Abdya: Daratan tidak Lagi Dibutuhkan, dan Elit Lintah Darat yang Lupa Daratan

Berjalannya praktik politik lupa daratan. Aceh pasca perdamaian dengan anggaran yang melimpah dari kompensasi perang, dan hibah bencana alam masyarakat dunia belum membawa kesejahteraan signifikan bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan, begitu juga dengan Aceh Barat Daya. Abdya bentangan daratan tidak lagi dibutuhkan oleh masyarakat kepulauan, sementara pemimpin yang dilantik dalam sekejap lupa daratan. Mental lintah darat yang hidup di kubangan kekuasaan terus bernafas dengan nafsu serakahnya. Dilantiknya pemimpin baru tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan.
Sejatinya kekuasaan tujuan utamanya adalah mengantarkan kesejahteraan untuk umat manusia. Perangkat kekuasaan yang diperoleh era demokrasi terbuka menyisakan problem baru. Konflik politik tidak dapat dihindari. Konflik politik ini menjadikan masyarakat terbelah. Terbelah tidak hanya saat pemilihan melainkan juga terjadi setelah pelaksanaan pilkada dikarenakan kepentingan politik elit. Fitrah manusia, secara sosiologi berbeda dalam banyak hal. Apalagi terkait dengan politik, kepentingan telah membawa manusia lebih mengedepankan ego dari pada rasa.
Asas utama kekuasaan terkait dengan kesejahteraan tidak terlepas dari prinsip dasar ekonomi. Prinsip dasar ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan per-individu tentunya berbeda-beda. Tetapi, kebutuhan secara umum teridentifikasi pada tiga jenis utama. Kebutuhan jenis primer, sekunder, dan tersier. Ketiga jenis kebutuhan ini bagi daerah yang mengandalkan sumber anggaran daerah sangat tergantung dengan kebijakan Kepala Daerah setempat. Di sini, perlunya anggaran daerah yang ada mesti dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi tiga komponen utama kebutuhan manusia.
Kebutuhan primer
adalah kebutuhan utama yang harus dipenuhi, sebab ini terkait dengan
mempertahankan hidup secara layak. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka kehidupan
dapat dikatakan layak. Begitu juga sebaliknya, jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka kehidupan dasar dikatakan tidak layak. Ada pun kebutuhan primer
di antaranya; makanan dan minuman (atau disebut juga dengan pangan), tempat
tinggal (rumah), baju dan sejenisnya (atau disebut juga dengan sandang),
listrik keamanan, akses, pekerjaan, dan lainnya. Kebutuhan dasar ini dapat
berubah tergantung zaman yang menghendakinya.
Kebutuhan sekunder
berkaitan dengan upaya menciptakan, atau menambah kebahagiaan hidup. Jika tidak
terpenuhi kebutuhan sekunder maka aktifitas hidup tidak akan terganggu. Tetapi,
upaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder diperlukan. Dan, ini tidak terlalu urgen
untuk dipenuhi, apalagi upaya penuhannya dilakukan secara kolektif lewat
kekuasaan. Kebutuhan ini ditandai dengan terpenuhinya sarana penunjang seperti tersedianya perabot
rumah tangga, layanan kesehatan, layanan pendidikan, layanan transportasi umum,
alat komunikasi, sarana hiburan seperti televisi, hand phone, bioskop,
kenderaan pribadi, dan lain sebagainya.
Kebutuhan tersier terkait dengan upaya menciptakan kehidupan yang lebih
bermartabat, untuk menaikkan gengsi, serta prestise sosial dalam suatu
masyarakat. Pemenuhan kebutuhan tersier hanya dapat dilakukan oleh pelaku
ekonomi menengah ke atas. Tersier lebih cenderung untuk gengsi-gengsian, dan
mendapatkan kekaguman bagi yang melihatnya.
Membangun gedung-gedung agar dipandang sebagai orang kaya. Kebutuhan tersier dapat dilihat dari rumah mewah, baju branded, alat telekomunikasi keluaran terabaru, bermerek dan mahal, perhiasan, mobil mewah, wisata ke luar negeri, makan di restauran elit, jet pribadi, memiliki vila di tempat-tempat tertentu; khususnya tempat wisata, dan kepemilikan mewah lainnya.
