Logika Meugom: Dibolehkan Konser dalam Konteks Politik

 

Meugom bangai. Konser dalam konteks pelaksanaan syariat Islam di Aceh dipahami maksiat, sementara konser dalam konteks politik seperti dibolehkan. Konser di Aceh dilarang. Pikiran formalitas syariat di Aceh menganggap konser adalah perbuatan yang dilarang dan mengandung unsur maksiat. Tetapi, dimusim kampanye konser seperti dibolehkan. Orang-orang sepertinya menyetujui konser musik dilakukan saat kampanye. Bahkan, adanya konser dipahami dapat menarik perhatian banyak orang untuk datang beramai-ramai di tempat kampanye politik.

Pikiran publik terhadap konser seperti dua mata pisau; satu sisi dalam konteks pelaksanaan syariat Islam konser dilarang, tetapi pada sisi lain dalam konteks politik konser dibolehkan. Hampir di setiap kampanye politik konser musik dengan menghadirkan artis berlangsung pada kampanye akbar. Bahkan, daerah/kabupaten yang pernah mengeluarkan aturan haram terhadap musik pun konser di arena politik berlaku.

Aceh dengan pelaksanaan syariat Islam lebih fokus menata hukum halal, haram, dan maksat dibandingkan dengan hukum kemashlahatan atas umat. Sehingga, batas maksiat pun barometernya dibuat terlalu rendah oleh masyarakat Aceh. Konser dianggap maksiat sementara korupsi/fi uang pembangunan masjid dianggap hak agen dan dipahami biasa-biasa saja. Padahai ini perbuatan keji dan munkar dilakukan oleh pebguasa dan orang-orang yang bersekutu dengannya. Tanpa rasa malu pelakunya malah merasa masih layak untuk jadi pemimpin.

Memutuskan konser haram dalam konteks prilaku masyarakat Aceh yang plin-plan dalam memahami masalah; dalam pelaksanaan syariat konser dianggap maksiat sementara dalam kontek politik konser dibolehkan, dapat disinyalir bahwa pikiran masyarakat Aceh "meteugom bangai". Menjamurnya pelaku seni dalam konteks modern mesti dipahami sebagai khazanah seni baru yang tentunya suatu pengembngan dari prilaku seni masa lalu. Bukan konsernya yang mesti dihukumi tetapi pelaksanaannya yang harus diatur secara baik.

Masyarakat Aceh ketiadaan hiburan. Konsongnya fasilitas kebahagian dalam bentuk kreasi seni si Aceh akhirnya dimanfaatkan oleh elit politik yang maju sebagai kontestan pilkada memengaruhi pikiran masyarakat datang secara cuna-cuma di tempat-tempat kampanye. Ini dapat menghilangkan substansi kampanye akbar yang resmi dibuat oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan tujuan para kandidat menyampaikan visi-misi politiknya. Tetapi, ini kehilangan momen bagi yang ikut menyaksikan dan mendengarkan pada acara kampanye niatnya tidak lagi untuk menentukan pilihan yang tepat melainkan untuk menikmati konser saja.

Elit politik pun seperti menikmati situasi seperti ini. Sesuatu yang berbeda disaat konser dibuat oleh sekelompok orang di luar momen politik, rame-rame elit pilitik berbicara menghujat pelaksanaan konser. Termasuk juga kelompok keagamaan ikut mengutuk pelaksanaan konser. Namun, disaat pelaksanaan pilkada; baik elit politik maupun pemangku keagamaan malah diam. Diam juga karena berkemungkinan berada pada barisan dukungan yang sama. Mengingat, pemangku agama banyak terlibat dan memberi dukungan pilitik pada kandidat yang berbeda-beda.

Pikiran publik rusak dalam banyak lini. Dalam Konteks syariat konser dianggap maksiat, sementara dalam konteks pilitik konser dianggap hiburan. Masyarakat Aceh haus akan hiburan, kondisi ini dimanfaatkan oleh elit dalam mengumpulkan massa. Secara ekonomi masyarakat Aceh miskin dan pendapatan perkapita sangat rendah. Dan, ini juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin berkuasa menukar suara dengan uang berdasarkan jumlah tertentu.

Pilkada seharusnya dipahami sebagai pesta rakyat, tetapi yang berlaku malah sebaliknya; pilkada jadi pesta kandidat. Ini dibuktikan dengan banyaknya rakyat yang menjadi panitia nemenangkan kandidat tertentu/jadi timses tanpa jelas  kedudukannya. Tenaga sukarela rakyat tidak berbanding dengan upaya kandidat jika menang jadi pemimpin dalam memberi pelayanan sebaik mungkin pada mereka, apalagi pada rakyat.

Rakyat kudu cerdas, jangan hanya karena alasan haus hiburan konser diajang pilkada dianggap boleh dan rame-rame datang menikmatinya secara "meujampu lawok ligan inong agam dalam satu arena". Dan, jangan juga hanya karena miskin serta kurang pendapatan suara rakyat saat memilih diganti rugikan dengan uang. 

Ingat......mereka yang didukung belum tentu menjadi pemimpin bagi kalian, jadi perampok uang rakyat sudah banyak kisah-kisahnya dimasa lalu. Dalam konteks syariat konser dianggap maksiat, tetapi dalam konteks politik konser dianggap boleh dan pengutipan fi di mana-mana, namun dimulut mereka lancang berkata "kita perkuat syariat Islam di Aceh". Jika dalam konteks politik konser dibolehkan maka dalam konteks hiburan konteks tidak perlu dilarang.

Serambi Madinah, 18 November 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraih Gelar Doktor; Muchlinarwati Disabilitas yang Menginspirasi

Melihat Masalah dengan Masalah

SURAT TERBUKA: KEPADA YANG TERHORMAT BAPAK BUPATI ACEH BARAT DAYA