yang mapan daya nalarnya dan kuat daya pikirnya. Bukan orang yang mapan daya pikirnya ketika ia melihat keuntungan untuk dirinya, dan lemah daya nalarnya disaat tidak bermanfaat untuk dirinya walaupun bermanfaat bagi orang banyak.
Dua sisi nalar yang berbeda kepentingan ini mengemuka dalam sistem kekuasaan saat ini. Cara berpikir demikian bagian dari kemunduran berpikir, sehingga kehadirannya tidak layak sama sekali untuk dipilih dan dinobatkan sebagai pemimpin. Pemimpin hadir untuk menampakkan pikiran dan mengukir program-program kesejahteraan warga, bukan menampakkan kemapanan di tengah-tengah masyarakat yang sedang susah secara ekonomi.
Tuhan yang menjadi sumber pemapanan makhluk di dunia tidak pernah menampakkan dirinya dalam bentuk dan media apa pun. Padahal Tuhan memiliki hak untuk menyombongkan diri “al-mutakabbir”. Sementara manusia suka memamerkan kepamanan pada orang lain. Padahal, kemapanan tersebut tidak sama sekali bermanfaat bagi orang lain, kecuali untuk dirinya saja. Negara ini dibangun atas dasar pikiran bukan berdasarkan sumber daya alam.
Membangun Peradaban Politik, 8 Agustus 2024
Komentar
Posting Komentar