Pada dasarnya, terdapat sejumlah indikator dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Indikator ini sesuai intensitas dan waktu pemenuhan, sifat, dan subjeknya. Kebutuhan berdasarkan indikator di antaranya. Pertama, kebutuhan berdasarkan intensitas; meliputi kebutuhan primer, sekunder, dan kebutuhan tersier. Kedua, kebutuhan berdasarkan waktu pemenuhannya; di antaranya kebutuhan mendesak (saat ini) dan kebutuhan untuk masa yang akan datang. Ketiga, kebutuhan dilihat berdasarkan sifatnya, dimaksud adalah kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Keempat, kebutuhan dilihat berdasarkan subjeknya, meliputi kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif.
Kebutuhan yang terakhir disebutkan; yakni kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif inilah yang mesti disalurkan melalui kekuasaan. Kebutuhan kolektif primer dan kolektif sekunder merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi setelah Kepala Daerah dilantik. Ada pun kebutuhan tersier dapat diundurkan pelakasanaannya, dikarenakan kebutuhan ini tidak terlalu mendesak untuk dipenuhi secara kolektif, sebab kebutuhan tersier sangat tergantung kemampuan per-individu. Dan, tidak terlalu berpengaruh terhadap kebutuhan dasar keberlangsungan hidup.
Namun, dalam sejarah kepemimpinan kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier lebih terpenuhi bagi pemimpin di setiap level. Ini, dikarenakan anggaran rumah tangga pimpinan dan pejabatnya telah terjewantahkan melalui Peraturan Daerah. Dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier terpenuhi sangat baik bagi penguasa, pejabat, dan rekanan yang terkoneksi dengan kekuasaan. Relasi kuasa hanya mengisi ruang gerak ekonomi, dan berlaku untuk sebagian orang saja. Ini dikarenakan konsep kepemimpinan yang dibangun menganut prinsip oligarki. Akhirnya, kebutuhan primer dan sekunder rakyat secara kolektif terabaikan.
Banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan primer masyarakat oleh pemimpin terpilih. Mengandalkan janji politik bukan jalan keluar, mengingat perubahan dunia terjadi dalam hidutungan detik. Perubahan ini sangat memengaruhi kebutuhan masyarakat. Apa yang layak dipikirkan dan dikampanyekan beberapa waktu yang lalu saat kampanye politik berlangsung banyak yang tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Perubahan dunia terkait dengan kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder bagian dari survival yang mesti diikuti perkembangannya.
Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier mesti hadir sosok pemimpin yang memiliki pandangan desain insentif secara terpadu dan menyeluruh. Tidak hanya sampai di situ, pemimipin baru mesti cepat melihat peluang, penataan, dan pengkondisian dari kemampuan anggaran yang ada.
Terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier tentunya dengan memanfaatkan potensi daerah secara tepat guna, bukan larut dengan konflik pilkada. Masifnya kondisi politik demokrasi tidak dapat dihindari, mengingat pikiran masyarakat memandang jalur politik jalan utama memenuhi kebutuhan hidup.
Akses politik bagi sebagian orang dipandang sebagai kesempatan memenuhi kebutuhan mendasar, termasuk elit-elit politik, pejabat, dan orang-orang tertentu. Dengan pemikiran tersebut hampir semua orang berpikir, memenuhi kebutuhan hidup mesti lihai memanfaatkan relasi kuasa. Akhirnya, potensi daerah tidak tergarap dengan baik, kecuali untuk kepentingan elit, dan orang-orang di sekitarnya. Larut dengan situasi ini sebatas eforia kemenanga. Padahal tujuan utama kekuasaan adalah mengantarkan kesejahteraan, bukan eforia kemenangan.
Diusia Aceh Barat Daya menuju fase seperempat abad. Dan saat ini dilantik kembali pemimpin defenitif ke-4. Sebagai wilayah hasil pemekaran dari kabupaten induk Aceh selatan dalam perjalanannya terus melakukan pembenahan di segala bidang. Tetapi, pembenahan yang terjadi selama ini lebih terlihat dari pelayanan administratif, yang dulunya tidak ada Kantor Bupati dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK), sementara kini kantor bupati dan beberapa kantor pelayanan lainnya berdiri megah. Artinya, gedung-gedung mewah yang diisi oleh orang-orang terhormat semakin dekat dengan masyarakat.
