Kekuasaan: Kritisilah dan Jangan Pernah Mengapresiasi
Kekuasaan tidak perlu diapresisai sebab kebijakan salah
yang diputuskan tetap saja penguasa digaji. Negara ini butuh orang-orang yang
berbicara banyak hal. Dengan berbicara traumatik bagi prilaku buruk akan
terintimidasi dengan sendirinya. Bicara dengan berbagai jalur; baik melalui
ucapan, tulisan, kritik saran, dokumenter berupa drama, kolosal, ekspresi
pantomim, film, parodi, cerita rakyat, dan lain sebagainya. Pada saat
orang-orang mulai bicara dalam berbagai bentuk media maka keburukan dapat ditekan.
Keburukan yang sedang berjalan mesti diimbangi dengan kritikan.
Melapor banyak perkara merepot penegak hukum di negara ini, dan bahkan tidak jarang berakhir dengan kekecewaan. Setiap orang mesti bicara pada levelnya masing-masing. Karena, dengan berbicara banyak prilaku buruk yang berlaku di ruang publik terutama sekali terkait dengan pengelolaan kebijakan publik malu dengan sikap, prilaku, dan tindakannya. Berbicara adalah hak publik yang bisa digunakan untuk mengungkapkan banyak hal. Menjelang pilkada Aceh khususnya, berbicaralah sesuai kapasitas masing-masing. Melihat dan mendengar saja apa yang berkembang di ruang publik dalam situasi yang tidaklah berguna. Siapa pun harus bicara sesuai kapasitasnya.
Tiga bentuk situasi selalu berlaku disaat proses poliitk
pilkada tiba. Reborn kekuasaan masa lalu yang mengecewakan selalu menguat secara
mendadak dalam proses politik di mana pun. Nepotisme politik jika diberi
peluang kembali ini menimbulkan efek buruk terhadap pengelolaan pemerintah
dimasa yang akan datang. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari orang yang
keberadaannya telah diborgol secara politik/tersandra secara politik.
Ketiga-tiganya harus dibicarakan; baik di ruang pikir maupun di ruang publik.
Dalam situasi seperti ini bukan memilih yang terbaik perlu diutarakan,
melainkan memilih seseorang yang layak di antara yang disinyalir tidak baik.
Berbicara banyak hal dalam bentuk kritikan; baik disaat pencalonan maupun setelah pemimpin dilantik. Bukan disaat proses politik malah memuji orang-orang yang didukung dan setelah pemimpin dilantik malah mengapresiasi. Rakyat tidak perlu terlibat banyak dalam proses politik, sebab rakyat adalah pihak yang menerima efek dari kekuasaan itu sendiri. Tetapi, terbalik di lapanga rakyat diminta untuk berpartisipasi dalam politik untuk dukungan pada calon-calon tertentu. Legitimasi politik rakyat harus dibatasi pada melihat calon, mengamati dengan baik sosok, kapasitas, program kerja, dan lainnya lalu menentukan pilihan saat hari pencoblosan.
Kekuasaan; sebelum dan sesudah dilantik mesti dikritis
secara terus menerus dan tidak perlu diapresiasi. Penguasa tidak perlu
diapresiasi, sebab mereka digaji dalam menjalankan tugasnya. Penguasa wajib
dikritisi sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan agar perbaikan-perbaikan
terus dilakukan. Kekuasaan adalah tanggung bersama bukan hanya tanggung jawab
pimpinan, maka siapa pun boleh mengkritisinya. Kekuasaan yang alergi dikritik bahkan
memusuhi para pengkritik dapastikan ia adalah pemimpin yang buruk dan korup.
Kritik merupakan bentuk pengawasan dengan cara
masing-masing. Melakukan kesalahan saja saat kebijakan publik dijalankan para
penguasa mendapatkan gaji, sama juga saat ketika ia melakukan sesuatu yang
benar. Bahkan ketika penguasa melakukan kesalahan ia mendapatkan pendapatan
berkali-kali lipat; dari gaji, tunjangan, biaya turun, tentunya ditambah dengan
kesepakatan-kesepatan berupa fi proyek dengan pihak lain yang mendapat
pekerjaan. Jika begitu adanya penguasa harus lebih banyak yang mengkritisi.
Pejabat publik yang menginginkan diapresiasi pada setiap
program yang dijalankan, ketahuilah bahwa ia sedang melakukan kesalahan. Dan,
inilah yang sering terjadi di negara ini dalam kekuasaan di level mana pun. Di
mana, para penguasa dan pejabat memangsa rakyatnya sendiri dengan anggaran
rumah tangga rakyatnya dan meminta diapresiasi. Para anggota parlemennya
menuntut diberi anggaran yang banyak agar bisa memprogramkan banyak hal.
Terkadang program yang dijalankan bukan kebutuhan mendasar bagi rakyat namun
program yang dipaksakan olehnya sendiri bahkan penentuan pekerjaannya pun mesti
mendapat persetujuan darinya.
Kemudian, penguasa suka memframing pada media jika ia telah
mencanangkan banyak program. Ketika apa yang dilakukan tidak mendapat apresiasi
dari orang-orang maka penguasa merasa dirugikn. Cara berpikir seperti inilah
membuat penguasa di daerah seperti raja yang keihlangan marwahnya. Maunya, para
penguasa walaupun mempermainkan anggaran tetap meminta untuk diapresiasi.
Di sini, buruknya mental penguasa di negeri ini.
Mendapatkan kekuasaan, digaji oleh rakyat, mempermainkan anggaran, lalu meminta
untuk diapresiasi pula oleh rakyatnya sendiri. Terkadang dari anggaran rumah tangga
sendiri dicuri sebagai modal untuk membayar orang-orang agar ia kembali
mendapat posisi di setiap periode kekuasaan. Rakyat dibiarkan miskin,
pendapatan rendah, sharing kekuasaan dipersempit, dan semua itu dilakukan agar
rakyat terus miskin dan dapat dipermainkan.
Berbicaralah banyak hal, dan kritiklah setiap program agar
apa yang dicanangkan mendapat sport dari sorotan publik. Dengan begitu,
tanggung jawab kekuasaan tidak hanya bertumpu pada kekuasaan tetapi juga pada
pihak yang menerima ekses/rakyat dari kekuasaan itu sendiri. Melapor kecurangan
hampir tidak berguna, tetapi memframingkan tentang buruknya pelayanan publik
dapat menekan mental para pelaku kecurangan.
Kekuasaan mesti dikritisi secara terus-menerus dari berbagai
level, dan disampaikan dalam dalam berbagai saluran media. Jika, semua level diam maka
kekuasaan akan terus-terusan berbuat semena-mena. Apalagi yang diam adalah para
penegak keadilan. Semena-mena terhadap pengelolaan publik harus dihentikan dari
berbagai sisi. Maka bicarah dalam berbagai bentuk, agar negeri ini menuju jalan
kebaikan dan maju bersama-sama.
Membangun Peradaban Politik, 1 Agusuts 2024
Komentar
Posting Komentar