Mindset: Optimis, Pesimis, dan Realistis

 

Optimisme berlebihan melahirkan kesombongan, keangkuhan, dan egoan. Sementara pesimisme membawa pelakunya minder, merasa rendah, dan tidak percaya diri. Di sini realisme diperlukan. Realitas Aceh hari ini terpuruk di segala bidang. Untuk menyelesaikan keterpurukan ini Aceh memerlukan pemimpin yang berpikir besar dan progresif dalam memahami realitas politik. Realitas politik yang berkembang hari ini "rakyatnya miskin sementara pemimpinnya kaya-kaya". Ini akibat elitnya bermental kerdil, daya nalar rendah, dan pikiran kecil.

Bukti rendahnya kekuatan pikir pemimpin kita ditandai dengan upaya ia membicarakan perkara yang tidak lagi penting dibahas dalam forum-forum resmi. Forum resmi harus membicarakan perkara-perkara penting dan perkara besar. Lebih buruk lagi, membicarakan perkara receh dalam forum resmi salah pula dalam menganalisa masalahnya. Bagi pendengar satu frekuensi bakal tertawa lebar saat mendengar ucapan-ucapan receh, menandakan setuju. Sementara yang memiliki pandangan luas ke depan tersenyum sinis, menandakan awal keburukan bakal terjadi disaat perkara tidak penting terbahas dalam forum resmi.

Orang besar membicarakan perkara penting. Semntara orang yang mentalnya rendah menganggap penting hal-hal kecil. Ini sama seperti realitas kekuasaan hari ini. Penguasa yang mentalnya kecil membangun rumah besar untuk dirinya, sementara rumah kecil untuk rakyatnya. Rumah dibangun dari sumber anggaran yang sama. Yang bangun rumah besar menjadi tukang olah, yang dapat rumah kecil rakyat yang diolah.

Penguasa mental rendah memanfaatkan  proses legislasi untuk mengelabui pikiran rakyat kecil. Legislasi yang seharusnya menjadi serangkaian proses yang dimulai dari perencanaan, pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan. Realitasnya legislasi dilaksanakan untuk untuk menyulap perkara besar pada perkara kecil. Akhirnya, rakyat bawah menjadi korban dari ulah sipemilik mental kecil. Legislasi yang diutarakan ke publik sebuah wacana besar tapi rendah kajian dan minim manfaat.

Salah satu wacana besar adalah keinginan mendirikan pusat manasik haji se Asia Tenggara dengan perkiraan anggaran yang tidak sedikit. Program dengan wacana besar tapi rendah kajian dan minim manfaat. Rendah kajian, dikarenakan perkara manasik haji bukan persoalan yang harus diselesaikan melalui legislasi baru untuk hari ini. Sebab, dengan bertambahnya ahli agama di seluruh negeri dan wilayah, dan ditambah lagi kewenangan penyelenggara haji yang otonom, maka manasik haji bisa dilaksanakan di mana pun. Sementara minim manfaat sebab haji kewajiban bagi orang kaya, dan pemimpin tidak perlu terlibat terlalu jauh dalam perkara ini, kecuali mensupport pelaksanaannya saja.

Pidato-pidato calon Kepala Daerah mesti membicarakan perkara-perkara besar. Seperti, perkara kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Ini sebagai bentuk optimisme politik. Dalam perkara berpikir besar pesimisme politik patut dihindari. Perlu dipahami, optimesme berlebihan melahirkan sikap angkuh, sombong, dan membanggakan diri. Sementara larut dalam pesimistik melahirkan sikap minder, tidak percaya diri, dan merasa rendah. Antara keduanya; optimisme dan pesimisme perlu menyadari realitasnya. Memahami realistis bertujuan untuk menjalankan keseimbangan. Apalagi bicara politik Aceh pasca perdamaian, banyak hal besar belum terealisasi dengan baik.

Perkara-perkara besar yang dihadapi masyatakat Aceh ke depan adalah terkait dengan anggaran dan akses dunia global. Zona teritorial ekonomi Aceh semakin hari semakin tidak dibutuhkan lagi oleh publik subjek ekonomi, kecuali sebagai objeknya saja. Berdasarkan kenyataan ini Aceh butuh modal besar, sementara otsus berakhir dalam hitungan tahun. Inilah perkara besar yang harus dibicarakan di forum-forum besar. Ini harus dilakukan untuk menjaga optimisme politik Aceh pasca berakhirnya perang. Konpensasi perang salah sasaran ditambah lagi elitnya suka membahas perkara-perkara kecil.

Hari ini Aceh kebilangan sosok pemikir besar. Optimisme politik Aceh justru diperankan oleh kelompok pesimostik tanpa membaca realitas yang sesungguhnya, sehingga lahirlah kesombongan dan keangkuhan pada perkara kecil. Elit Aceh hari ini bermental rendah dan berpikir kecil. Yang besar dari pikiran elit kita adalah membangun rumah besar untuk dirinya, sementara rumah rakyat dibangun seadanya, dengan alasan legislasi yang tidak pernah dikaji ulang. Rumah rakyat dibatasi ukuran dan speknya dengan membiarkan legislasi pesismistik secara terus menerus.

Kecilnya pembangunan ukuran rumah untuk masyarakat miskin/dhuafa dengan dalih legislasi, sementara besarnya kutipan fii dalam proses anggaran/proyek tidak dipahami sebagai pelanggaran terhadap aturan. Optimisme dan pesimisme politik tanpa memahami realitas akan membawa Aceh masuk lobang kehancuran. Pemimpin Aceh di level mana pun wajib membicarakan perkara-perkara besar. Dan, membicarakan perkara besar hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berpikir besar pula. Dengan hadirnya mobil listrik, ke depan mobilisasi manusia tidak lagi berpengaruh dengan barcode di SPBU.

Serambi Peradaban, 14 Februari 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Logika Politik: Beri Kabar Gembira Bukan Kabar Sedih apalagi Duka

Logika Meugom: Dibolehkan Konser dalam Konteks Politik

Tu Sop: Sebuah Pengantar Peradaban Politik