Selama terbentuknya kabupaten Abdya; di samping pelayanan administratif semakin dekat, juga terjadi perubahan di segala bidang. Tetapi, perubahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup secara kolektif belum terlihat nyata. Artinya, pelayanan dalam konteks mengantar kesejahteraan hidup belum begitu dirasakan oleh masyarakat. Kesejahteraan yang belum diraskan ini dikarenakan belum hadir seorang pemimpin yang benar-benar mampu mengoptimalkan potensi yang ada, pemanfaatan komoditas-komoditas asli daerah di bidang pertanian, perikanan, dan pariwisata.
Secara geografis Aceh Barat Daya diapit oleh gunung dan laut. Wilayah daratan dikelilingi areal pertanian dan perkebunan yang cukup memadai untuk memberi manfaat, atau nilai tambah bagi inkam perkapita masyarakat. Perkebunan yang merentang seluas jauh mata memandang, dengan luas perkiraan mencapai tiga puluh ribu hektar, dengan areal tanam belasan ribu hektar, dan dua puluh ribu hektar sebagai lahan cadangan yang siap dimanfaatkan. Ditambah luas lahan pertanian mencapai dua puluh ribu hektar, dengan areal tanam mencapai angka belasan ribu hektar, dan dengan sisa lahan cadangan mencapai angka empat ribu hektar.
Wilayah kehutanan dibatasi dengan hutan lindung mencapai tiga puluh ribu hektar yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan inti rakyat. Konservasi alam Taman Gunung Loser mencapai angka enam puluh dua ribu hektar. Sementara hutan produksi terbatas mencapai angka tiga puluh enam ribu hektar. Kabubaten Aceh Barat Daya juga dibatasi laut dan darat dengan budi daya air payau mencapai angka puluhan ribu hektar, sementara budi daya air tawar mencapai angka dua puluh ribu hektar.
Daerah dengan hasil pertanian saban tahun menghasilkan gabah dari lahan yang mencapai sepuluh ribu hektar tanaman padi, tersebar di sembilan kecamatan. Namun, setiap masa panen petani selalu terkendala dengan persoalan harga gabah. Kurangnya respon pemerintah kabupaten dalam melakukan pengendalian harga, sehingga para petani lebih memilih hasil panennya dijual kepada pengusaha-pengusaha luar daerah, terutama pengusaha dari Medan Sumatra Utara, yang mampu membeli gabah secara kontan, walaupun belum menjamin keuntungan yang memadai para petani. Dominasi harga dari tengkulak masih membayang-bayangi harga gabah.
Kurang respon pemerintah kabupaten akibat harga jual gabah dianggap terlalu tinggi, dibandingkan dengan harga beli yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap masa panen pemerintah melalui bulog sendiri mengaku belum bisa menyerap gabah petani, meskipun musim panen raya terus berlangsung, pihak pemerintah masih saja bersikukuh dengan harga jual petani. Informasi terbaru pihak pemerintah mulai berani menetapkan harga versi bulog. Namun, kenyataannya petani masih kecewa dengan ketentuan harga gabah; antara gabah kering dan basah. Artinya, pemerintah seperti sekedar bermanuver harga sebatas angka saja, tanpa realisasi nyata.
Harga yang ditetapkan pemerintah melalui peran Bulog dirasa kurang menguntungkan bagi petani. Apalagi standar harga dibatasi dengan kondisi padi dalam keadaan gabah kering. Standar ini membuat petani tidak diuntungkan dengan realitas panen belakangan ini menggunakan mesin combine harvester. Petani tidak mungkin mengeringkan buah padi setelah dipotong menggunakan mobil perontok. Tidak cukup tenaga, fasilitas, dan waktu. Akhirnya, petani pasrah dengan standar harga buah padi basah.
Sebagian besar aktivitas masyarakat Aceh Barat Daya bertani di lahan persawahan. Penghasilan petani padi sampai hari ini belum mengangkat derajat ekonomi masyarakat tani. Atau petani masuk berkatagori miskin. Miskin yang dimaksud di sini terkait penguasaan lahan bagi petani. Miskin dalam artian penghasilan, dan fakir dalam artian ketidak adanya lahan. Ironis, masyarakat yang hidup di wilayah yang diapit dengan areal persawahan tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam.
Menjadi petani penggarap lahan milik orang lain adalah solusi bagi masyarakat arus bawah. Ini kendala utama bagi pemerintah dalam memajukan ekonomi petani. Alih-alih berpikir tentang hidup petani, akhirnya yang dapat bantuan juga pemilik lahan. Mereka bukan petani yang dikenal selama ini, tetapi petani pemilik lahan. Pemerintah mesti membedakan antara petani, pemilik lahan, dan buruh tani yang sekedar bekerja upahan pada lahan milik orang lain.
Sebuah kabar gembira bagi masyarakat Aceh Barat Daya, di mana bupati definitif pertama merancang program membuka lahan baru bagi petani, kususnya petani yang bergerak di bidang sawit. Angin segar ini dimanfaatkan petani dengan berbondong-bondongnya menjemput lahan yang sudah dijanjikan. Lahan tersebut dapat dimiliki dengan luas dua hektar per-orang. Ketika itu, masyarakat merasa sudah memiliki lahan baru, masing-masing dua hektar pe-orang. Realitas ini merubah wajah Abdya dari kota dagang menjadi kawasan pertanian. Walaupun ini terkesan dipaksakan, tetapi wajah baru ini memberi nafas baru tumbuhnya ekonomi masyarakat.
Satu sisi ini menguntungkan petani, tetapi pada sisi lain menghapus Blang Pidie sebagai kota dagang. Kota dagang seharusnya menjadi wilayah ketergantungan kawasan lain. Abdya sebagai daratan hari ini tidak lagi membawa peranan penting untuk pengembangan ekonomi masyarakat kepualauan. Hasil pertanian sawit dalam bentuk buah tandan diangkut ke luar daerah. Dengan adanya mesin pengolah sawit akhirnya tandan dapat diolah menjadi minyak. Hadirnya Pabrik Kelapa Sawit diharapkan tandan sawit dapat dijual dengan harga yang lebih menguntungkan petani sawit.
Tentunya, adanya kebahagiaan tersendiri bagi petani. Upaya bupati defenitif pertama; masyarakat yang tadinya mengalami fakir lahan kini mendapatkan lahan sebanyak dua hektar per-orang. Dengan adanya tanaman sawit masyarakat terbebas miskin penghasilan. Sementara adanya lahan atas milik dan nama pribadi menjawab fakirnya masyarakat akan penguasaan lahan di negeri sendiri. Walaupun tidak semua masyarakat mendapatkan lahan, namun dengan program membuka lahan sawit telah menggenjot geliat ekonomi baru.
Program ini perlu dievaluasi kembali, mengingat potensi konflik lahan terjadi belakangan ini. Pertanyaannya, “adakah rakyat arus bawah benar-benar memiliki lahan mencapai dua hektar per-kepala keluarga”. Hanya masyarakat yang bisa menjawabnya. Pertanyaan ini perlu dipahami melalui ilmu rasa “jangan terpengaruh dengan pertanyaannya tapi pahamilah energinya, jangan terpaku dengan nada ucapan rakyat tapi rasakan vibrasinya, dan jangan sekedar membaca kata-kata dari tulisan mereka tapi resapi melalui bahasa jiwa”.
Kabupaten Aceh Barat Daya tidak hanya memiliki potensi daratan, pegunungan, perkebunan, dan pertanian, tetapi juga memiliki potensi perikanan yang melimpah. Di bidang perikanan mampu mendongkrak perekonomian ribuan keluarga nelayan yang tersebar di beberapa kecamatan, mulai dari kecamatan Manggeng, Tangan-Tangan, Suak Setia, Susoh, dan sebagianya di kecamatan Kuala Bate, dan Babahrot. Demikan adanya, pemerintaha perlu memanfaatkan pegunungan sebagai zona pertanian baru. Dengan begitu, membangun akses menuju pergunungan juga menjadi kebutuhan mendesak. Tentunya, tidak kalah menarik, geliat peternakan juga butuh perhatian pemerintah.
Secara geografis, Kabupaten Aceh Barat Daya menjadi zona transit bagi masyarakat kepulauan. Julukan kota dagang bukan hanya sebatas jargon semata, tetapi dapat dilihat dari transaksi usaha antar daerah. Kota ini terhubung tidak hanya berpusat untuk wilayah Barat Selatan, melainkan juga terkoneksi dengan wilayah Aceh bagian Tengah; meliputi Aceh Tenggara, Takengon, dan Bener Meuriah.
Sebagai wilayah transit, keberadan Blang Pidie sebagai kota dagang menjadi jalur suplay kebutuhan pokok masyarakat kepulauan/Simeulu melalui pelabuhan Labuhan Haji. Keberadaan pulau Simeulu dengan jumlah penduduk mencapai ratusan ribu perlu digarap sebagai objek pasar dalam berbagai potensi usaha. Dan ini, sangat tergantung peran Kepala Daerah dalam menggarap potensi objek pasar masyarakat kepulauan. Zona teritorial kota dagang tidak mungkin dilepaskan begitu saja hanya karena wajah baru yang dipaksakan Abdya sebagai wilayah pertanian.
Jika saja potensi kedunia-usahaan dimanfaatkan dalam bentuk transaksi ekonomi berkepentingan, Aceh Barat Daya tidak hanya menjadi wilayah penyediaan barang dalam bentuk skala besar untuk masyarakat kepulauan, tetapi juga menjadi wilayah transaksi ekonomi ritel bagi masyarakat di sekitarnya. Namun kini, Blang Pidie sebagai kota dagang tidak terlihat sebagai magnet pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat kepulauan. Tentunya, pemetaan zona ini peluang besar bagi pemerintah Abdya agar mendesain kota dagang sebagai zona teritorial berkepentingan khusus, terkait pemasokan kebutuhan mendasar masyarakat kepalauan.
Potensi laut, selain penghasil perikanan juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sektor pariwisata. Sektor pariwisata berpotensi besar mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di samping pendapatan daerah juga menjadi magnet peningkatan ekonomi masyarakat yang hidup disepannjang garis pantai. Sektor wisata juga menjadi bagian dari nilai tawar yang tersedia secara alami dari panorama laut. Pinggir pantai dengan aroma pandang yang menyegarkan jiwa bagi siapa saja yang pernah berkunjung. Kebutuhan tersier masyarakat dalam skala lokal dapat diwujudkan dari pemanfaatan lokasi wisata. Dengan demikian, pendapata dari kebutuhan tersier masyarakat tidak melulu lari ke luar daerah.
Potensi wisata bahari belum tergarap dengan baik. Pemandangan indah zona laut sepanjang pantai yang membentang dari ujong Pasi Manggeng hingga Surin. Masih banyak potensi yang belum tergarap; wisata alam, wisata petualangan, wisata budaya, wisata rekreasi, wisata kota, wisata sejarah, dan tak kalah menarik wisata religius. Wilayah Barat Selatan sedang gencar-gencarnya membangun peradaban tasawuf yang dipelopori ulama Kharismatik setempat “Abu Amran Wali”, wisata religius memiliki daya tarik tersendiri. Jaringan peradaban tasawuf di tingkat nasional dan Asia Tenggara menjadi modal besar pengembangan wisata religius.
Kehadiran pulau gosong, tidak jauh dari pinggir pantai juga mempunyai daya tarik tersendiri penikmat wisata bahari. Keberadaan taman tepi laut dan wisata lainnya tidak hanya menarik perhatian wisata lokal melainkan juga menarik perhatian wisatawan luar daerah. Potensi wisata di samping memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder bagi masyarakat juga dapat memenuhi kebutuhan tersier; baik masyarakat lokal maupun luar daerah. Dengan datangnya wisatawan luar daerah tentunya menambah inkam pendapatan masyarakat, dan juga dapat menyerap potensi pendapat daerah.
Semua sektor ini berpotensi memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier masyarakat. Semua potensi ini tidak akan menjadi penunjang peningkatan ekonomi masyarakat apabila tidak didukung atau difasilitasi oleh pemerintah kabupaten secara maksimal. Dengan usaha yang bertalian fungsi simbiosis mutualisme dengan sistem ekonomi berjaringan kemasyarakatan. Oleh karena demikian, maka sosok yang mungkin dibutuhkan untuk bisa melihat dan mengoptimalkan peluang ini adalah pemimpin yang mempunyai visi ekonomi terkoneksi ke segala sektor. Pemimpin yang menahan keinginan pribadi, sepenuhnya berpikir kemajuan untuk pertumbuhan ekonomi rakyat.
Momen pelantikan bupati Aceh Barat Daya jatuh pada petetengahan sya’ban tentunya memiliki keistimewaan tersendiri. Sya’ban merupakan bulan transisi datangnya bulan suci ramadhan. Berpuasa adalah puncak pengontrolan diri dari segala kepongahan dunia. Puasa merupakan ibadah raga yang mendidik jiwa. Mendidik jiwa dari banyak keinginan, menahan diri dari banyak kehendak, mengontrol diri dari hasrat yang tidak penting, mengelola keinginan dari kehendak yang berlebihan dan hasrat yang tidak mengarah pada kebaikan.
Momen datangnya bulan suci ramadhan yang jauh lebih penting dihidupkan adalah bagaimana umat ini merasakan lapar. Kelaparan hari ini adalah pakaian masyarakat seluruh negeri, tidak terkecuali masyarakat Aceh Barat Daya. Ekonomi sulit, lapangan pekerjaan tidak ada, pendapatan masyarakat berkurang, bahkan sebagian besar masyarakat tidak memperoleh pendapatan yang layak.
Pendapatan yang layak adalah terpenuhinya kebutuhan primer, dan tersedianya kebutuhan sekunder, serta adanya fasilitas untuk memenuhi kebutuhan tersier. Tiga kebutuhan dasar masyarakat tidak akan terpenuhi jika upaya desain insentif pemerintah tidak terkoneksi ke berbagai sektor. Lamanya transisi kepemimpinan yang selama ini diisi Pejabat (Pj) sementara, atau lazim disebut Pj, ditambah berkurangnya anggaran membuat pemimpin defenitif perlu bekerja ekstra memulihkan situasi.
Dilantik; Perlunya Pemimpin Berpuasa
Puasa dalam istilah syariat artinya beribadah kepada Allah dengan menahan diri dari perkara-perkara yang membatalka; dari makan minum dan yang lainnya, sejak terbit fajar sampai dengan tenggelamnya matahari. Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan harus diniatkan untuk ibadah kepada Allah bukan karena keinginan diri sendiri, dan bukan sekedar adat kebiasaan. Ada pun berpuasa dapat menyembuhkan dari penyakit itu bagian dari salah-satu efek positif dari perintah/diwajibkan berpuasa. Begitu juga dengan kepemimpinan, keinginan menjadi pemimpin diniatkan beribadah kepada Allah.
Puasa secara politik menahan diri dari kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Ibarat hidangan makanan sudah di depan mata, kuasa untuk melahap semua hidangan ada pada keputusan pemimpin. Serakah sedikit hidangan yang ada akan hilang tanpa jejak. Akhirnya, makanan yang sudah terhidang tidak membawa keberkahan untuk diri, keluarga, dan kolega-kolega, rakyat pun jatuh miskin, dan daerah yang dipimpin mengalami keterpurukan di segala bidang.
Menjelang datangnya bulan suci ramadhan orang-orang beriman diperintahkan untuk berpuasa/menahan diri dari makan dan minum. Artinya, menahan dari segala hal yang membuai diri akan hasrat dunia. Pelantikan menjelang puasa pertanda alam memerintahkan kepada seluruh Kepala Daerah, khususnya Aceh Barat Daya untuk menahan diri dari keinginan serakah dalam pengelolaan anggaran daerah. Artinya, momen pelantikan mesti dimaknai waktu makan sahur. Makan sahur pertanda berpuasa dimulai.
Bukan malah yang berlaku sebaliknya, pelantikan dipahami waktu untuk berbuka (ifthar: hidangan berbuka), sehingga anggaran daerah diembat sesuka hati untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier masyarakat, pemerintah dan jajarannya mesti menahan diri (berpuasa) dari keinginan menguasai banyak hal.
Rusaknya tatanan negara karena pejabatnya tidak berpuasa/menahan diri dari memakan atau menerima yang bukan haknya. Celakalah Aceh Barat Daya jika pemimpinnya hanya sebatas bereforia atas kemenangan. Alih-alih menahan/berpuasa dari nafsu serakah, malah anggaran yang ada diolah untuk memperkaya diri dan kelompok. Sehingga, penggunaan anggaran daerah tidak tepat sasaran. Abdya sebagai daratan tidak menjadikan elitnya lupa daratan. Sampai kapan praktik politik lupa daratan terus memengaruhi kebijakan publik yang semakin hari semakin terpuruk. Potensi sumber daya alam tidak pernah berguna jika tidak dibarengi dengan potensi sumber daya manusia yang baik.
Selamat menyambut bulan suci ramadhan, orang-orang beriman akan berpuasa. Pemimpin yang baik akan menahan diri dari kebijakan yang tidak membangun kesejahteraan untuk rakyat. Berakhirnya pilkada; dilantik bupati terpilih maka berakhirlah kepemimpinan politik, yang tersisa saat ini adalah pemimpin pemerintahan untuk seluruh masyarakat Aceh Barat Daya.
Aceh Serambi Peradaban, 16 Februari 2025
Komentar
Posting Komentar